Senin, 11 Januari 2010

Pertemuan Imam Husain as Dengan Hur bin Yazid Arrayahi

Tak lama setelah memasang tenda, rombongan Imam Husain as didatangi seribu pasukan kuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid Arrayahi. Pasukan yang tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam Husain dan para sahabatnya yang juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang masing-masing dipinggang.
Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap kepala. Imam Husain dan para sahabatnya memerintahkan para pengikutnya supaya air yang masih tersisa diminum dan minumkan kepada kuda-kuda mereka. Hingga tengah hari itu suasana yang masih relatif tenang. Begitu waktu solat dhuhur tiba, Imam memerintah seorang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin Masruq Al-Ja’fi untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri di depan pasukan Hur untuk menyampaikan suatu kata kepada mereka yang beliau pandang sebagai orang-orang Kufah tersebut.
“Hai orang-orang!” Seru Imam Husain setelah menyatakan pujian kepada Allah dan salawat kepada rasul-Nya. “Aku tidaklah kepada kalian kecuali setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian, orang-orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian merasa tidak memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian kepada jalan yang benar. Oleh sebab inilah aku pun bergerak ke arah kalian. Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji kalian, maka aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke negeriku.”
Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Imam Husain as itu terdiam seribu basa. Tak ada seorang yang angkat bicara.[1] Beliau kemudian memerintahkan muazzin tadi untuk mengumandangkan iqamah setelah meminta Hur supaya menunaikan sholat bersama pasukannya sebagaimana Imam Husain as juga sholat bersama para pengikut setianya. Uniknya, Hur menolak sholat sendiri. Dia meminta sholat berjamaah di belakang beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam sholat dhuhur berjamaah yang dipimpin Imam Husain as.
Seusai sholat, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-masing. Beberapa lama kemudian kedua rombongan ini bergabung kembali untuk menunaikan sholat asar berjemaah dipimpin oleh Imam Husain as. Seusai sholat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian kepada Allah dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:
“Amma ba’du. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah jika kalian memang bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah) bahwa kami, Ahlul Bait Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian.”[2]
Hur menjawab: “Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu.”
Imam Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam’an untuk mengambil surat-surat itu supaya diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu, Hur mengatakan: “Aku bukan bagian dari mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong bala tentaramu dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad.”
Kata-kata Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam Husain as. Kata-kata ini mengundang kegeraman beliau. Beliau memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda yang terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah Imam Husain as pun mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan rombongan Imam Husain as dihadang oleh pasukan Hur.
“Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang kamu inginkan dari kami?” Seru Imam Husain as gusar.
“Engkau menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku pasti juga mengucapkan kata-kata yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah wanita yang sangat patut dimuliakan.” Kata Hur.
“Lantas apa maumu?” Tanya Imam lagi.
“Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyad.”
“Aku tidak akan pernah bersamamu.”
“Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke Kufah dan aku serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan terbunuh jika kamu berperang.”
“Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah urusan kalian akan selesai jika aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila kebenaran sudah diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan orang-orang yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan para pendurhaka.”
Kata-kata Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as sambil memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara beliau dan Hur hingga ketika sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: “Kalau kamu hendak berperang denganku maka aku siap berduel denganmu.”
Hur menjawab: “Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya ditugaskan menyerahkan dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau kembali ke Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau tidak, maka aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia menentukan apa yang harus aku lakukan.”
Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-masing.
Sakinah puteri Imam Husain mengisahkan: “Dari dalam tenda aku mendengar suara seseorang tersedu menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ayahkulah yang menangis di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: ‘Kalian telah keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang akan membaiatku dengan lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu sekarang sudah berubah, setan telah memperdayai mereka, mereka melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku dan orang-orang yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta tertawannya kaum wanita dan anak-anakku.Yang aku khawatirkan sekarang ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita lakukan ini. Oleh sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan perjalanan ini jika kalian kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku, ketahuilah bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga. Ketahuilah bahwa kakekku Rasulullah pernah bersabda:
“Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang diri. Barangsiapa yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan barangsiapa yang menolongku, maka dia menolong putera keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam golonganku.’”[3]
Sakinah melanjutkan, “Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para pengikut beliau banyak yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar 70-an orang.[4] Aku mendatangi ayahku dengan hati yang sangat kesal dan kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya hanya bisa menengadahkan wajahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyia-nyiakan kami, maka sia-siakanlah mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit, janganlah Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah kepada mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan kepada mereka syafaat kakek kami pada hari kiamat. Kabulkan doa orang yang suci dari noda dan dosa.“[5]
Sehari kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur sambil menyerahkan surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam Husain as dan menggiring beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim balatentara bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.
Mendengar pernyataan yang tertera dalam surat Ubaidillah, seorang sahabat Imam Husain as yang bernama Yazid bin Muhajir Al-Kindi berseru kepada utusan Ibnu Ziyad: “Semoga ibumu meratapi kematianmu, betapa celakanya isi surat yang kamu bawa itu!â€‌
Utusan itu menjawab: “Aku mematuhi perintah imamku. Apa saja yang diperintahkannya akan aku laksanakan.â€‌
Muhajir berseru lagi: “Kamu telah durhaka kepada Tuhanmu, karenanya api jahanam layak membakarmu.â€‌
Salah seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. “Wahai putera Rasul!â€‌ Seru sahabat bernama Zuhair bin AlQein itu. “Izinkan aku berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai mereka tak berkutik.â€‌
Imam menjawab: “Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada mereka.â€‌
Sahabat Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru: “Demi Allah, kami akan berjihad membelamu walaupun tubuh kami akan tercincang.â€‌
Imam Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khutbah Al-Gharra’ii untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini, setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah, Imam Husain berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: â€کBarangsiapa mendapati penguasa zalim yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menentang sunnah Rasulullah, memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan tindakan maupun kata-kata, maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu disemayamkan.â€‌[6]
Beberapa lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ketika tiba di suatu gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. Hur berkata: “Aku tidak mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku harus melaksanakan segala perintahnya.â€‌
Kedua pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu daerah bernama Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah daerah yang dialiri sungai Elfrat.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008