Jumat, 08 Januari 2010

Perihal Gelar Syaikh Muhiyyudin

Perihal Gelar Syaikh Muhiyyudin


Perihal Gelar Syaikh Muhiyyudin
8.jpgSyaikh Abu Baqa’ Al-Akrabi berkata, “Pada suatu hari aku lewat di Majlis Syaikh Muhiyyudin Abdul Qadir Al Jailani yang tidak pernah aku hadiri sebelumnya.
‘Aku hadir dan mendengarkan perkataan orang asing ini’ kataku dalam hati. Maka akupun masuk ke madrasahnya dan mendapati beliau sedang berbicara. Tiba-tiba beliau berhenti berbicara dan berkata kepadaku, “Hai orang yang buta mata, buta hati, apa maksudmu berkata ‘orang asing’ ini. Seketika itu aku tidak dapat  menguasai diri untuk tidak mendekati dan memanjat ke atas kursinya kenudian membuka tutup kepalaku seraya memohon kepadanya untuk memakaikan jubah kesufian kepadaku. Beliau meluluskan permintaanku dan berkata, “Wahai hamba Allah, jika Allah tidak menyingkapkan hasil perbuatanmu,niscaya engkau akan celaka. Sekarang masuklah dan engkau menjadi bagian dari kami”.
Syaikh Abu AL-Qazwaini dan Syaikh Ahmad Najwa meriwayatkan bahwa ketika Abdul Qadir Al Jailani mulai mnegharum namanya di seantero negeri, tiga orang syaikh Jilan bermaksud mengunjungi beliau. Sesampainya di Baghdad mereka langsung mengunjungi madrasahnya dan meminta ijin untuk menghadap. Setelah diijinkan mereka masuk dan mendapati Abdul Qadir Al Jailani sedang memegang kitab, ceret tempat air minum yang tidak menghadap kiblat  serta seorang pelayan di depannya. Keadaan ceret dan perilaku pelayan yang menurut mereka berlebihan itu membuat mereka memandang kepadanya dengan pandangan mencela. Beliau (Abdul Qadir Al Jailani_ kemudian meletakkan kitab yang berada di tangannya dan memandang si pelayan yang seketika itu pula meninggal dunia. Kemudian beliau memandang ceret tersebut yang dengan tiba-tiba ceret tersebut berputar  dengan sendirinya menghadap ke arah kiblat……
Ketika sang Syaikh di Tanya tentang sebab orang menjulukinya Muhiyyudin, beliau menjawab, “Pada hari jum’at tahun 511 H. saat aku pulang dengan kaki telanjang dari salah satu pengembaraanku, aku berjumpa dengan seseorang yang sakit parah, kurus kering dan sudah berubah warna kulitnya. “Assalamu’alaikum” ya Abdul Qadir Al Jailani” katanya kepadaku. Akuupun menjawab salam tersebut. “menunduklah kepadaku” pintanya kepadaku dan akupun merendahkan badanku. “Dudukkan aku” pintanya lagi, dan akupun membantunya duduk. Kemudian badannya berangsur-angsur berisi dan kulitnya mulai memerah. Akupun menjadi ketakutan namun dia berkata, “Tahukah engkau siapa aku ?”. “Tidak” jawabku. Dia melanjutkan, “Aku adalah agama yang telah mati dan hancur. Kemudian Allah menghidupkanku di tanganmu”.
Akupun meninggalkannya dan berjalan menuju masjid, orang orangpun mengerumuniku, berebut menciumi tanganku seraya berkata, “Muhiyyudin”. Padahal sebelum itu, aku tidak pernah dipanggil dengan nama tersebut.”
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani berkata, “pada suatu malam aku bermimpi seolah-olah sedang menghisap air susu dari payudara Aisyah RA. Umm Mu’minin. Kemudian RasuluLlah SAW masuk dan berkata, ‘Ya’  Aisyah ini benar-benar anak kita’”.
Syaikh Abu Muhammad Al-Jauni berkata, “suatu ketuka aku menghadap Syaikh Abdul Qadir dalam keadaan miskin dan keluargaku sudah tiga hari tidak makan. Aku masuk dan mengucapkan salam kepada beliau, beliau menjawab salamku kemudian berkata, ‘Jauni, lapar adalah salah satu harta dari sang Al-Haq yang tidak akan diberikanNya kecuali kepada orang yang dicintaiNya. Apabila seorang hamba sudah tiga hari tidak makan, Dia akan berfirman, “Demi aku engkau telah bersabar. Demi keagunganKu, akan Aku suapi engkau sesuap demi sesuap dan akan Aku minumkan engkau seteguk demi seteguk”. Saat aku hendak berbicara, beliau memberikan isyarat kepadaku untuk diam dan kemudian berkata, ‘Apabila seorang hamba ditimpakan bencana oleh Allah kemudian tidak menceritakan kesusahannya maka ia akan mendapatkan dua pahala. Akan tetapi jika ia menceritakannya kepada orang lain maka ia akan mendapatkan satu pahala.’ Setelah itu beliau memintaku untuk mendekat dan memberikan sesuatu secara sembunyi-sembunyi . baru aku berniat untuk berbicara, beliau berkata, ‘diam dan tidak menceritakan lebih utama dan lebih baik daripada kemiskinan’.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008