Sabtu, 09 Januari 2010

Mata para wali memandangimu dari tempat mereka masing-masing

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli berkata, “Ibadah haji pertamaku aku lakukan pada saat aku masih muda dan sedang melaksanakan tajrid (Pelepasan). Saat aku tiba di daerah Umm A-Qurn aku bertemu Syaikh Uday bin Musafir yang juga masih muda. ‘Mau kemada engkau ?’ Tanya syaikh Uday kepadaku.
‘Makkah Al-Musyarafah’. Jawabku.
‘Apa engkau bersama seseorang ?’
‘Aku sedang melaksanakan tajrid jawabku.’
‘begitu juga diriku’. Ujarnya. Kemudian kami berdua melanjutkan perjalanan.
Ditengah perjalanan kami berjumpa seorang wanita kurus dari habsyi. Dia berhenti di depanku dan memandangi wajahku lalu kemudian berkata, ‘Anak muda, dari manakah engkau ?’
‘Orang ‘ajam yang tinggal di Baghdad’. Jawabkku.
‘Engkau telah membuatku lelah hari ini’.
‘Kenapa?’.
‘Satu jam yang lalu aku berada di Habsyi (Ethiopia) kemudian Allah Ta’ala menunjukkan hatimu kepadaku sekaligus anugerah-Nya kepadamu yang belum pernah aku saksikan diberikan-Nya kepada selain dirimu. Hal itu menyebabkan aku ingin mengenal dirimu. Hari ini aku ingin berjalan bersama kalian melewatkan malam bersama kalian’. Katanya kepada kami.
‘itu merupakan kehormatan buat kami’. Jawabku.
Setelah itu dia mengikuti kami berjalan di sisi lain wadi tersebut. Ketika tiba waktu maghrib dan saat makan malam tiba, sebuah nampan turun dari langit berisi 6 potong roti beserta lauk pauknya. ‘SubhanaLlah segala puji dan syukur bagi Allah Ta’ala yang telah memuliakan aku dan tamuku’. Kata perempuan tersebut.’ Karena setiap malam biasanya aku hanya diberi dua potong roti. Maka enam potong yang diturunkan pada malam ini tentulah sebagai bentuk penghormatan kepada tamuku’. Malam itu, setiap dari kami memakan dua potong roti.
Selesai makan, datanglah tempat air dan kami meminum air yang kesegaran dan rasanya tidak ada di dunia ini. Setelah itu, perempuan itupun pergi meninggalkan kami.
Di Makkah, saat kami melakukan tawaf, Allah Ta’ala berkenan menurunkan Nur-Nya kepada Syaikh Uday. Sang Syaikh pingsan seketika sampai orang-orang mengatakannya telah mati. Saat itu aku melihat perempuan yang pernah bertemu dengan kami di wadi. Dia membalikkan kepala Syaikh Uday dan berkata, ‘Engkau akan dihidupkan oleh Yang Mematikanmu. Maha Suci Dia yang menjadikan segala sesuatu yang menampakkan cahaya keagungan-Nya sebagai bukti keberadaan-Nya. Maha suci Dia yang menjadikan manifestasi sifat-sifat-Nya di seluruh alam semesta sebagai pengokoh eksisteni-Nya. Dia sembunyikan Ke-Mahasucian-Nya dari pandangan mata, namun dada orang-orang yang terpilih dapat mencerap Ke-Maha-Indahan-Nya. Allah lah Yang Maha Tinggi dan kepada-Nya segala puji-yang menurunkan sinarnya kepada orang ini’.
Kemudian di dalam diriku ada sebuah suara yang mengatakan, ‘Wahai Abdul Qadir, tinggalkan jajrid (pelepasan) lahiriah dan beralihlah kepada tafrid (pemisahan), maka angkau akan melihat berbagai keajaiban dari ayat-ayat (kauniyah) Kami. Jangan pernah membandingkan kehendak Kami dengan hasratmu. Kokohkan kakimu di hadapan Kami dan jangan pernah beranggapan kemusyrikan akan melanggengkan penyaksian. Duduklah agar orang-orang dapat mengambil manfaat. Di tanganmu lah hamba-hamba Kami baik yang khusus maupun yang awam akan mencapai kedekatan bersama Kami’
Perempuan tersebut kemudian berkata kepadaku, ‘Hai anak muda, aku tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu hari ini. Hari ini aku melihat kami dilingkupi oleh kemah dari cahaya dan engkau dikelilingi oleh para malaikat ‘alaihimussalaam, hingga ke atas langit. Mata para wali memandangimu dari tempat mereka masing-masing dan juga memandang anugerah yang diberikan kepadamu’. Setelah iru dia menghilang dan aku tidak pernah lagi bertemu dengannya”.

Syaikh Abu Muhammad Shaleh bin Wairuzzan Az-Zakaali bercerita, “Syaikhku Abu Madyan berkata kepadaku, ‘Pergilah ke Baghdad dan temui Syaikh Abdul Qadir. Dia akan mengajarkan faqr kepadamu.’ Aku kemudian pergi ke Baghdad. Saat melihat beliau, aku mendapati diriku tidak pernah melihat orang yang memiliki karisma sedemikian besar. Beliau kemudian memerintahkanku untuk berkhalwat di depan pintu rumahnya. Setelah dua puluh hari, sambil memberikan isyarah ke arah ka’bah beliau berkata kepadaku, ‘Hai Saleh, lihat ke sini. Apa yang engkau lihat’.
‘Ka’bah’ Jawabku.
‘Coba ke sini, apa yang engkau lihat ?’ Tanya kepadaku sambil memberikan isyarah dengan tangannya ke arah barat.
‘Syaikhku Abu Madyan’. Jawabku.
‘Mana yang engkau pilih, Syaikhmu Abu Madyan atau Ka’bah.’
‘Syaikhku Abu Madyan’. Jawabku. Kemudian beliau berkata, ‘Ya Shaleh, engkau tidak akan mencapai faqr kecuali menaiki tangga menuju kondisi tersebut yaitu tauhid. Dan orang yang telah menguasai tauhid akan dapat menghapuskan semua yang muncul dari pembicaraan yang bersumber dari kepicikan pandangan’
‘Tuanku, aku memohon pertolonganmu untuk menularkan sifat ini kepadaku’. Pintaku kepada beliau. Beliau lalu memandangku dan aku merasa hasratku terpisah dari hatiku seperti malam yang hilang ditelan kecemerlangan fajar”.
Syaikh Umar Al- Bazaar berkata, “Suatu hari aku duduk di hadapan Syaikh Abdul Qadir dalam khalwatnya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jaga punggungmu karena akan ada kucing yang jatuh di punggungmu’. Dalam hati aku berkata, ‘ Dari mana datangnya kucing ? Tidak ada lubang di atas dan.....’ sebelum aku sempat menyelesaikannya tiba-tiba seekor kucing jatuh ke punggungku. Kemudian beliau memukulkan tangannya ke dadaku dan aku mendapati cahaya terbit dari dalam dadaku bak mentari. Dan aku menemukan Al-Haq pada saat itu. Dan sampai sekarang, kuantitas sinar tersebut terus membesar”.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008