Saat ada yang menannya kepada beliau Syeh Abdul Qodir Al-Jailani RA. ” Kapan engkaumengetahui bahwa dirimu adalah wali Allah” maka beliau menjawab “ Aku berusia 10 tahun ketika meihat para malaikat berjalan di sampingku saat aku berangkat ke sekolah. Dan setibnanya di sanba para malaikat tersebut berkata “Berikan jalan bagi Wali Allah” sampai aku duduk. Pernah suatu hari seseorang lewat di hadapanku dan dia mendengar para malaikat mengatakan hal tersebut . Dia bertanya kepada salah seorang malaikat tersebut “ada apa dengan Anak kecil ini ?” Sang Malaikat berkata “Ini sudah ditakdirkan dari Baitul Asyrof, (rumah paling mulia /’Ars. Beliau bekata “Anak ini kana menjadi orang besar . Dia telah diberi anugerah yang tidak dapat ditolaknya, dibukakan hijabnya, dan telah didekatkan”. “Empat puluh tahun kemudian baru aku mengetahui bahwa orang tersebut adalah salah seorang Abdal pada saat itu.
Syaikh Abdul Qadir berkata,” Setiap kali muncil keinginan dalam diriku untuk bermain bersama anak-anak lain, aku mendengar suara yang berkata ,’kemarilah wahai Mubarak (orang yang diberkahi) ‘. Aku ketakutan dan bersembunyi di kamar ibuku”.
Syaikh Mudzafar Al-Altsami mwriwayatkan Syaikh Abdul Qadir berkata,”Pernah selama 20 hari aku tidak makan dan tidak menemukan sesuatu yang dapat dimakan. Pada hari ke duapuluh, akupun pergi ke Iwan Kisra untuk mendapatkan pembagian makanan. Setibanya di sna aku mendapatkan 70 orang wali Allah yang sedang menunggu pembagian. Dalam hatiku aku berkata,”Tidak pantas aku mengganggu mereka’. Akupun pergi kembali ke Baghdad. Di sana seseorang dari daerahku mendatangiku dan memberikan sepotong emas kepadaku, seraya berkata,’ ini kiriman dari ibumu’.Setelah akku potong untuk diriku aku bergegas membawa sisa emas tersebut ke tempat tadi dan membagikan kepada 70 orang tersebut. Ketika mereka bertanya, aku menjawab ‘aku mendapatkan ini dari ibuku dan aku tidak melihat bahwa aku berhak mengkhususkan pemberian tersebut untuk diriku sendiri’. Kemudian aku kembali ke Baghdad membeli makanan dari potongan milikku lalu memanggil para fakir miskin dan mekan bersama mereka”.
Syaikh Abu Bakar AT-Taimi meriwayatkan Syaikh Abdul Qadir pernah berkata :
“Pernah karena kehabisan uang aku berhari-hari tidak makan . Aku sampai mencari-cari makanan sisa untuk aku makan. Suatu hari dengan perut kelaparan akau pergi ke tepi sungai dengan harapan mendapatkan daun kol atau makanan lain yang sudah dibuang. Sesampainya di sana aku melihat orang lain telah mendahuliku mencari sisa-sisa makanan. Aku mundur karena merasa tidak pantas mengganggu mereka. Dan setiap aku tiba di tempat orang biasa membuang mekanan mereka, akupun menemukan orang lain telah mendahului diriku. Akhirnya dengan tubuh sangat lemas aku pergi ke sebuah masjid di pasar Rihaniyyin dan duduk bersandar di dindingnya pasrah menghadapi maut.
Sekonyong-konyong masuk seorang asing dengan roti dan sepotong daging di lalu mulai makan. Hampir setiap kali orang tersebut mengangkat tangannya ke mulut, tanpa sadar mulutku ikut terbuka. Sampai akhirnya aku berkata kepada diriku,’ Apa ini, tidak ada tempat di sini (dalam hati kecuali Allah). Tiba-tiba aorang asing tersebut melihat diriku dan menawarkan makanan itu, namun akku menolaknya. Dan aku baru menerima tawarannya dan memakan sepotong roti setelah ia bersumpah akan berkeras menawarkan makanan tersebut kepadaku”.
Sambil makan, dia menanyakan apa yang aku lakukan di Baghdad dan dari mana asalku. Aku berkata kepadanya bahwa aku sedang menuntut ilmu di Baghdad dan berasal dari Jilan. Mendengar jawabanku dia berkata,’Aku juga berasal dari Jilan. Apakah engkau mengenal seorang pemuda asal Jilan bernama Abdul Qadir?’. ‘itu aku’ Jawabku. Mendengar jawabanku, air mukanya berubah dan berkata,’Demi Allah saudaraku ketika aku tiba di Baghdad dan mencarimu, aku masih memiliki sedikit bekal untuk akku makan. Namun sampai habis bekalku, dan hanya titipanmu yang tersisa, tidak ada seorangpun yang mengetahui keberadaanmu. Setelah tiga hari tidak makan, aku berkata kepada diriku,’Sudah tiga hari aku tidak makan dan itu artinya hukum telah membolehkanku makan bangkai (dikarenakan darurat). Maka aku ambil sedikit uang titipan ibumu unutk sekedar membeli makanan. Sekarang makanlah semua makanan ini karena semua ini adalah milikmu. Aku sekaranga adalah tamumu’.
Aku berkata kepadanya, “apa titipan ibuku?”. ‘Ibumu menitipkan 8 dinar unutkmu dan aku ambil sedikit uang tersebut untuk membeli makanan ini. Untuk penghianatan atas titipan ini, aku mohon maaf kepadamu walaupun hokum membolehkanku melakukan itu”. Aku menenangkannya dan mempersilakan makan. Kemudian setelah aku memberinya bekal, orang tersebut pun pergi.
Syaikh Abdullah Salmi meriwayatkan bahwabeliau pernah mendengar Syaikh Abdul Qadir berkata, “Setelah berhari-hari tidak makan, tiba-tiba ada seorang pria memberikan sejumlah uang kepadaku dan langsung pergi. Uang tersebut kemudian aku belanjakan roti dan aku kembali ke Masjid tempatku berkhalwat untuk mengulang pelajaran. Saat roti tersebut sudah berada di depan mulutku, aku berpikir apakah aku akan memakan roti ini atau tidak. Saat itu pandanganku tertumpu pada sehelai kertas yang tergantung di dinding masjid. Aku ambil kertas tersebut dan di dalamnya terdapat tulisan, ‘Allah SWT telah berfirman di dalam kitab sebelum Al-Qur’an, “Sesungguhnya dijadikannya syahwat adalah diperuntukkan bagi hambaKu yang lemah untuk membantu mereka taat kepadaKu. Adapun orang yang kuat, maka tiada baginya syahwat dalam dirinya “. Setelah membaca tulisan itu aku ambil sapu tangan lalu meletakkan roti yang hamper aku makan kemudian salat dua reka’at dan berlalu dari tempat itu “.
0 komentar:
Posting Komentar