Selama 14 abad ini, para pengikut Ahlul Bait tiap tahunnya selalu mengenang peristiwa heroik Asyura yang sangat tragis. Mereka mengenang kembali lembaran demi lembaran sejarah yang menghiasi darah-darah suci yang tertumpah di Karbala. Mereka menangis, terkadang sampai histeris. Di negeri-negeri muslim yang tradisi Syiah-nya sudah sangat kental, Asyura berarti upacara-upacara duka dengan cara turun ke jalan atau hadir di majelis-majelis duka cita.
Banyak kaum muslimin dunia yang belum mengenal madzhab Ahlul Bait ini yang mempertanyakan, mengapa orang-orang Syiah tiap tahun mengenang peristiwa tragis ini? Mengapa kematian sekelompok orang yang sudah berlalu sekian abad dari zaman kita masih terus ditangisi? Mengapa perasaan benci terhadap para pembantai keluarga Nabi masih dipelihara oleh orang-orang Syiah? Bukankah kita sebagai seorang muslim sudah seharusnya melupakan masa lalu dan memaafkan segala kesalahan mereka?
Sejak Imam Husein a.s. gugur di Karbala dan kepemimpinan atas ummat Islam atau imamah berpindah tangan kepada puteranya Imam Ali bin Husein As-Sajjad a.s, mengenang peristiwa pahit Karbala itu sudah diperintahkan oleh para imam. Dalam berbagai kesempatan, para imam selalu meminta para penyair dan orator terkenal di zamannya untuk membacakan kembali berbagai kisah yang berlangsung pada tanggal 10 Muharam tahun ke-61 Hijriah tersebut. Kita bisa mengemukakan sejumlah hal yang menyebabkan para imam sampai menyuruh para pengikutnya agar menghidupkan terus peristiwa Karbala dalam ingatan mereka.
Pertama, peringatan Asyura bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang mendambakan keadilan untuk melakukan gerakan kebangkitan. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, situasi represif yang ada pada zaman khilafah Yazid bin Mua’awiyah sudah sedemikian buruknya sampai-sampai, saat menerima ancaman dari Yazid agar membaiatnya sebagai khalifah, Imam Husein mengatakan, “Kita harus melupakan Islam untuk selama-lamanya jika kaum muslimin harus diperintah oleh orang semacam Yazidâ€.
Berbagai ciri-ciri masa jahiliah yang hendak dikembalikan lagi oleh Bani Umayyah mencapai klimaksnya pada zaman pemerintahan Yazid. Saat itu, Islam betul-betul tinggal nama. Sedangkan perilaku keseharian yang dipraktikkan oleh mereka yang mengaku sebagai pemimpin ummat Islam sudah sangat mirip dengan perilaku para tokoh Qureisy di zaman jahiliah dulu. Fanatisme terhadap kaumnya sendiri, taklid buta, dibuangnya rasa kemanusiaan, dan dicampakkannya ilmu pengetahuan sudah menjadi perilaku sehari-hari kalangan istana Syam tempat Yazid memerintah. Hal itu sangat terasa kontras dengan masa beberapa dekade sebelumnya, saat pemerintahan Islam langsung dipegang oleh Rasulullah SAWW.
Kembalinya masa gelap jahiliah kepada kehidupan masyarakat adalah sebuah proses sejarah yang terus berulang dengan instrumen yang berbeda-beda. Di setiap saat, selalu saja ada gerakan yang dilakukan orang-orang jahat untuk mengembalikan masa jahiliah. Dari sini, panji kebangkitan Asyura yang dipancangkan oleh Imam Husein a.s. akan menjadi inspirasi yang tiada habisnya bagi para pendamba keadilan. Mereka bisa melihat bahwa penegakan keadilan itu harus dilakukan meskipun itu berarti hilangnya nyawa diri sendiri dan sejumlah besar keluarga.
Di depan pasukan Ibnu Ziyad yang kemudian menjadi pasukan pembantainya di Karbala, Imam Husein mengatakan demikian.
“Wahai ummat Islam, dengarlah kata-kataku. Aku pernah mendengar kakekku, Muhamad SAWW, berkata bahwa selalu saja ada pemimpin yang mengaku bergama Islam tetapi berperilaku represif. Ia merobek-robek janji yang telah dibuatnya dengan Allah. Ia menentang sunnah Rasululllah. Ia juga memerintah dengan cara-cara kejam dan maksiat. Siapapun yang melihat pemimpin semacam itu tetapi ia tidak melakukan perlawanan dengan tindakan maupun hanya sekedar kata-kata, maka Allah akan membangkitkannya kelak di hari kiamat bersama pemimpin yang zhalim tersebutâ€.
Peristiwa Asyura juga memberikan inspirasi kepada para pejuang keadilan bahwa dalam pandangan Allah, kemenangan yang hakiki terkadang tidak bisa tampak pada hal-hal yang sifatnya lahiriah. Pada peristiwa Asyura, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya malah terbantai. Akan tetapi, kekalahan secara lahiriah itu malah merupakan sebuah kemenangan hakiki. Dalam Islam, kemenangan hakiki akan diperoleh ketika seseorang mengalahkan hawa nafsu dan bisikan setan hingga ia mampu melaksanakan perintah Ilahi.
Tentu saja harus kita ingat bahwa secara lahiriah pun, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sebenarnya bisa disebut memperoleh kemenangan. Hanya saja, kemenangan itu bersifat politis yang bisa tampak dari situasi yang tercipta setelah peristiwa Karbala itu terjadi. Kaum muslimin yang selama ini tertipu oleh konspirasi-konspirasi licik lingkaran elite politik Bani Umayah, sejak syahidnya Imam Husein di Karbala, mulai sadar dengan ketertipuannya. Saat itu pertanyaan-pertanyaan kritis mulai mengemuka: bagaima mungkin seorang yang mengklaim diri sebagai khalifah kaum muslimin, akan tetapi berani membantai keluarga Rasulullah? Posisi politis Yazid dan antek-anteknya betul-betul hancur begitu Imam Husein gugur di Karbala.
Yang juga tidak boleh dilupakan dari kekalahan Imam Husein secara militer adalah fakta bahwa secara teoretis memang tidak mungkin mengharapkan Imam Husein dan 72 sahabatnya bisa menang melawan pasukan Ibnu Ziyad yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Seandainya kekuatan kedua pihak berimbang atau minimalnya tidak timpang, bisa dipastikan bahwa Imam Husein akan meraih kemenangan secara militer. Dalam pertempuran yang lebih pas untuk dikatakan pembantaian itu, jumlah tentara Ibnu Ziyad yang tewas pun sangat banyak.
Inilah yang bisa kita saksikan dari kebangkitan revolusi Islam di Iran pimpinan Imam Khomeini. Kaum revolusioner Iran mampu menumbangkan rezim despotik Syah dengan menyandarkan inspirasi mereka kepada perjuangan revolusioner Imam Husein di Karbala. Sejarah mencatat bahwa perlawanan fisik Imam Khomeini dan sahabat-sahabat mulai menggelegak sejak Imam ditahan oleh pihak keamananan kerajaan pada tanggal 5 Juni 1963, dan itu hanya terjadi tiga hari setelah para ulama Iran menyerukan peringatan duka Asyura secara nasional.
Dari Libanon selatan, para pejuang Hizbullah juga berhasil mengusir tentara penjajah Israel yang didukung oleh peralatan militer super canggih. Para pejuang Hizbullah yang mayoritasnya bermadzhab Ahlul Bait itu mengaku bahwa secara mental, mereka tidak pernah kelelahan ketika memperjuangan sesuatu yang sangat berat itu, karena menurut mereka, hal yang jauh lebih berat pernah di ditanggung oleh panutan mereka, yaitu Imam Husein a.s. dan sahabat-sahabatnya di Karbala.
Para pejuang keadilan akan memiliki ketahanan mental dan tidak akan mengenal lelah dalam perjuangan mereka jika mereka menghidupkan terus peristiwa Asyura dalam benak mereka. Setiap detik dari peristiwa yang terjadi di Karbala adalah elegi kepiluan yang sangat sulit ditandingi oleh peristiwa apapun di sepanjang sejarah ummat manusia. Karena itu, ketika berhadapan dengan hal-hal yang sangat sulit sekalipun, seorang pejuang yang terus menghidupkan Asyura dalam benaknya tidak akan pernah merasa putus asa karena yang dialami oleh Imam Husein dan keluarganya di Karbala akan tetap jauh lebih sulit dibandingkan dengan yang dialaminya.
Para veteran perang Iran akan selalu mengisahkan heroisme yang mereka gelar dalam perang melawan tentara Saddam dengan menyebut-nyebut kepiluan tragedi Karbala sebagai inspirasi tiada habisnya hingga mereka bisa resisten di hadapan kesulitan-kesulitan yang menghadang. Seorang veteran perang Iran pernah menceritakan kesulitan yang dihadapinya ketika selama tiga hari berturut-turut dikepung pasukan Saddam. Saat itu, ia dan dua orang rekannya berada di sebuah pos penjagaan Khurramshahr yang sudah ditinggalkan oleh tentara Iran lainnya. Kemungkinan besar, para tentara Iran yang lain mengira bahwa ia dan dua rekannya sudah gugur ditembak tentara Irak. Selama tiga hari terjebak di pos penjagaan itu, ketiga tentara Iran tersebut diteror oleh tentara Irak dengan dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Simaklah penurutan sang veteran perang.
“Ketika tentara Saddam datang, kami sedang berada di sebuah pos penjagaan, sebuah ruangan kecil berukuran 1 x 2 meter. Mereka langsung mengepung pos dari berbagai arah. Saluran listrik dan air yang tadiya terhubung ke pos penjagaan mereka putus. Mereka kelihatan sekali ingin menyiksa kami, karena kalau mau, mereka dengan mudah mengebom pos penjagaan hingga kami bisa mati seketika. Tetapi yang mereka lakukan hanyalah melakukan tembakan-tembakan ke arah tembok pos penjagaan. Mereka lakukan semua itu sambil tertawa-tawa mengejek. Mungkin yang mereka inginkan adalah kami melakukan bunuh diri karena tidak kuat dengan situasi yang adaâ€.
“Situasi kami memang sangat sulit. Selama 72 jam kami bertiga berada di sebuah ruangan kecil tanpa makanan dan minuman. Kami bahkan tidak bisa buang air di tempat lain karena sedikit saja kami memperlihatkan anggota badan kami, tentara Irak itu akan segera menembaki kami. Kami akhirnya berhasil lolos setelah datang bantuan dari rekan-rekan kami. Mereka yang kini mendengar penuturan saya mengenai kesulitan yang kami hadapi saat itu mungkin akan menganggap kami sebagai perjuangan yang sangat berat. Namun, sebenarnya tidak demikian. Penderitaan kami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan siksaan yang dialami oleh Ali Al-Ashghar, bayi kecil yang selama tiga hari tidak mendapatkan minuman apapun. Selama tiga hari itu, Ali Al-Ashgar disengat teriknya mentari padang Karbala yang buas. Ketika Imam Husein ingin memberitahukan penderitaan Ali Al-Ashghar kepada pasukan Ibu Ziyad dengan cara mengusungnya di atas telapak tangan, yang diterima oleh Ali Al-Ashghar malah sebuah anak panah yang menembus lehernya hingga ia menjadi anggota kafilah termuda yang gugur dalam peristiwa Asyuraâ€.
Dari penuturan veteran perang Iran tadi, kita bisa melihat betapa sebuah episode dari tragedi Karbala bisa membuat mereka bisa tabah dan bertahan dalam menghadapi penderitaan yang luar biasa. Inspirasi untuk tabah dengan cara mengingat terus tragedi Karbala tentulah tidak akan mungkin bisa diperoleh oleh para veteran perang tadi seandainya Asyura tidak mereka hidupkan dalam benak mereka. Dalam kehidupan sehari-haripun, seorang yang terus mengenang peristiwa Asyura pasti akan mampu bersikap resistan di hadapan segala macam kesulitan hidupnya.
Hal lain yang sering menjadi bahan pertanyaan dari orang-orang yang belum mengenal hakikat madzhab Ahlul Bait adalah terkait dengan masalah mengapa kita harus terus memelihara rasa benci terhadap para pembantai keluarga rasulullah di Padang Karbala yang peristiwanya terjadi belasan abad yang lalu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang harus dipahami. Pertama, kebencian terhadap perbuatan buruk haruslah dipelihara terus oleh seorang muslim. Inilah ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Kedua, ada makhluk-makhluk tertentu di dunia yang menjadi manifestasi utuh dari perbuatan buruk. Untuk itu, Al-Quran dan Sunnah Nabi juga mengajarkan kepada kita untuk membenci makhluk tersebut. Contoh paling jelas untuk hal ini adalah makhluk bernama Iblis. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk memelihara kebencian Iblis dan segala perbuatannya.
Pemeliharan kebencian terhadap keburukan dan simbol keburukan itu diajarkan oleh agama supaya kita tidak tidak terjatuh ke dalam perbuatan buruk itu. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang ini, apakah mungkin makhluk yang menjadi simbol perbuatan buruk itu berupa manusia? Dengan kalimat lain, mungkinkah ada manusia yang menjadi simbol perbuatan buruk tersebut sehingga ia dan segala perbuatannya harus kita benci? Dalam sejarah ummat manusia Al-Quran memperkenalkan tokoh-tokoh jahat semacam Qabil (putera Nabi Adam), Namrud, Firaun, dll. Semasa Rasul hidup, Al-Quran juga melaknat sejumlah orang munafik karena perbuatan buruk mereka.
Dari sisi ini, kita bisa mengatakan bahwa pemeliharaan kebencian terhadap perbuatan jahat dan para pelaku perbuatan itu sebagaimana yang digelar oleh para pembantai keluarga Nabi di Padang Karbala bukan hanya tidak bertentangan dengan ajaran agama, melainkan malah sebuah ajaran abadi yang harus terus kita hidupkan. Itu semua karena karakteristik para pembantai keluarga Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sama dengan karakteristik manusia-manusia yang dilaknat oleh Al-Quran.
Masalah terakhir yang menjadi pembahasan kita sekarang ini terkait dengan ratapan dan tangisan para pecinta Ahlul Bait saat mengenang peristiwa Asyura. Ada sejumlah kalangan yang mempertanyakan, mengapa tragedi ini sampai harus ditangisi padahal peristiwanya terjadi ratusan tahun silam? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama harus diingat bahwa menangis adalah reaksi refleks seseorang terhadap situasi emosional tertentu yang ada dalam jiwanya. Episode demi episode dalam peristiwa Karbala memang sangat mengiris hati. Karenanya, butiran air yang menetes dari mata seseorang yang tersentuh hatinya ketika mengenang peristiwa Asyura adalah sebuah proses fisiologis yang sangat alami.
Akhir-akhir ini, para psikolog menyodorkan teori tangisan sebagai bentuk katarsis atau pelepasan emosi yang menyumbat, sehingga kondisi emosional kita yang terkadang berubah-ubah karena situasi tertentu bisa kembali seimbang lewat tangisan tersebut. Para psikolog lainnya juga berbicara mengenai butiran air mata yang bisa melembutkan hati. Walhasil, tangisan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk.
Ada sejumlah pihak yang menyebut tangisan sebagai simbol kecengengan atau malah simbol ketidakrelaan kita atas kehendak Allah. Pernyataan ini memang bisa dibenarkan dalam sejumlah kasus. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan tangisan terhadap peristiwa Asyura, pernyataan tadi menjadi tidak relevan. Menangisi Asyura jelas bukan sebuah kecengengan. Justru kalau ada orang yang mengetahui adanya tragedi dahsyat ini kemudian ia sama sekali tidak bereaksi, itu menunjukkan bahwa hatinya sudah sekeras batu. Meratapi tragedi Karbala juga tidak bisa dikategorikan sebagai ketidakrelaan atas kehendak Allah karena yang tidak direlakan oleh para pecinta Ahlul bait adalah perbuatan bengis Yazid dan tentaranya, yang juga sama sekali tidak diridhoi Allah SWT.
Banyak kaum muslimin dunia yang belum mengenal madzhab Ahlul Bait ini yang mempertanyakan, mengapa orang-orang Syiah tiap tahun mengenang peristiwa tragis ini? Mengapa kematian sekelompok orang yang sudah berlalu sekian abad dari zaman kita masih terus ditangisi? Mengapa perasaan benci terhadap para pembantai keluarga Nabi masih dipelihara oleh orang-orang Syiah? Bukankah kita sebagai seorang muslim sudah seharusnya melupakan masa lalu dan memaafkan segala kesalahan mereka?
Sejak Imam Husein a.s. gugur di Karbala dan kepemimpinan atas ummat Islam atau imamah berpindah tangan kepada puteranya Imam Ali bin Husein As-Sajjad a.s, mengenang peristiwa pahit Karbala itu sudah diperintahkan oleh para imam. Dalam berbagai kesempatan, para imam selalu meminta para penyair dan orator terkenal di zamannya untuk membacakan kembali berbagai kisah yang berlangsung pada tanggal 10 Muharam tahun ke-61 Hijriah tersebut. Kita bisa mengemukakan sejumlah hal yang menyebabkan para imam sampai menyuruh para pengikutnya agar menghidupkan terus peristiwa Karbala dalam ingatan mereka.
Pertama, peringatan Asyura bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang mendambakan keadilan untuk melakukan gerakan kebangkitan. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, situasi represif yang ada pada zaman khilafah Yazid bin Mua’awiyah sudah sedemikian buruknya sampai-sampai, saat menerima ancaman dari Yazid agar membaiatnya sebagai khalifah, Imam Husein mengatakan, “Kita harus melupakan Islam untuk selama-lamanya jika kaum muslimin harus diperintah oleh orang semacam Yazidâ€.
Berbagai ciri-ciri masa jahiliah yang hendak dikembalikan lagi oleh Bani Umayyah mencapai klimaksnya pada zaman pemerintahan Yazid. Saat itu, Islam betul-betul tinggal nama. Sedangkan perilaku keseharian yang dipraktikkan oleh mereka yang mengaku sebagai pemimpin ummat Islam sudah sangat mirip dengan perilaku para tokoh Qureisy di zaman jahiliah dulu. Fanatisme terhadap kaumnya sendiri, taklid buta, dibuangnya rasa kemanusiaan, dan dicampakkannya ilmu pengetahuan sudah menjadi perilaku sehari-hari kalangan istana Syam tempat Yazid memerintah. Hal itu sangat terasa kontras dengan masa beberapa dekade sebelumnya, saat pemerintahan Islam langsung dipegang oleh Rasulullah SAWW.
Kembalinya masa gelap jahiliah kepada kehidupan masyarakat adalah sebuah proses sejarah yang terus berulang dengan instrumen yang berbeda-beda. Di setiap saat, selalu saja ada gerakan yang dilakukan orang-orang jahat untuk mengembalikan masa jahiliah. Dari sini, panji kebangkitan Asyura yang dipancangkan oleh Imam Husein a.s. akan menjadi inspirasi yang tiada habisnya bagi para pendamba keadilan. Mereka bisa melihat bahwa penegakan keadilan itu harus dilakukan meskipun itu berarti hilangnya nyawa diri sendiri dan sejumlah besar keluarga.
Di depan pasukan Ibnu Ziyad yang kemudian menjadi pasukan pembantainya di Karbala, Imam Husein mengatakan demikian.
“Wahai ummat Islam, dengarlah kata-kataku. Aku pernah mendengar kakekku, Muhamad SAWW, berkata bahwa selalu saja ada pemimpin yang mengaku bergama Islam tetapi berperilaku represif. Ia merobek-robek janji yang telah dibuatnya dengan Allah. Ia menentang sunnah Rasululllah. Ia juga memerintah dengan cara-cara kejam dan maksiat. Siapapun yang melihat pemimpin semacam itu tetapi ia tidak melakukan perlawanan dengan tindakan maupun hanya sekedar kata-kata, maka Allah akan membangkitkannya kelak di hari kiamat bersama pemimpin yang zhalim tersebutâ€.
Peristiwa Asyura juga memberikan inspirasi kepada para pejuang keadilan bahwa dalam pandangan Allah, kemenangan yang hakiki terkadang tidak bisa tampak pada hal-hal yang sifatnya lahiriah. Pada peristiwa Asyura, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya malah terbantai. Akan tetapi, kekalahan secara lahiriah itu malah merupakan sebuah kemenangan hakiki. Dalam Islam, kemenangan hakiki akan diperoleh ketika seseorang mengalahkan hawa nafsu dan bisikan setan hingga ia mampu melaksanakan perintah Ilahi.
Tentu saja harus kita ingat bahwa secara lahiriah pun, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sebenarnya bisa disebut memperoleh kemenangan. Hanya saja, kemenangan itu bersifat politis yang bisa tampak dari situasi yang tercipta setelah peristiwa Karbala itu terjadi. Kaum muslimin yang selama ini tertipu oleh konspirasi-konspirasi licik lingkaran elite politik Bani Umayah, sejak syahidnya Imam Husein di Karbala, mulai sadar dengan ketertipuannya. Saat itu pertanyaan-pertanyaan kritis mulai mengemuka: bagaima mungkin seorang yang mengklaim diri sebagai khalifah kaum muslimin, akan tetapi berani membantai keluarga Rasulullah? Posisi politis Yazid dan antek-anteknya betul-betul hancur begitu Imam Husein gugur di Karbala.
Yang juga tidak boleh dilupakan dari kekalahan Imam Husein secara militer adalah fakta bahwa secara teoretis memang tidak mungkin mengharapkan Imam Husein dan 72 sahabatnya bisa menang melawan pasukan Ibnu Ziyad yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Seandainya kekuatan kedua pihak berimbang atau minimalnya tidak timpang, bisa dipastikan bahwa Imam Husein akan meraih kemenangan secara militer. Dalam pertempuran yang lebih pas untuk dikatakan pembantaian itu, jumlah tentara Ibnu Ziyad yang tewas pun sangat banyak.
Inilah yang bisa kita saksikan dari kebangkitan revolusi Islam di Iran pimpinan Imam Khomeini. Kaum revolusioner Iran mampu menumbangkan rezim despotik Syah dengan menyandarkan inspirasi mereka kepada perjuangan revolusioner Imam Husein di Karbala. Sejarah mencatat bahwa perlawanan fisik Imam Khomeini dan sahabat-sahabat mulai menggelegak sejak Imam ditahan oleh pihak keamananan kerajaan pada tanggal 5 Juni 1963, dan itu hanya terjadi tiga hari setelah para ulama Iran menyerukan peringatan duka Asyura secara nasional.
Dari Libanon selatan, para pejuang Hizbullah juga berhasil mengusir tentara penjajah Israel yang didukung oleh peralatan militer super canggih. Para pejuang Hizbullah yang mayoritasnya bermadzhab Ahlul Bait itu mengaku bahwa secara mental, mereka tidak pernah kelelahan ketika memperjuangan sesuatu yang sangat berat itu, karena menurut mereka, hal yang jauh lebih berat pernah di ditanggung oleh panutan mereka, yaitu Imam Husein a.s. dan sahabat-sahabatnya di Karbala.
Para pejuang keadilan akan memiliki ketahanan mental dan tidak akan mengenal lelah dalam perjuangan mereka jika mereka menghidupkan terus peristiwa Asyura dalam benak mereka. Setiap detik dari peristiwa yang terjadi di Karbala adalah elegi kepiluan yang sangat sulit ditandingi oleh peristiwa apapun di sepanjang sejarah ummat manusia. Karena itu, ketika berhadapan dengan hal-hal yang sangat sulit sekalipun, seorang pejuang yang terus menghidupkan Asyura dalam benaknya tidak akan pernah merasa putus asa karena yang dialami oleh Imam Husein dan keluarganya di Karbala akan tetap jauh lebih sulit dibandingkan dengan yang dialaminya.
Para veteran perang Iran akan selalu mengisahkan heroisme yang mereka gelar dalam perang melawan tentara Saddam dengan menyebut-nyebut kepiluan tragedi Karbala sebagai inspirasi tiada habisnya hingga mereka bisa resisten di hadapan kesulitan-kesulitan yang menghadang. Seorang veteran perang Iran pernah menceritakan kesulitan yang dihadapinya ketika selama tiga hari berturut-turut dikepung pasukan Saddam. Saat itu, ia dan dua orang rekannya berada di sebuah pos penjagaan Khurramshahr yang sudah ditinggalkan oleh tentara Iran lainnya. Kemungkinan besar, para tentara Iran yang lain mengira bahwa ia dan dua rekannya sudah gugur ditembak tentara Irak. Selama tiga hari terjebak di pos penjagaan itu, ketiga tentara Iran tersebut diteror oleh tentara Irak dengan dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Simaklah penurutan sang veteran perang.
“Ketika tentara Saddam datang, kami sedang berada di sebuah pos penjagaan, sebuah ruangan kecil berukuran 1 x 2 meter. Mereka langsung mengepung pos dari berbagai arah. Saluran listrik dan air yang tadiya terhubung ke pos penjagaan mereka putus. Mereka kelihatan sekali ingin menyiksa kami, karena kalau mau, mereka dengan mudah mengebom pos penjagaan hingga kami bisa mati seketika. Tetapi yang mereka lakukan hanyalah melakukan tembakan-tembakan ke arah tembok pos penjagaan. Mereka lakukan semua itu sambil tertawa-tawa mengejek. Mungkin yang mereka inginkan adalah kami melakukan bunuh diri karena tidak kuat dengan situasi yang adaâ€.
“Situasi kami memang sangat sulit. Selama 72 jam kami bertiga berada di sebuah ruangan kecil tanpa makanan dan minuman. Kami bahkan tidak bisa buang air di tempat lain karena sedikit saja kami memperlihatkan anggota badan kami, tentara Irak itu akan segera menembaki kami. Kami akhirnya berhasil lolos setelah datang bantuan dari rekan-rekan kami. Mereka yang kini mendengar penuturan saya mengenai kesulitan yang kami hadapi saat itu mungkin akan menganggap kami sebagai perjuangan yang sangat berat. Namun, sebenarnya tidak demikian. Penderitaan kami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan siksaan yang dialami oleh Ali Al-Ashghar, bayi kecil yang selama tiga hari tidak mendapatkan minuman apapun. Selama tiga hari itu, Ali Al-Ashgar disengat teriknya mentari padang Karbala yang buas. Ketika Imam Husein ingin memberitahukan penderitaan Ali Al-Ashghar kepada pasukan Ibu Ziyad dengan cara mengusungnya di atas telapak tangan, yang diterima oleh Ali Al-Ashghar malah sebuah anak panah yang menembus lehernya hingga ia menjadi anggota kafilah termuda yang gugur dalam peristiwa Asyuraâ€.
Dari penuturan veteran perang Iran tadi, kita bisa melihat betapa sebuah episode dari tragedi Karbala bisa membuat mereka bisa tabah dan bertahan dalam menghadapi penderitaan yang luar biasa. Inspirasi untuk tabah dengan cara mengingat terus tragedi Karbala tentulah tidak akan mungkin bisa diperoleh oleh para veteran perang tadi seandainya Asyura tidak mereka hidupkan dalam benak mereka. Dalam kehidupan sehari-haripun, seorang yang terus mengenang peristiwa Asyura pasti akan mampu bersikap resistan di hadapan segala macam kesulitan hidupnya.
Hal lain yang sering menjadi bahan pertanyaan dari orang-orang yang belum mengenal hakikat madzhab Ahlul Bait adalah terkait dengan masalah mengapa kita harus terus memelihara rasa benci terhadap para pembantai keluarga rasulullah di Padang Karbala yang peristiwanya terjadi belasan abad yang lalu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang harus dipahami. Pertama, kebencian terhadap perbuatan buruk haruslah dipelihara terus oleh seorang muslim. Inilah ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Kedua, ada makhluk-makhluk tertentu di dunia yang menjadi manifestasi utuh dari perbuatan buruk. Untuk itu, Al-Quran dan Sunnah Nabi juga mengajarkan kepada kita untuk membenci makhluk tersebut. Contoh paling jelas untuk hal ini adalah makhluk bernama Iblis. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk memelihara kebencian Iblis dan segala perbuatannya.
Pemeliharan kebencian terhadap keburukan dan simbol keburukan itu diajarkan oleh agama supaya kita tidak tidak terjatuh ke dalam perbuatan buruk itu. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang ini, apakah mungkin makhluk yang menjadi simbol perbuatan buruk itu berupa manusia? Dengan kalimat lain, mungkinkah ada manusia yang menjadi simbol perbuatan buruk tersebut sehingga ia dan segala perbuatannya harus kita benci? Dalam sejarah ummat manusia Al-Quran memperkenalkan tokoh-tokoh jahat semacam Qabil (putera Nabi Adam), Namrud, Firaun, dll. Semasa Rasul hidup, Al-Quran juga melaknat sejumlah orang munafik karena perbuatan buruk mereka.
Dari sisi ini, kita bisa mengatakan bahwa pemeliharaan kebencian terhadap perbuatan jahat dan para pelaku perbuatan itu sebagaimana yang digelar oleh para pembantai keluarga Nabi di Padang Karbala bukan hanya tidak bertentangan dengan ajaran agama, melainkan malah sebuah ajaran abadi yang harus terus kita hidupkan. Itu semua karena karakteristik para pembantai keluarga Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sama dengan karakteristik manusia-manusia yang dilaknat oleh Al-Quran.
Masalah terakhir yang menjadi pembahasan kita sekarang ini terkait dengan ratapan dan tangisan para pecinta Ahlul Bait saat mengenang peristiwa Asyura. Ada sejumlah kalangan yang mempertanyakan, mengapa tragedi ini sampai harus ditangisi padahal peristiwanya terjadi ratusan tahun silam? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama harus diingat bahwa menangis adalah reaksi refleks seseorang terhadap situasi emosional tertentu yang ada dalam jiwanya. Episode demi episode dalam peristiwa Karbala memang sangat mengiris hati. Karenanya, butiran air yang menetes dari mata seseorang yang tersentuh hatinya ketika mengenang peristiwa Asyura adalah sebuah proses fisiologis yang sangat alami.
Akhir-akhir ini, para psikolog menyodorkan teori tangisan sebagai bentuk katarsis atau pelepasan emosi yang menyumbat, sehingga kondisi emosional kita yang terkadang berubah-ubah karena situasi tertentu bisa kembali seimbang lewat tangisan tersebut. Para psikolog lainnya juga berbicara mengenai butiran air mata yang bisa melembutkan hati. Walhasil, tangisan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk.
Ada sejumlah pihak yang menyebut tangisan sebagai simbol kecengengan atau malah simbol ketidakrelaan kita atas kehendak Allah. Pernyataan ini memang bisa dibenarkan dalam sejumlah kasus. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan tangisan terhadap peristiwa Asyura, pernyataan tadi menjadi tidak relevan. Menangisi Asyura jelas bukan sebuah kecengengan. Justru kalau ada orang yang mengetahui adanya tragedi dahsyat ini kemudian ia sama sekali tidak bereaksi, itu menunjukkan bahwa hatinya sudah sekeras batu. Meratapi tragedi Karbala juga tidak bisa dikategorikan sebagai ketidakrelaan atas kehendak Allah karena yang tidak direlakan oleh para pecinta Ahlul bait adalah perbuatan bengis Yazid dan tentaranya, yang juga sama sekali tidak diridhoi Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar