Para pecinta adalah para pemabuk yang tidak pernah sadar dari kemabukannya
Pada suatu ketika seseorang bertanya kepada syaikh Abdul Qadir tentang karakteristik anugerah Ilahi (Mawarid al-Ilahiyah) dan jalan setan (Mawarid syaitaniyah) maka beliau menjawab, “Anugerah Ilahiyah tidak akan datang kecuali dengan permohonan, dia tidak akan hilang oleh sebab, tidak datang dengan satu bentuk dan dalam waktu khusus. Sedangkan jalan setan biasanya berlawanan dengan karakteristik tersebut.”
Saat beliau ditanya tentang mahabbah beliau menjawab, “Mahabbah adalah bisikan di hati dari Sang Kekasih hingga seluruh isi dunia baginya bak lingkaran cincin atau sebuah kumpulan yang tidak penuh. Cinta adalah kemabukan total serta usaha untuk menggapai Sang Kekasih dengan segala cara baik terang-terangan maupun yang tersembunyi. Cinta buta dari Sang Kekasih adalah cemburu. Sedangkan kebutaan cinta terhadap Sang Kelasih adalah merupakan rasa takut kepada-Nya dan dengan demikian orang tersebut buta secara keseluruhan. Para pecinta adalah para pemabuk yang tidak pernah sadar dari kemabukannya kecuali saat mereka menyaksikan Sang Kekasih. Mereka adalah para penderita penyakit yang sakitnya hanya dapat disembuhkan dengan memperhatikan apa yang mereka minta. Mereka juga orang-orang bingung yang tidak bergaul kecuali bersama Tuannya, tidak mengucapkan sesuatu kecuali menyebutkan Dia dan tidak menjawab kecuali dipanggil oleh-Nya.
Berkenaan dengan tajrid Syaikh Abdul Qadir berkata, “Melepaskan sirr tadabbur dengan pembuktian alam dalam rangka mencari Sang Kekasih dan menelanjanginya dalam perendahan diri dengan memakaikannya pakaian ketenangan dalam pemutusdan diri dari yang ditentukan serta menarik diri dari makhluk dan menyerahkannya kepada Al-Haq.
Berkenaan dengan ma’rifat syaikh Abdul Qadir berkata, “Ma’rifah adalah ditampakkannya berbagai rahasia alam, menyaksikan Al-Haq di seluruh benda dengan pancaran ke-Esaan-Nya yang memancar dari seluruh benda dan menguasai ilmu hakikah ketika berada dalam kondisi fana (luruh) dari segala sesuatu. Sesungguhnya efek yang tersisa isyarat al-Baaqy dengan penampakan (talwih) adalah ke-Mahawibawaan Allah. Sedangkan efek dari pemancaran (talmii’) di atas, adalah ke-Agungan Ilahi yang disertai dengan penglihatan bathin”.
Berkenaan dengan himmah, “Adalah melepaskan jiwanya dari kecintaan terhadap dunia, ketergantungan dari sebab akibat dari ruhnya, melepaskan hasrat diri dan menjadikannya hanya berhasrat kepada Ilahi yang ada di dalam kalbu dan menanggalkan perhatiannya terhadap alam semesta dari sirr-nya walaupun hanya sekejap.”
Berkenaan dengan hakikat, syaikh Abdul Qadir berkata,”Hakikat adalah yang tidak dapat dihilangkan oleh lawannya dan tidak terhalangi. Bahkan semua lawannya lebur ke dalam dirinya dan semua yang menghalanginya akan hilang ketika dilewatinya”.
Berkenaan dengan derajat tertinggi dari dzikir beliau berkata, “Apabila isyarat Al-Haq akan keabadian inayah-Nya terus berbekas di dalam hati. Inilah yang disebut dengan dzikir tanpa putus, yang tidak lagi cacat karena lupa dan tidak pula redup karena alpa. Dalam level ini, fisik jiwa maupun hatilah yang berdzikir. Dzikir inilah yang oleh Al-Haq diisyaratkan sebagai dzikr al-katsiir (dzikir yang banyak) di dalam al-Qur’an. Dan sebaik-baik dzikir adalah yang menggelorakan hati, datang dari Al-Mulk Al-Jabbaar (Allah) dalam wadah rahasia-rahasia hati.
Berkenaan dengan syauq (kerinduan) Syaikh Abdul Qadir berkata, “Kerinduan terbaik berasal dari musyahadah (penyaksian) karena kerinduan jenis tersebut tidak melemah oleh perjumpaan, tidak padam oleh cerita, tidak hilang oleh ejekan, tetapi tetap berada dalam keintiman. Bahkan semakin banyak bertemu maka semakin dalam kerinduan yang dirasa. Dan kondisi kerinduan (syauq) baru diakui apabila telah berhasil menanggalkan faktor penyebabnya yaitu mengikuti ruuh atau himmah atau menjaga nafs hingga kerinduan yang ada benar-benar murni dari sebab. Dalam kondisi tersebut dia tidak lagi mencerap sebab kerinduan karena setiap saat ia menyaksikan-Nya dan menjadi semakin rindu dari satu penyaksian ke penyaksian yang lain”.
Berkenaan dengan tawakal Syaikh Abdul Qadir berkata, “Terpusatnya aktivitas sirr kepada Allah semata hingga melupakan untuk apa dia bertawakal dan juga melupakan segala sesuatu. Maka terjadi peningkatan rasa dari perasaan dekat (hisymah)menjadi lebur dalam tawakal (fana’ fii tawakal). Dan dengan memperhatikan esensi ma’rifat, maka tawakal adalah merupakan pancaran As-sirr terhadap rahasia segala sesuatu yang telah ditakdirkan. Juga meyakini hakikat keyakinan sesuai dengan makna – makna pandangan ma’rifat karena hakikat tersebut tersembunyi sehingga tidak dapat dicacati oleh ketidak-yakinan”.
Dilain kesempatan Syaikh Abdul Qadir menjelaskan tawakal sebagai berikut, “Tawakal memiliki hakikat sebagaimana yang dimiliki oleh ikhlas. Jika hakikat ikhlas adalah hilangnya himmah (hasrat untuk mendapatkan balasan) dari berbagai amal yang dilakukan, maka hakikat tawakal adalah tidak menyandarkan diri kepada daya dan kekuatan serta mempercayakan diri hanya kepada Allah.” Kemudian Sang Syaikh kembali berkata, “Saudara, berapa banyak perkataanku yang tidak engkau dengar, yang engkau dengar akan tetapi tidak engkau mengerti, yang dimengerti namun tidak diamalkan, dan engkau amalkan namun tanpa keikhlasan, serta tanpa engkau lebur dalam keikhlasan dan wujudmu”.
Ketika Sang Syaikh ditanya tentang inabah, Syaikh Abdul Qadir berkata, “berusaha mendapatkan berbagai maqam dan berhati-hati untuk tidak berhenti hanya pada derajat spiritual, kemudian terus meninggi hingga tempat tertinggi dari alam semesta dan bersandar pada niat hingga mencapai hadirat Ilahi”.
0 komentar:
Posting Komentar