Senin, 11 Januari 2010

Dimulainya Perang Tak Seimbang

Pasukan dari pihak yang hak dan pihak yang batil akhirnya bergerak maju dalam posisi frontal. Dari pihak Imam Husain as, nampak wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar lagi untuk berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam keabadian di sisi Al-Khalik dengan kepakan sayap-sayap imannya yang lebar. Dengan jiwa yang membaja mereka siap mengarungi lautan darah membela kehormatan dan cita-cita mulia Al-Husain as, bintang kejora dari keluarga suci Rasul. Jiwa mereka yang sudah terpatri dalam semangat altruisme telah siap menyongsong kematian yang suci dan sakral sebelum Imam Husain as sendiri meneguk puncak kemuliaan derajat syahadah.

Saat bayangan kecamuk perang sudah nampak di depan mata itu, Hur datang mendekati Imam Husain sambil berkata: “Hai Putera Rasul, saat Ubaidillah menggiringku untuk memerangimu, dan lalu aku keluar dari Darul Imarah aku mendengar suara lapat-lapat dari belakang mengatakan: ‘Berita gembira tentang kebaikan untukmu, Hai Hur.’ Saat aku berpaling ke belakang, aku tak melihat satu orangpun sehingga aku lantas berkata dalam hati bahwa demi Allah ini bukanlah berita gembira karena aku akan pergi untuk memerangi putera Rasul, dan aku tadinya tak pernah berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan bertaubat. Baru sekarang aku menyadari bahwa itu memang berita gembira.”

“Hai Husain, aku adalah orang pertama yang berani menghadangmu. Karena itu sekarang perkenankan aku untuk menjadi orang pertama yang akan berkorban untukmu agar di hari kiamat kelak aku bisa menjadi orang pertama yang dapat berjabat tangan dengan Rasulullah SAWW.”[1]

Imam Husain as mengizinkan permohonan Hur untuk maju sebagai orang pertama untuk berjihad. Hur pun maju dengan gagah berani. Saat berhadapan dengan barisan pasukan musuh yang berjumlah besar itu, dia berteriak lantang:

“Hai orang-orang Kufah, laknat untuk kalian dan ibu yang melahirkan kalian. Kalianlah yang mengundang hamba salih Allah ini untuk mendatangi kalian tetapi kemudian melupakan begitu saja janji yang pernah kalian nyatakan. Kalian sekarang malah mengepungnya. Kalian telah memjadikan bumi Allah yang luas ini sempit baginya sehingga tak ada lagi tempat yang aman bagi dia dan keluarganya. Kini mereka menderita bagai orang-orang tawanan. Kalian mencegah mereka untuk meneguk air sungai ElFrat sementara kalian membiarkan binatang-binatang liar meminumnya. Betapa celakanya perangai kalian terhadap anak keturanan Rasul. Di hari kiamat Allah pasti akan membiarkan kalian tercekik kehausan…”[2]

Kata-kata Hur kembali menyengat telinga pasukan dari Kufah tersebut. Tak tak tahan digedor emosi, mereka menyerang Hur. Sambil melawan dan mengayun-ayunkan pedangnya Hur berteriak-teriak lagi:

“Rumahku selalu menjadi tempat singgahnya para tamu dan aku tahu adat menghormarti tamu. Namun, untuk membela para tamu yang lebih mulia daripada para tamu Allah di Makkah dan Mina ini pedangku tak akan segan-segan membabat siapa saja. Akulah orang yang tumbuh besar di tengah keluarga pemberani dan aku mewarisi mereka.”

Selama melakukan perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hur sempat melihat anaknya yang juga termasuk satu diantara ribuan pasukan musuh. Hur meminta puteranya yang bernama Ali itu supaya bertobat, dan usaha Hur itu berhasil sebelum manusia yang terbebas dari angkara murka ini gugur sebagai syahid.

Dalam riwayat disebutkan bahwa saat melihat anaknya, Hur berkata: “Puteraku, kini sudah tiba saatnya bagimu untuk mempertontonkan keberanianmu di jalan putera Rasulullah hingga kamu gugur.” Kata-kata sang ayah segera membuat anaknya sadar. Putera bernama Ali dari keluarga pemberani itu segera menari-narikan pedangnya untuk membabat siapa saja dari pasukan musuh yang ada di dekatnya. Tak kurang dari 24 pasukan musuh mati terkapar akibat sabetan pedangnya sebelum dia sendiri kehabisan tenaga dan gugur dibantai musuh.

Saat menyaksikan anaknya tersungkur ke tanah tanpa nyawa, Hur memanjatkan puji syukur untuk anaknya: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi-Mu dengan syahadah di sisi putera dari puteri Rasulullah.”[3]

Hur kemudian bergegas lagi menghadapi pasukan musuh. Saat itu dia melihat saudaranya yang bernama Mash’ab yang bergerak mendekatinya. Pasukan Umar bin Sa’ad segera menduga akan terjadi duel antara kakak dan adik. Mereka menyoraki keduanya. Namun, ketika berhadapan dengan Hur, Mash’ab tiba-tiba berkata:

“Aku ucapkan selamat kepadamu yang telah berhasil membebaskan diri dari kesesatan dan mendapatkan hidayah. Sekarang bawalah aku ke hadapan Imam Husain agar taubatku diterima.”

Hur lantas membawanya menghadap Imam Husain dan memperkenalkannya kepada beliau. Mash’ab pun bertaubat dan masuk ke dalam barisan pengikut Imam Husain as. Umar bin Sa’ad semakin naik pitam melihat ulah dua orang kakak beradik itu. Dia segera memerintahkan Sofwan bin Handalah, orang yang dikenal jagoan di Kufah, untuk menghabisi Hur jika Hur memanantang duel.

Maka, begitu Hur memacu kudanya ke arena pertempuran, Sofwan segera menghadangnya sambil berteriak: “Hai Hur, betapa keparatnya perbuatanmu. Kamu berpaling dari khalifah Yazid dan menyebrang ke kelompok Husain.”

Hur menjawab: “Setahuku kamu adalah lelaki yang pintar, tetapi sekarang aku heran mengapa kamu sampai mengeluarkan kata-kata seperti ini. Kamu memintaku supaya meninggalkan Husain lalu memilih bergabung dengan Yazid, si tukang mabuk dan penzina itu?!”

Mendapati jawaban seperti ini, tanpa basa-basi lagi Sofwan menghunus pedang dan mengayunkannya ke arah tubuh Hur. Namun dengan tangkasnya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah itu. Belum sempat melancarkan serangan lagi, Sofwan tiba-tiba mengerang kesakitan begitu mendapat serangan balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat Hur. Dada Sofwan tertembus tombak yang dihunjamkan Hur. Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.

Tiga saudara Sofwan geram menyaksikan pemandangan itu. Hur segera dikeroyok oleh mereka. Tapi ketiga orang itu ternyata tak ada artinya di depan kehebatan Hur yang baru saja menjadi komandan pasukan musuh itu. Tiga-tiganya roboh menyusul Sofwan ke alam baka. Hur kemudian menantang orang-orang lain untuk duel. Tapi begitu tak seorang pun berani menjawab tantangannya, Hur segera mendobrak barisan musuh. Barisan itupun cerai-berai dan Hur segera kembali lagi menghadap Imam Husain dengan wajah ceria setelah berhasil menambah jumlah korban tewas di pihak musuh. Begitulah seterusnya apa yang dilakukan Hur hingga banyak korban yang berjatuhan akibat sabetan pedang Hur.

Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau diterjang pendekar bernama Hur itu, Umar bin Sa’ad segera memekikkan suara: “Hujani dia dengan panah. Jangan biarkan dia lolos!”

Hujan panah pun menyerbu tubuh sang pendekar bernama Hur itu. Dia tak kuasa menghalau serangan selicik itu. Tubuhnya menjadi sarang beberapa anak panah beracun itu. Sebelum tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju menerjang musuh dan sebagian lain membopong Hur yang dalam keadaan sekarat dan membawa ke hadapan Imam Husain as.

Imam kemudian mengusap wajah Hur sambil berucap: “Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan ibumu untukmu. Kamu hur di dunia dan di akhirat.”[4] Hur sang manusia bijak dan pemberani itu kemudian menghembuskan nafas terakhir.

Dan kini giliran Mash’ab, saudara Hur, yang meminta izin kepada Imam Husain as untuk berbuat seperti Hur. Imam mengizinkan dan Mash’ab pun menantang musuh untuk berduel. Setelah tak seorangpun dari pihak musuh yang berani berduel, Mash’ab memulai serangannya dengan mengobrak-abrik barisan musuh. Seperti Hur, Mash’ab juga ahli perang. Pedang Mash’ab berkelebat ke sana kemari dan mengimbas siapapun yang ada di dekatnya. Korbannya berjatuhan. Namun, apalah artinya seorang Hur dan Mash’ab di depan lautan pasukan kuffar itu. Tubuh Mash’ab akhirnya menerima tikaman-tikaman senjata musuh setelah tubuhnya lemas kehabisan tenaga. Mash’ab pun roboh menyusul saudara dan kemenakannya setelah berusaha menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati junjungannya, Imam Husain as. Dia mengakhiri kehidupannya di alam fana ini setelah mengucapkan kata-kata: “Salam atasmu wahai putera Rasul.” Imam pun menjawab: “Salam pula atasmu, dan kami akan menyusulmu.”[5] Setelah itu beliau membacakan ayat suci AlQuran:

“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).”[6]

Gugurnya beberapa orang bekas pasukan musuh itu kemudian disusul dengan terjunnya para sahabat Imam Husain as ke medan pertempuran. Mereka berguguran satu persatu setelah masing-masing berhasil merenggut ajal beberapa orang dari serdadu musuh. Diantara para sahabat setia itu adalah Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan musuh. Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sempat mengucapkan kata-kata indah kepada junjungannya, Imam Husain as.

“Wahai Putera Rasul!â€‌ Ucap Muslim. “Aku akan pergi untuk memberikan berita gembira kepada kakek dan ayahmu tentang ketibaanmu.â€‌ Arwah Muslim bin Ausajah terbang meninggalkan jasadnya yang fana setelah ucapan itu tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan anaknya. Darah sang anak mendidih menyaksikan kematian ayahnya dalam keadaan bersimbah darah. Dia segera menungangi kuda untuk memacunya ke arah pasukan musuh dan melancarkan serangan. Namun, gerakan itu dicegah oleh Imam Husain as. “Hai pemuda!â€‌ Panggil beliau. “ Ayahmu telah gugur. Jika kamu juga gugur, siapakah nanti yang akan melindungi ibumu?â€‌

Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri. “Apakah kamu lebih mementingkan kehidupan di dunia ini daripada kebersamaan dengan Putera Rasul? Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu.â€‌

Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah segera menarik tali kendali dan memacu kudanya ke medan pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari belakang: “Bergembiralah anakku, tak lama lagi kamu akan meneguk air telaga Al-Kautsar!â€‌ Suara ini rupanya menambah semangat putera Muslim sehingga tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak kurang dari 30 tentara musuh. Pemuda itu kemudian tersungkur dalam keadaan penuh luka. Kepalanya kemudian dipenggal dan dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera mendekap dan menciuminya di depan beberapa pasang mata pengikut Imam Husain yang berlinang menyaksikan adegan tragis dan mengharukan itu.

Diriwayatkan pula bahwa saat kecamuk perang berlanjut hingga pertengahan hari Asyura, sahabat Imam yang bernama Abu Tsamamah Asshaidawi datang mendekati beliau sambil berkata: “Walaupun aku tahu musuh tidak akan memberi kesempatan, tetapi demi Allah, jangan sampai engkau terbunuh sebelum aku, wahai Putera Rasul. Walau demikian, aku ingin menghadap Allah dan kini aku ingin mendirikan solat di belakangmu karena waktu dhuhur telah tiba.â€‌

Wajah Imam Husain as menatap ke langit dan berucap: “Kamu telah mengingatkanku kepada sholat. Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golongan orang-orang yang sholat dan ingat kepada-Nya. Mintalah kesempatan kepada musuh untuk kita tunaikan sholat.â€‌

Adalah Habib bin Madhahir yang menyampaikan permintaan Imam Husain itu kepada pihak musuh. Habib sendiri adalah orang yang pernah hidup menyaksikan Rasul serta termasuk sahabat dekat Imam Ali as, dan kini dia memendam kesetian yang luar biasa kepada Imam Husain as. Karenanya, dia termasuk orang yang gigih menyerukan kepada masyarakat kufah agar membaiat Muslim Bin Aqil yang datang mewakili Imam Husain as.

Dikisahkan bahwa setelah Habib menyampaikan permohonan tersebut, Hisshin bin Tamim, salah seorang komandan pasukan musuh berteriak: “Hai Husain, sholatlah sesuka hatimu, tapi ketahuilah sholatmu itu tidak akan diterima.â€‌

Habib menjawab: “Hai si tukang mabok! Apa mungkin Allah menerimamu tetapi menolak putera Rasul?!â€‌ Hisshin merasa dihina sehingga naik pitam. Tanpa basa-basi lagi dia segera menyerang Habib. Habib berusaha menangkis, menghindari serangan, dan membalas serangan sehingga terjadilah duel satu lawan satu. Setelah duel bertahan beberapa lama, Habib berhasil mengungguli Hisshin. Pentolan pasukan bejat ini terlempar dari kudanya, tetapi kemudian ditolong dan dilindungi oleh anak buahnya.

Habib lantas menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh mengakibatkan sejumlah orang dari mereka tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin datang lagi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.

Kejadian ini menimbulkan sedikit percekcokan antara beberapa orang yang mengeroyok Hisshin. Mereka satu dengan yang lain saling berbangga sebagai orang yang paling berjasa membunuh Habib. Tetapi mereka kemudian sepakat menyerahkan kepala Habib kepada Hisshin dan menggantungnya ke leher kuda Hisshin. Kepala manusia mulia dipertontonkan ke sana kemari oleh Hisshin, dan Hisshin pun mendapat imbalan dari atasannya.

Periwayat juga menceritakan, di medan pertempuran Habib bin Madhahir sempat menyerukan kata-kata lantang kepada musuh:

“Hai manusia-manusia yang paling bejat! Demi Allah, seandainya jumlah balatentara kami setara dengan jumlah kalian atau setidaknya separoh dari jumlah kalian, niscaya kalian akan lari tunggang-langgang.”

Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak kuasa menahan haru. Wajah beliau tampak sangat berduka menyaksikan gugurnya pemegang tiang bendera sayap kiri pasukan beliau. Kepergian Habib ke alam baka diiring kata-kata beliau: “Pahala Allah untukmu, hai Habib! Engkau adalah manusia penuh keutamaan dimana dalam satu malam engkau menghatamkan AlQuran.”

Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin Al-Qain, Said bin Abdullah untuk berbaris di depan Imam Husain bersama separuh pasukan beliau yang masih tersisa untuk mengawal sholat beliau bersama separuh pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh nampak tidak mengizinkan beliau sholat.

Kekejaman musuh keluarga Nabi SAWW itu ternyata tak kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri tepat di depan Imam Husain as menjadi sasaran beberapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini gugur setelah menjadi perisai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di depan mata junjungannya yang suci itu. “Ya Allah, laknatlah golongan (musuh) itu seperti (laknat-Mu terhadap) kaum ‘Aad dan Tsamud.” Ucap Imam Husain as.

Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan musuh sehingga Imam Husain as melanjutkan sholat hingga tuntas. Seusai sholat, Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para pengikutnya. Beliau antara lain berkata:

“Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya cerah, buah-buahannya telah matang, istana-istananya sudah berhias, anak-anak dan para bidadarinya sudah berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang gugur bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan kedatangan kalian. Mereka mengucapkan selamat kepada kalian. Mereka merindukan kalian.”

“Belalah agama kalian! Belalah kehormatan Rasulullah, imam kalian, dan putera dari puteri Nabi kalian sebab kalian sebenarnya sedang diuji dengan keberadaan kami. Kalian ada di sisi kakek kami dan kalian akan menjadi manusia mulia di sisi kami. Maka berjihadlah kalian, niscaya Allah akan membalas kalian dengan kebaikan.”

Para sahabat Imam Husain as tak kuasa menahan gejolak dan kobaran semangat sekaligus rasa haru mendengar kata-kata beliau. Mereka menangis tersedu-sedu, dan sebagian menjerit histeris. Diantara mereka ada berseru mewakili yang lain.

“Demi Allah.” Seru seseorang dari mereka. “Selagi hayat masih di kandung badan, jasad kami siap menantang hujaman pedang dan serbuan anak panah agar tak seorangpun dapat menyakitimu sedikitpun, agar kami dapat menjauhkanmu dari barisan musuh yang datang menyerang hingga kami akhirnya meneguk kematian. Kebaikan yang dicari oleh seseorang hari ini akanlah kekal pada esok hari…”[7]

Para pahlawan Karbala itu akhirnya terjun ke medan laga dan bahu membahu membela junjungannya dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga masih tersisa mereka tak membiarkan siapapun untuk menjamah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para pengikut Imam Husain as dari kalangan non- Bani Hasyim tidak membiarkan seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh sebelum mereka sendiri yang maju. Kehidupan mereka di alam fana ini satu persatu redup. Arwah mereka terbang susul menyusul.

Zuhair bin AlQain adalah salah satu dari mereka. Selain pemberani, dia juga termasuk salah satu pemuka kabilahnya. Tak sedikit peperangan yang pernah dialaminya. Karena itu, kepadanyalah Imam Husain as menyerahkan tongkat komando sayap kanan. Banyak korban dari pihak musuh yang jatuh bergelimpangan akibat kehebatannya dalam bertempur. Siapapun yang berhadapan dengannya pasti akan tersungkur. Karena itu tak sembarang orang yang berani berhadapan dengannya kalau tidak ingin segera dikirimnya ke neraka. Semua pasukan musuh baru berani menghadapinya saat dia sudah tampak letih menerjang musuh yang terus mengerubunginya. Saat itulah, seseorang dari pihak musuh yang bernama Katsir bin Abdullah berani menyerangnya. Itupun dengan bantuan temannya, Muhajir bin Us. Serangan kedua orang inilah yang akhirnya merobohkan Zuhair. Robohnya pendekar beriman ini diiringi ucapan Imam Husain:

“Allah merahmatimu, hai Zuhair. Pembunuhmu akan mendapat laknat sebagaimana laknat atas orang-orang yang dikutuk menjadi kera dan babi.”

Satu lagi diantara pasukan Imam Husain as yang gugur di sahara Karbala yang tandus itu adalah Jaun, lelaki berkulit hitam. Dia adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah termasuk orang yang meminta sendiri kepada Imam untuk turut serta dalam rombongan beliau dengan resiko apapun, termasuk berjihad melawan musuh.

Menjawab permintaan ini Imam Husain as berkata: “Dulu selagi sehat kamu selalu bersama kami, dan sekarang terserah kamu kemanapun kamu hendak pergi.”

Jaun berkata: “Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di saat keadaan sedang baik dan menggembirakan. Kini, apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam kesulitan?! Demi Allah, bau tubuhku tidak sedap, aku lahir dari keturunan yang hina, dan warna kulitku hitam. Namun, apakah engkau tidak rela jika aku menjadi penghuni surga sehingga aroma tubuhku harum semerbak, jasmaniku tampak mulia, dan wajahnya putih?! Tidak, demi Allah aku tidak ingin berpisah denganmu sampai darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu.”

Dengan restu Imam Husain as di Karbala, bekas budak itu ikut berjuang melawan musuh. Seperti rekan-rekannya yang lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang dari balatentara musuh sebelum tubuhnya yang hitam itu akhirnya menjadi onggokan tanpa nyawa di tanah Karbala. Dia berhasil menggapai impiannya membela keluarga Rasul untuk kemudian bergabung dengan mereka sebagai para ‘bangsawan’ di alam surga.

Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul Bait suci itu berguguran satu persatu. Darahnya telah menyiramkan cahaya spiritual yang terang benderang di bumi Karbala, bumi duka nestapa. Jasad-jasad mereka yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti yang diharapkan musuh. Namun, jejak-jejak spiritual mereka akan tetap abadi dan tidak akan pernah sirna untuk selamanya.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008