Jumat, 08 Januari 2010

Kedua Telapak Kakiku ada di punggung setiap Wali Allah


madinah2.jpg Kedua Telapak Kakiku ada di punggung setiap Wali Allah


Bismilahirrohmaanirrohiim Alhamdu Lilaahi Robbil”aalamiin
Asholaatu Wasalaamu ‘ala Sayyidil Mursaliin, Sayidinaa wa Maulanaa Muhammadin wa ‘alaa AaliHi wa ShohbiHi wa ‘alainaa ma’ahum AmiinB

Al-Hafid Abu Izza Abdul Mughist bin Harb Al-Baghdadi dan yang lainnya berkata ” Kita biasa hadir di majelis Syeh Abdul Qodir di ribathnya di Baghdad. Umumnya yang menghadiri majelis beliau adalah para Syaikh Iraq diantaranya ; Syaikh Alibin Hiti, Baqa bin Bathu’, Abu Sa’id Al-Qailawi, Musa bin Mahin , Abu NajibAssahrawardi, Abu karam, Abu Umar, Utsman Al Qursyi, Makarim al-Akbar, Mathar, Jaakir, Khalifah, Shidqah, Yahya Murtasyi, Ad-diya Ibrahim al-Juwaini, Abu Abdulah Muhammad al-Qazwaini, dan masih banyak lagi selanjutnya klik di siniAbu Ustman, Umar Ak-Batiahi, Qadib Al- Baan, Abul Abas Ahmad Al-Yamani, Abu Abas Ahmad Al-Qazwaini beserta muridnya Daud yang selalu melaksanakan Shalat fardhu di Makkah, Abu Abdulah Muhammad Al-Khas, Abu Umar, Ustman Al-Iraqi As-Syauki, yang konon merupakan salah seorang Rijal Ghaib ….dan lain sebagainya.
 Dalam kondisi Spiritual sang Syaikh berkata “Kakiku ini ada di punggung setiap Wali”. Begitu mendengar tersebut Syeh Ali ASl-Hiti langsung bangkit dan meletakkan kaki SyehAbdul Qodir Al-Jailani di pundaknya. Begitu pula dengan yang lain, mereka telah mengulurkan pundaknya untuk melaksanakan hal tersebut.

Syaikh Ali bin Abi Barakat Shakr bin Shakr meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar ayhnya pernah berkata “Aku penah berkata kepada pamanku Syeh Uday bin Musafir ‘Sepanjang pengetahuan anda selain Syeh Abdul Qodir Al-Jailani adakah para ulama terdahulu yang berkata ‘Kedua kakiku ini ada di pungggung setiap Wali Allah ?’ “Tidak” jawabnya. ‘Jika memang demiian sambungku, lalu apa makna dari perkataan tersebut ?’ Beliau berkata “itu artinya Syeh Abdul Qodir telah mnecapai maqom wali Afrod . ‘Tapi bukankah di setiap generasi terdapat Wali Afrad bantahku lagi. “Benar tapi tidak ada seoranpun yang diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan kalimat ini” jawabnya. ‘Jadi memang beliau diperintahkan untuk mengucapkan kalimat tersebut ? tanyaku. ‘ya’ jawab beliau. Kemudian beliau berkata ‘karena adanya perintah tersebut mereka meletakkan kepala . Bukankah engkau mengetahui bahwa para Malaikat as bersujud kepada Adam karena adanya perintah krpada mereka untuk melaksanakan hal tersebut.
Syaikh Baqa bin Bathu An-Nahri Al-Maliki berkata ” Syeh Abdul Qodir berkata’kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah’”. Berkenaan dengan itu Syeh Ibrahim dan Syeh Abi Hasan Ali Arrifa’i al-Bathiahi mwriwayatkan bahwa ayahnya pernah bertanya kepada pamannya Syeh Ahmad Arrifa’i ‘apakah pernyataan Syeh Abdul Qodir ‘ kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah berdasarkan perintah atau tidak?’ Pernyataan tersebut berdasarkan perintah jawab beliau.
Dalam sebuah riwayat tyang dinisbatkan kepada Syeh Abi Bakaw bin Hawwar menyatakan bahwa veliau pernah berkata di majlisnya ,”Nanti akan muncul di Iraq seorang non arab yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan manusia. Namanya Abdul Qodir dan tinggalnya di Baghdad, Dia akan berkata ” Kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah” Dan setiap wali akan mengakui bahwa beliau adalah wali Afrad pada zamannya.
Sulthon Auliya dan Syaikh Islam Izzuddin bin Abdissalam berkata, ” Belum pernah kemutawatiran riwayat tenteang sebuah karomah yang sampai kepada kami sebanding dengan kemutawatiran karomah Syeh Abdul Qodir Al Jailani . Beliau adalah orang yang berpegang teguh kepada Syari’ah , menyeru orang-orang untuk melaksanakan syari’ah, dan menghindarkan diri dari yang dilarang olehNya. Beliau berbaur dengan masyarakat sambil terus menerus beribadah dan beliau bisa mencampurkannya dengan sesuatu yang menyibukkan beliau seperti menikah dan memiliki keturunan . Barang siapa yang mengikuti jalan ini maka ia lebih sempurna daripada yang lain. Ditambah lagi apa yang dinyatakan fdi atas merupakan karakter dari Rosulullohi SAW . Diantara karomah beliau adalah pernyataan beliau ‘Kedua telapak kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah. Hal tersebut dikarenakan kesempurnaan beliau tidak tertandingi pada masa itu yang tidak diragukan lagi menjadikannya berhak mendapatkan kehormatan tersebut.
Syeh Mathar meriwayatkan “Suatu hari ketika saya sedang berada di Zawiyah Syeh Abu Wafa’, guruku, di daerah Qailamaya beliau berkata kepadaku ‘Ya Mathar tutup pintu, jika ada seorang pemuda Ajam (non Arab) datang memohon untuk masuk maka jangan diberi dia ijin’. Akupun melaksanakan perintah beliau. ternyata yang datang adalah Syeh Abdul Qodir yang pada waktu itu masih seorang pemuda. Beliau mohon ijin untuk masuk namun Syeh Abu Wafa’ tidak mengijinkannya masuk. Saat itu aku melihat Syeh Abu Wafa’ berjalan hilir mudik dalam zawiyah dengan gelisah. Setelah itu beliau mengijinkannya untuk masuk. Ketika Syeh Abu Wafa’ melihat Syeh Abdul Qodir beliau melangkah mendekat dan memeluknya beberapa lama seraya berkata ‘Abdul Qodir‘ demi Yang Maha Agung aku tidak mengijinkanmu masuk pertama kali bukan karena keinginan zalim terhadap hakmu akan tetapi karena takut terhadap dirimu. Akan tetapi setelah aku ketahui bahwa engkau ingin belajar kepadaku dan menaatiku, baru aku merasa aman.
Syaikh Abdurrahman At-Tahfsunaji berkata “Saat Syeh Abdul Qodir datang ke Zawiyah Tajul ‘Arifin Abu Wafa’ beliau berkata kepad para muridnya ‘ Berdiri dan smbutlah Wali Allah’-Pernyataan ini mungkin terjadi pada saat Syeh Abdul Qodir sedang berjalan menuju beliau atau dikeluarkan kepada mereka yang belum bediri ketika Syeh Abdul Qodir datang- Ketika beliau megulang-ulang perintah tersebut, seorang muridnya bertanya kepada beliau sebab pernyataan tersebut. Beliau menjawab “Pada saatnya nanti pemuda ini akan menjadi sandaran baik golongan khas maupun awam. Aku seakan akan melihatnya seang berbicara di depan khalayak ,”Kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah”. dan pernyataan itu benar adanya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwea beliau adalah Qutb mereka pada saat itu. Barang siapa berjumpa dengannya pada sat itu, berkhidmadlah kepadanya.
Syaikh musallamah bin Naimah As-Saruji ketika ditanya tentang siapakah Qutb itu, beliau menjawab, “Beliau sekarang ada di Makkah, bersembunyi dan hanya diketahui oleh orang-orang saleh. Dan akn muncul di sini (Iraq) seorang pemuda ‘ajam yang mulia bernama Abdul Qodir Akan tampak dari beliau beberapa Karomah yang luar biasa . Beliau adalah Qutb waktunya dan Ghauts Zamannya. Baliau akn berkata di hadapan orang-orang “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah”, dan para Wali akan merendahkan punggungnya kepada beliau. Allah akan memberikan manfaat darinya dan dari karomahnya kepada siapa saja yang mempercayainya.
Syaikh Ali Al-Hiti meriwayatkan, “ketika Syaikh Abu Wafa sedang berbicara di dalam majlis, masuklah Syeh Abdul Qodir . beliau memerintahkan para murid untuk mengeluarkannya dan meneruskan ceramahnya. Kemudian untuk yang ke tiga kalinya Syeh Abdul Qodir kembali masuk ke pengajian tersebut. Kali ini Syaikh Abu Wafa’ turun dari kursinya tempat menyampaikan pengajaran lalu memeluk beliau dan menciumi dahinya seraya berkata,’Para penduduk Baghdad, berdirilah demi Wali Allah ini. Perintahku untuk mengusirnya tidak lain agar kalian mengetahuinya bukan untuk menghinanya. Betapa mulia seorang hamba yang kibaran panji di atas kepalanya melingkupi timur dan barat’. Kemudian beliau berkata kepada Syeh Abdul Qodir , “Abdul Qadir, masa sekarang milik kami,dan kelak akan menjadi milikmu. Aku serahkan kepadamu Iraq. Semua ayam akan berkokok dan berhenti kecuali kokokan ayammu yang tidak akan berhenti hingga hari kiyamat’. Setelah itu beliau memberikan sajadah, baju, tasbih , tempat makan dan tongkatnya kepada Syeh Abdul Qodir. ‘Ambil semua itu dengan bai’at saran seseorang kepadanya. Namun Syaikh Abu Wafa’ berkata, di dahinya terdapat bai’at Al-Makhzuumi’.
Setelah majlis tersebut selesai, Taajul ‘arifiin Syaikh Abu Wafa’ turun dan duduk di akhir tangga tempatnya mencapaikan ceramah seraya  menggenggam tangan Syeh Abdul Qodir dan berkata, ‘sekarang adalah waktumu.’ Jika beliau datang aku selalu teringat akan kisah ini dan kemuliaan beliau’.
Syaikh Umar Al-Bazaar berkata, “tasbih yang diberikan Syaikh Abu Wafa kepada beliau dapat berputar sendiri biji-bijinya jika diletakkan di atas tanah. Setelah bellliau eninggal dunia, tasbih tersebut menjadi milik Syaikh Ali bin Al-Hiti. Begitu juga dengan tangan orang yang menyentuh tempat makan yang diberikan Syaikh Abu Wafa’ kepada beliau akan bergetar hingga bahunya”.
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Aquuli berkata”Aku berniat berziarah kepada Syeh Uday Bin Musafir. Ketika aku menghadap, beliau bertanya kepadaku ‘dari mana anda ?’Aku adalah salah seorang murid Syeh Abdul Qodir ‘ Jawabku. Mendengar jawabanku bekliau berkata ‘Bagus, Qutb-Al arda (bumi) yang dengan pernyataannya “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah “ menjadikan 300 Wali dan 700 orang-orang Gaib yang berjalan di bumi maupun yang terbang, mengulurkan pundak mereka kepadanya dalam satu waktu”.
Kemudian aku menziarahi Syeh Ahmad Rifa’i dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Syeh Uday saat itu dan beliau berkata “sungguh tepat apa yang disampaikan beliau (Syeh Uday).
Syaikh Majid Al Kurdi berkata,”saat Syeh Abdul Qodir mengatakan pernyataan di atas, semua wali di bumi pada saat itu merendahkan lehernya sebagai tanda pengakuan mereka terhadap beliau. Dan tidak ada segolongan jin soleh pun yang tidak datang menghadapnya untuk bertobat dan mengakui beliau hingga mereka berdesak-desakan di pintu rumahnya.
Riwayat ini disetujui oleh Syaikh Mathar. Kemudian beliau berkata, “Aku bertanya kepada Syaikh Abdullah bin Sayyidina Syeh Abdul Qodir Al-Jailani ,’apakah engkau menghadiri majlis saat ayahmu berkata ,’kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah , ‘ya’ jawabnya. Kemudian ia berkata,’ yang hadir pada saat itu sekitar 50 orang syaikh’.
Ketiks beliau masuk ke dalam rumahnya, yang tersisa hanya Syaaikh Makarim, Syaikh Muhammad Al-Khas, dan Syaikh Ahmad Al-‘Aarini. ‘kamipun duduk dan berbincang-bincang’ ujarnya. Syaikh Makarim berkata, “Allah memperlihatka  kepadaku pada saat itu semua orang yang memiliki panji kewalian di muka bumi mengakui panji kequthuban di tangan beliau dan mahkota ghoutsiah di atas kepala beliau dan jubah otoritas total atas segala yang wujud/eksis , untuk mengangkatnya menjadi Wali atau menurunkannya sesuai syariat dan hakikat. Dan aku mendengar eliau berkata  ,”kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah yang akan menundukkan kepala dan merendahkan dirinya kepada beliau bahkan termasuk di dalamnya para abdal yang sepuluh, usltan masa tersebut
 Masih berkenaan dengan pernyataan Sang Syaikh, Syeh Abu Sa’id Al-Qailawi berkata “ketika Syeh Abdul Qodir mengatakan ‘kedua telapak kakiku ini ada di setiap punggung Wali Allah’ , Allah Tajalli dalam jiwa beliau. Kemudian sekelompok malaikat datang membawakan jubah kebesaran Rosululloh SAW untuk dipakaikan kepada beliau di hadapan para Wali terdahulu maupun yang akan datang.-yang hidup datang dengan jasadnya, yng sudah meninggal datang dengan ruhnya. Para malaikat dan Rijal Al-Ghaib mengelilingi majlisnya dan berbaris ber shaf-shaf di udara , begitu banyak jumlahnya hingga seluruh ufuk penuh dengan kehadiran mereka. Dan semua Wali yang ada di muka bumi ini menundukkan kepala untuk beliau”.
Syeikh Kholifah Al Akbar bercerita “Saat aku bertemu dengan Rosululloh SAW dalam mimpi aku bertanya kepad beliau ,’ Yaa Rosululloh Syeh Abdul Qodir trlah berkata ‘Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah ‘ Beliau menjawab ‘Yang diucapkan leh beliu adalah benar. Bagaimana mungkin tidak benar apabila dia adalah Qutb (para wali) dan aku (Rosululloh SAW yang emngawasinya.
Di hari Jum’at 3 Ramadan 599 H. seorang pria datang menghadap Syeh Hayyan bin Qis Al-Harani di masjid Al Hiran memohon Khirqah (jubah kesifian tanda bai’at) kepada beliau. “Dalam dirimu talah terdapat tanda selain aku’ kata beliau kepadanya. orang itu berkata, ‘benar aku pernah bertemu Syeh Abdul Qodir namun tidak ber bai’at kepada beliau”. Syeh Hayyan berkata “selama beberapa waktu kita telah hidup di bawah bayangan kehidupan Syeh Abdul Qodir Al Jailani .telah kita meminum gelas-gelas kebahagiaan dari mata air pengetahuan beliau. dan Dari Beliau diperoleh rahasia para Wali menurut tingkatan mereka.
Suatu saat Syeh Lulu Al Armani ketika bertemu dengan Syeh Atha’ Al-Masri , beliau meminta untuk menyebutkan para gurunya. Syeh Lulu berkata ,”Atha’ guruku adalah Syeh Abdul Qodir Al Jailani yang menyatakan “kedua telapak kakimku ini ada di punggung setiap Wali Allah .Dan pada saat beliau selesai mengucapkan hal tersebut tercatat 313 Wali Allah dari segala penjuru dunia menundukkan kepala meeka , 17 orang berada di Haramain , 60 orang di Iraq, 40 orang di negeri non Arab, 40 orang di Syam, 20 orang di mesir, 27 orang di Maroko, 11 orang di Habsyah, 7 orang di tembok penahan Ya’juj dan Ma’juj, 7 orang di Wadi Sarandib, 47 orang di gunung Qof, 20 orang di daerah teluk. Dan banyak yang besaksi bahwa pernyataan tersebut diucapkan berdasarkan perintah Allah. Kemudian beliau melanjutkan.”Aku sendiri melihat para Wali di timur maupun di barat merundukkan kepala mereka kepada Syeh Abdul Qodir kecuali seorang Wali di daerah luar Arab yang kemudian hilang tanpa bekas. Diantara mereka yang merundukkan kepalanya kepada beliau adalah Syeh Baqa’ bin Bathu’ , Syeh Abu Sa’id Al-Qaylawy , Syeh Ahmad Arrifa’y yang dalam sebuah riwayat memanjangkan lehernya dan melihat punggungnya seraya berkata,’Memang ada di punggungku’. Saat di tanya mengenai perkataannya itu, beliau berkata,’saat ini di Baghdad , Syeh Abdul Qodir sedang berkata ,’ Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah‘.
Termasuk diantara mereka yang menundukkan kepala kepada beliau adalah Abdurrahman Athafsunaji, Abu Najib Assahrawardi, yang mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar hal tersebut  seraya berkata’di atas kepalaku. Musa Al Jazuli, Musa Al Harani, Abu MUhammad bin ‘Abd, Abu Umar, Ustman bin Marzuq , Abu Al-Karam , Majid Al Kurdi , Suwaid Annajari, Ruslan Addimasqi, yangmenundukkan kepalanya di Damaskus seraya berkata kepada para muridnya ‘Allah  memiliki mutiara yaitu orang yang minum dari lautanAl Quds dan duduk di permadani ma’rifah serta menyaksikan keMaha Agungan Rububiyah / ketuhanan dan ke Maha Besaran Wahdaniyah (ketunggalan). Sifat (kemanusiaannya) lenyap saat menyaksikan keMaha Besaran Nya Eksistensinya lebur saat menyaksikan ke-WibawaanNya Maka dipakaikannya kepadanya jubah keacuhan (terhadap dunia) dan ditempatkan di puncak tangga Al-Inayah hingga beliau mencapai maqom yang telah ditentukan dan didudukkan  di puncak  ruh Azaly . Dia berbicara dengan hikmah dari lembaran-lembaran cahaya, bercampur dengan kepekatan rahasiaNya. Hilang kesadarannya ketika berada di Hadirat Allah dan tidak pernah terputus denagn Allah ketika Ia kembali sadar. Berdiri dengan penuh rasa malu, berbicara dengan tawadhu’ mendekatkan diri dengan penuh kerendahan, berbicara dengan kemuliaan , baginya ucapan selamat dan salam terbaik adalah berasal dari Tuhannya. ‘Apakah di dunia ini ada orang yang memiliki ciri seperti itu ?’ tanya seseorang kepada beliau’Ada, dan Syeh Abdul Qodir pemimpin mereka’jawab beliau. Di Maroko (Maghrib) Syaikh Abu Madin (setelah mendengarkan pernyataan Syaikh Abdul Qadir ) memanjangkan lehernya dan berkata, ‘benar dan aku salah seorang dari mereka. Yaa Allah aku bersaksi kepadaMu dan kepada para MalaikatMu bahwa aku mendengar dan patuh’.
Kemudian termasuk diantara mereka adalah Syaikh Abu Na’im AL-Maghribi, Syaikh Abu Umar dan Utsman bin Marwazih Al-Bathiahi, Syaikh Makarim, Syaikh Khalifah, Syaikh Uday bin Musafir.
Pada saat beliau mengucapkannya banyak orang yang melihat rombongan orang yang terbang di udara untuk menghadap beliau berdasarkan perintah Khidir as. Dan setelah mengucapkan selamat, seorang wali berkata kepada beliau, ‘eahai raja zaman, pengusas tempat, pelaksana perintah Sang Maha Pengasih, pewaris kitab Allah dan wakil RasuluLlah SAW, yang dianugerahi langit dan bumi, yang menjadikan seluruh orang pada masanya sebagai keluarganya, yang doanya dapat menurunkan hujan, dan berkahnya menghilangkan mendung, yang menjadikan kepala orang yang menghadapnya tertunduk, yang makhluk gaib hadir di hadapannya sebanyak 40 shaf, dengan 70 orang Gaib pada setiap shaf, yang ditelapak tangannya tertulis bahwa dia tidak akan mendapat makar dari Allah, dan di umurnya yang ke dua puluh para malaikat berputar di sekelilingnya serta menyampaikan kabar gembira kewalian beliau’.
Pada suatu masa, air sungai dajlah meluap dan membanjiri Baghdad. Orang-orangpun mendatangi beliau memohon pertolongannya. Sambil membawa tongkatnya beliau berjalan menuju tepian sungai dan menancapkannya di batas air seraya berkata, “cukup sampai di sini” dan saat itu pula air sungai tersebut menyurut.
Syaikh Abdullah Dzayyal berkata, “suatu saat ketika berada di madrasah beliau di tahun 560 H aku melihat beliau memegang tongkat. Saat itu aku berharap aku dapat melihat karamah yang keluar dari tongkat tersebut. Beliau kemudian memandang ke arahku sambil tersenyum lalu menancpakan tongkatnya ke tanah, seketika itu pula cahayanya menyembur dari tanah, menembus awan dan menjadikan langit terang benderang beberapa saat. Beliau kemudian mencabutnya kembali dan keadaan pun kembali seperti semula. Beliau berkata kepadaku, ‘Dayyal, bukankah ini yang engkau kehendaki’”.
Syaikh Abu Taqy Muhammad bin Al-Azhar Ash-Shariifni berkata, “selama setahun penuh aku memohon kepada Allah untuk dapat melihat salah seorang dari rijal Al-Ghaib. Pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengan seorang pria saat sedang menziarahi makam Imam Ahmad bin Hambal. Terbetik dalam hatiku bahwa beliau adalah salah seoraang rijal Al-Ghaib. Akupun terbangun dan sengan harapan dapat bertemu dengannya akupun pergi ke makam Imam Ahmad bin Hambal . akupun bertemu dengan orang yang ada di dalam mimpiku di sana. Saat beliau keluar aku mengikutinya hingga sampai ke tepi sungai Dajjlah. Di tepian tersebut beliau menarik tepian sungai tersebut hingga keduanya hanya berjarak satu langkah dan menyeberanginga. Aku memohon kepadanya untuk berhenti dan berbicara kepadaku. Aku bertanya, “apa mazhabmu ?”. “Aku bermazhab Hanafi, seorang muslim dan bukan musyrik”. Jawab beliau. Kemudian hatiku seakan – akan berkata, ‘pergi ke Syaikh Abdul Qadir dan ceritakan apa yang engkau alami’. Akupun mengunjungi sang Syaikh. Setibanya aku di pintu madrasah, beliau berkata dari dalam rumah tanpa membuka pintunya, ‘yaa Muhammad, saat ini hanya dialah seorang wali yang bermazhab Hanafi di muka bumi ini’.
Suatu saat beliau naik ke atas kursi tempat beliau mengajar, tidak berbicara dan tidak menyuruh pembaca kitab untuk membacakannya. Dan orang-orang yang hadir memasuki kondisi ektase dan perkara yang agung memasuki mereka. Salah seorang yang hadir bertanya dalam hati, “apa ini ?”. beliau berkata, “seorang muridku datang dengan satu langkah dari baitul Muqaddas kemari untk bertaubat dan semua yang  hadir pada saat ini dianggap sebagai tuan rumahnya. “dalam hatinya orang tersebut berkata, “jadi siapa yang mengalami kondisi seperti ini adalah mereka yang bertaubat ?”. pernyataan tersebut dijawab sang Syaikh, jangan engkau berharap kepadanya. Dia datang kepadaku dan memintaku untuk mengajarinya jalan untuk mencinta”.
Pernah suatu saat Syaikh Abdul Qadir berjalan di atas udara di depan banyak orang dan berkata, “Matahari selalu menyampaikan salam kepadakusetiap ia ingin terbit. Demikian pula halnya dengan hari, bulan dan tahun. Mereka –juga- menginformasikan kepadaku tentang apa tentang apa yang terjadi. Di beberkan kepadaku Lauh Al-MahfudzI tentang siapa yang mendapatkan kesenangan dan siapa yang mendapatkan kesusahan.
Aku tenggelam dalam lautan Ilmu dan Musyahadah –Nya. Aku adalah sandaran kalian dan wakil RasuluLlah SAW di muka bumi”.
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Setiap wali berada di bawah telapak kaki para Nabi dan aku berada di bawah telapak kaki kakekku RasuluLlah SAW. Semua tempat yang aku injak maka bekasnya akan emnjadi telapak kaki Nabi.”
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku adalah Syaikh bagi para manusia dan jin.” Di lain kesempatan beliau berkata, “jika kalian bertanya kepada Allah, tanyakan aku kepadaNya. Wahai penduduk bumi, dari timur hingga barat, kemarilah dan belajar dariku. Wahai penduduk Iraq, Ahwal –kondisi spiriutal- yang kumiliki seperti baju yang tergantung di rumah. Baju manasaja yang engkau pilih akan aku pakaikan kepadamu. Hendaknya kalian menyampaikan salam atau akan aku bawakan pasukan tiada tanding.
Hai saudara, berkelanalah 1000 tahun agar engkau dapat mendengarkan perkataanku. Saudara, kewalian dan beberapa derajad spiritual ada di sini, di majlisku. Semua Nabi yang diciptakan Allah dan semua wali menghadiri majlisku baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Yang masih hidup dengan fisik mereka sedangkan yang sudah meninggal dunia dengan rohnya. Saudara sekalian tanyakan diriku kepada Munkar dan Nakir ketika mendatangi kalian (di kubur) maka mereka akan menceritakan diriku kepada kalian.”
Abu Ridho, pelayannya meriwayatkan, dalam suatu kesempatan Syaikh Abdul Qadir berbicara tentang roh. Di tengah penjelasan, beliau diam, duduk dan kemudian bangkit kembali seraya bersenandung,
Rohku telah diciptakan dengan hikmah dalam ke-qadiman, sebelum ia mewujud,
ketika ia dalam ketiadaan sekarang,
bukankah suatu kebaikan setelah aku mengenal kalian 
lalu aku pindahkan kakiku dari jalan hawa kalian.
Di lain riwayat, Abu Ridho bercerita, “suatu hari ebliau menjelaskan tentang cinta. Tiba-tiba beliau bangkit dan diam. Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak akan berbicara kecuali dengan 100 dinar.’ Orang-oranagpun menyerahkan kepada beliau apa yang beliau minta. Kemudian beliau memabggilku dan berkata, ‘pergilah engkau ke pekuburan Syunuziyah dan cari seorag syaikh yang sedang bermain-main dengan kayu lalu berika  emas ini kepadanya dan bawa ia kepadaku’. Kemiudin akupun pergi dan menemukan syaikh yang beliau maksud sedang berdiri dan memain-mainkan tongkat kayu. Akupun mengucapkan salam dan menyerahkan emas tersebut kepadanya. Dia berteriak dan jatuh pingsan. Saat beliau sadar aku bertanya kepadanya, ‘Syaikh, Syaikh Abdul Qadir ingin bertemu denganmu’.
Beliau kemudian bangkit dan menemui Syaikh Abdul Qadir. Setibanya di sana Syaikh Abdul Qadir memberikan perintah untuk menaikkannnya di kursi tempat beliau mengajar dan meminta orang tersebut untuk menceritakan kisahnya. Dia berkata, ‘Tuanku, sewaktu aku masih muda aku adalah seorang penyanyi bagus yang dikenal banyak orang. Tetapi setelah aku tua, tidak ada seorangpun yang memperhatikan aku. Aku pergi dari Baghdad dan berkata dalam hati, “aku tidak akan menyanyi kecuali untuk yang mati”. Saat aku mengelilingi kuburan ini, aku duduk di salah satu kuburan yang ternyata telah terbelah dan nampak kepala mayat yang ada di dalamnya. Mayat tersebut berkata kepadaku, “Mengapa engkau menyanyi untuk orang-orang mati, bernyanyilah untuk Yang Maha Hidup sekali maka Dia aakn memberikan kepadamu apa yang engkau inginkan”. Akupun jatuh pingsan, dan setelah tersadar aku berkata
Tuhanku, aku persiapkan apa yang aku miliki untuk hari pertemuan dengan-Mu,  
kecuali pengharapan hati dan ucapan mulutku.   
Memang, sudah asalnya para pengharap mengharapkan harapan  
dan mereka akan bersedih apabila engkau menolaknya
Jika hanya golongan Muhsin yang boleh berharap kepadaMu,
lalu kepada siapa si pendosa berlindung dan melarikan diri.
Ubanku membuatku jelek di hari penghabisan dan perjumpaan denganMu,
semoga engkau menyelamatkan aku dari apiMu.
Saat aku berdiri, pelayan anda datang membawakan emas ini”.  Sambil mematahkan tongkat kayu yang ada di tangannya dia berkata, sekarang aku bertobat kepada Allah’.
Usai mendengarkan kisah tersebut, Syaikh Abdul Qadir berkata, “Yaa fuqara’ , jika kejujuran (orang ini) terhadap sesuatu yang sia-sia saja menyebabkannya memperoleh apa yang ia inginkan, apalagi dengan para sufi yang bersungguh-sungguh dalam kesufian, ahwal dan thariqahnya”.
Kemudian beliau melanjutkan, “hendaklah kalian berlaku jujur, dan bersih hati. Tanpa keduanya, tidak mungkin seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah, “Jika berbicara hendaklah kalian berkata jujur””.
Saat beliau meminta 100 dinar, ada 40 orang mengantar jumlah yang sama kepada beliau. Beliau hanya mengambil dari  satu oraang, dan setelah orang ini bertaubat,  sisa dari uang pemberian tersebut beliau bagikan kepada orang-orang. Peristiwa hari itu menyebabkan 5 orang meninggal dunia.
Al-Kaimani, Al-Bazaar, dan Abu Hasan Al-Ali yang dikenal dengan As-Saqazar bercerita bahwa pada hari Rabu tanggal 27 Sya’ban tahun 529 H. Syaikh Abdul Qadir bersama rombongan mengunjungi pekuburan Syunizi. Beliau berhenti di pekuburan Syaikh HammadAd-Dabbas agak lama kemudian menlanjutkan perjalanannya dengan muka berseri-seri. Pada saat ditanya sebab lamanya beliau berhenti dan berseri-serinya muka Beliau, sang Syaikh menjawab, “Pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 499 H aku bersama murid Syaikh Hammad mengikuti beliau keluar Baghdad. Setibanya di jembatan Yahud, beliau mendorongku sampai aku tercebur ke sungai-pada saat itu udara sangat dingin-kemudian mereka berlalu dan meninggalkanku. Aku berkata dalam hati, “Aku berniat mandi Jum’at”. Saat itu aku mengenakan jubah sufi dan di lenganku terdapat sebuah jubah lagi yang membuatku harus mengangkatnya agar tidak basah. Aku kemudian keluar dari air dan memeras jubah tersebut dan menyusul mereka dalam kondisi kedinginan hingga menusuk ke tulang. Melihat kondisiku, para murid bermaksud hendak menolongku namun beliau melarangnya seraya berkata, “Apa yang aku lakukan adalah untuk mengujinya, dan aku mendapatinya bagai gunung, kokoh tak bergerak”.
“Hari ini aku melihat beliau dalam kubur memakai jubah dari cahaya bertabur permata. Di atas kepalanya terdapat mahkota dari Yakut . di tangan kirinya terdapat gelang dari emas dan beliau memakai dua sandal dari emas. Tapi tangan kanannya hilang. ‘Ada apa dengan lengan ini ?’ tanya ku kepada beliau. Beliau menjawab, ‘inilah tangan yang aku pergunakan untuk mendorongmu’. Kemudian beliau berkata, ‘maukah engkau memaafkan perbuatanku itu ?’ ‘Ya’ jawabku. ‘jika demikian’ kata beliau, ‘mohonkan kepada Allah agar Dia mengembalikan lenganku seperti sedia kala’. Akupun memohonkan kepada Allah untuk itu dan pada saat itu 5000 wali turut memohon kepada Allah, mendukungku dari kubur mereka. Aku terus memohon kepada Allah hingga akhirnya Allah mengembalikann lengan kanannya dan beliau menjabat tanganku dengan tangan kanan tersebut. Dengan demikian sempurnalah kebahagiaannya dan kebahagiaanku.”
Ketika kabar tersebut tersebar di Baghdad para murid Syaikh Hammad beramai-ramai mendatangi sang Syaikh untuk meminta klarifikasi atas pernyataan tersebut. Setibanya di madrasah beliau, sebagai rasa hormat mereka kepada beliau, tidak ada seorangpun yang memulai pembicaraan. Beliaupun kemudian memulai pembicaraan dengan menerangkan maksud kedatangan mereka saat itu. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Kalian pilih dua orang. Insya Allah melalui mereka berdua akan jelas apa yang aku ucapkan”. Mereka kemudin memilih Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Yang pada saat itu ada di Baghdad, dan Syaikh Abdurrahman AL-Kurdi yang memang tinggal di Baghdad. Mereka berdua termasuk orang-orang yang dianugerahi kasyf .’Kami serahkan urusan ini kepada kalian’ kata mereka kepada kedua Syaikh tersebut. ‘Bahkan kalian jangan beranjak dari tempat kalian berada sampai terbukti apa yang aku ucapkan’ kata beliau kepada mereka. Kemudian beliau menghentakkan kakinya ke tanah dan pada saat itu para sufi di luar telah berteriak memberitahu bahwa Syaikh Yusuf Al Hamdani RA telah datang dengan berjalan bertelanjang kaki sampai beliah masuk ke madrasah sang Syaikh. Di sana beliau berkata, ‘Aku bersaksi bahwa Syaikh Hammad Ad-Dabbas berkata kepadaku, “Cepatlah datangi majlis Syaikh Abdul Qadir dan katakan pada para Syaikh yang hadir bahwa apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir adalah benar adanya’. Beliau sempat menamatkan perkataannya, Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman Al-Kurdi datang dan beliau menyatakan pernyataan seperti yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Setelah mendengarken pernyataan tersebut, mereka bangkit dan memohon maaf kepada Syaikh Abdul Qadir”.
Seseorang berkata kepada beliau, “Kami berpuasa seperti yang Anda lakukan, dan melaksanakan shalat sepertiyang Anda lakukan. Tapi tidak ada satupun kondisi spiritualmu yang dapat kami lihat”. Beliau berkata, “kalian dapat bersaing denganku dalam hal melaksanakan amal, akan tetapi kalian tidak dapat bersaing denganku dalam hal anugerah yang diberikan kepadaku. Demi Allah, aku tidak akan makan sampai Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, makan’. Aku juga tidak minum sampai Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, minum’. Dan aku tidak akan melakukan sesuatu kecuali berdasarkan perintah Allah”.
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pada suatu ketika di masa mujahadahku (perjuangan) aku tertidur. Dalam tidur tersebut aku mendengar suara yang berkata kepadaku, ‘Ya Abdul Qadir, Kami tidak menciptakanmu untuk tidur. Kami telah hidupkan engkau maka jangan lupakan Kami’”.
Syaikh Abu Naja Al-Baghdadi, pelayan Syaikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa pernah suatu ketika hutang sang Syaikh kepada beberapa orang telah mencapai 250 dinar, lalu datanglah oraaang yang tidak aku kenal dan masuk tanpa ijin lalu duduk dihadapan sang Syaikh. Dia mengeluarkan uang seraya berkata, “ini adalah pembayar hutang” kemudian ia pergi. Kemudian beliau memerintahkan agar uang tersebut dibagikan kepada yang berhak.
Kemudian –kata Syaikh Abu Naja- ketika aku menanyakan siapa orang tersebut, sang Syaikh berkata, “Dia adalah yang berjalan menurut Al-Qadar”. “Siapa yang berjalan menurut Al-Qadar”  tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Dia adalah malaikat yang diutus Allah kepada para waliNya yang memiliki hutang untuk melunasi hutang-hutang mereka”.
Syaikh Uday bin Abu Barakat meriwayatkan bahwa ayahnya meriwayatkan dari pamannya Syaikh Uday bin Musafir. Beliau berkata, “suatu ketika saat Syaikh Abdul Qadir memberikan pengajaran, turunlah hujan yang membuat orang-orang berpencar. Sang Syaikh menengadahkan kepalanya kep arah langit dan berkata, ‘Aku mengumpulkan mereka untukMu dan Engkau cerai beraikan mereka seperti ini’. Seketika itu pula hujan berhenti, tidak ada satu tetespun air yang turun di majlis tersebut sedangkan di luar madrasah hujan tetap lebat”.
Syaikh AbdulLah Al-Jaba’I meriwayatkan, “ Pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir sedang berbicara tentang bagaimana menghilangkan ujub. Tiba-tiba Beliau memalingkan Muka Beliau kepadaku dan berkata, ‘Apabila engkau melihat sesuatu yang berasal dari Allah dan hal tersebut menggiringmu untuk melakukan kebaikan serta engkau dapat melepaskan dirimu dari (meminta) penjelasan akan hal tersebut maka engkau telah lepas dari sifat ujub’”.
Syaikh orang-orang sufi, Syaikh Syihabuddin Umar As-Sahrawardi berkata, “Dulu saat aku masih muda, aku menenggelamkan diriku untuk mempelajari ilmu kalam. Aku hafal berbagai karangan dalam bidang tersebut dan segera menjadi seorang pakarnya. Pamanku telah memperingatkanku akan hal tersebut namun aku tidak mempedullikannya, sampai suatu hari aku dan dia menziarahi Syaikh Abdul Qadir. Beliau berkata kepadaku, ‘’Umar, Allah SWT berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin), sebelum pembicaraan itu’.  Kami adalah orang-orang yang kalbunya selalu mendapatkan bisikan dari Allah. Sekarang lihatlah posismu di hadapan Allah agar engkau dapat melihat keberkahan melihat-Nya”.
“ketika kami sudah duduk bersamanya, pamanku berkata kepada beliau, ‘Kmenakanku ini menyibukkan dirinya dengan ilmu kalam. Aku sudah larang dia akan tetapi dia tidak mematuhiku’. Mendengar penuturan pamanku, beliau mengulurkan tangannya yang penuh berkah ke dadaku dan berkata, ‘Kitab apa saja yang telah engkau hafal ?’. Akupun menjawab dengan menyebutkan berbagai kitab yang telah aku hafal. Demi Allah, saat beliau mengangkat tangannya dari dadaku, tidak ada satu katapun dari kitab-kitab, yang sebelumnya aku hafal di luar kepala, yang masih aku ingat. Saat itu juga Alah Ta’ala telah melupakan aku tentang berbagai masalahnya dan menanamkan dalam dadaku ilmu laduni. Aku bangkit dari hadapannya sambil berbicara dalam bahasa hikmah. Lalu beliau berkata kepadaku, “Umar, engkau adalah orang-orang terakhir yang termasuk golongan orang-orang masyhur di Iraq”.
Syaikh Abdul Qadir adalah Sulthan ahl-Thariqah yang dianugerahi otoritas atas semua eksistensi.
Abu Faraj bin Hamami bercerita, “Aku banyak mendengar cerita-cerita mustahil yang muncul dari Syaikh Abdul Qadir Al Jailani ra. Yang tidak dapat aku terima. Akan tetapi karena itulah aku ingin sekali bertemu dengan beliau.
Suatu saat, aku pergi ke Bab Al-Azij untuk suatu keperluan. Ketika pulang aku melewati madrasahnya dan tepat pada saat itu muazin telah mengumandangkan shlalat ashar. Dalam hati aku berkata, ‘aku akan shalat ashar dan berkenalan dengan sang Syaikh’. Saat itu aku lupa bahwa aku belum berwudhu dan langsung shalat. Setelah selesai shalat, Syaikh Abdul Qadir menjumpaiku dan berkata kepadaku, ‘Anakku, jika engkau datang kepadaku dengan suatu hajat pasti akan aku kabulkan. Sayangnya sekarang engkau benar-benar lupa bahwa engkau belum berwudhu ketika melakukan shalat’. Pengetahuan beliau terhadap sesuatu yang tersembunyi menimbulkan kekaguman kepadaku akan kkondisi spiritual yang telah beliau capai. Sejak saat itu aku selalu mengikutinya, mencintainya dan emlayaninya. Dari keajdian tersebut aku mengetahui keluasan berkah beliau”.
Al-Jaba’I berkata, “ketika mendengar kitab Haliyatul Auliya’ oleh ibnu Nashir, terbetik dalam hatiku untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari manusia dan menyibukkan diri beribadah. Saat shalat Ashar, aku berjama’ah bersama Syaikh Abdul Qadir. Selesai shalat beliau melihat ke arahku dan berkata, ‘jika engkau benar-benar ingin berkontemplasi (khalwat), maka jangan lakukan itu sebelum engkau benar-benar menguasai agama, bergaul dengan para Syaikh dan belajar dari mereka. Saat itulah engkau boleh berkontemplasi (khalwat). Jika engkau tidak melakukan itu maka engkau akan terputus sebelum engkau menjadi ahli dalam bidang agama. Engkau juga akan merasa bangga atas apa yang engkau miliki. Tapi ketika ada masalah agama yang engkau tidak ketahui, engkau akan keluar dari zawiyahmu dan bertanya kepada orang-orang tentang hal tersebut. Sebaik-baik kontemplator (orang yang berkhalwat) adalah mereka yang bagaikan lilin, amemberikan penerangn dengan cahayanya”.
Syaikh Abu Abbas Al-Khidr Al-Husain Al-Maushuli meriwayatkan, “pada suatu malam, saat kami sedang berada di madrasah Syaikh Abdul Qadir, datanglah khalifah AL-Mustanjid biLlah Abu Mudzaffar Yusuf bin Al-Imam Al-Muftaqi li amriLlah Abu AbduLlah Muhammad Ad-Dabbas. Beliau mengucapkan salam kepada sang Syaikh dan memohon nasihatnya sambil meletakkan 10 kantung uang yang dipikul oleh 10 orang budak. Syaikh berkata, “Aku tidak membutuhkan ahrta ini”. Namun sang Imam berkeraas agar Syaikh Abdul Qadir menerimanya.
Syaikh Abdul Qadir kemudian mengambil 2 kantung uang yang paling besar dan paling berat lalu memeras keduanya dengan tangan beliau, maka mengalirlah darah. Berkatalah Syaikh kepada Khalifah, ‘Mudzafar, engkau peras darah rakyat lalu engkau berikan kepadaku. Tidakkah engkau malu kepada Allah ?’. sang khalifahpun pigsan mendengar hal tersebut. Kemudian sang Syaikh emlanjutkan, ‘Kalau buan karena rasa hormatku kepada garis keturunannya dengan RasuluLlah SAW, akan aku biarkan darah tersebut mengalir hingga pintu istananya’.
Syaikh Abu Hasan Ali Al-Quraisy berkata, “saat aku menghadiri salah satu majlis sang Syaikh tahun 559 H datanglah rombongan golongnan rafidah membawa dua buah keranjang tertutup dan berkata kepada beliau, ‘Beritahu kami apa isi dua keranjang ini’. Beliau turun dari kursi dan mengulurkan tangannya memegang salah satu keranjang tersebut dan berkata, ‘Yang ini berisi anak yang lumpuh’. Lalu beliaiu memerintahkan puteranya Abdurrazaq membuka keranjang tersebut dan isinya seperti yang beliau ucapkan. Beliau pegang kaki anak tersebut kemudian berkata, ‘Bankitlah dengan ijin Allah’. Seketika anak tersebut bangkit.
Kemudian beliau memegang keranjang yang lain dan berkata, “keranjang ini berisi anak yang sehat dan tidak cacat’. Ketiak keranjang tersebut dibuka, maka keluarlah seorang anak yang sehat, sang Syaikh memegang ubun-ubunnya dan berkata, ‘Duduklah’. Seketika itu pula anak tersebut menjadi lumpuh. Rombongan rafidah tersebut bertobat di hadapan beliau dan pada saat itu 3 orang meninggal dunia’.
Diriwayatkan, dari Yahya bin Junah Al-Adib bahwasanya beliau berkata, “Dalam hati aku berkata”. ‘Aku ingin menghitung berapa banyak sang Syaikh melantunkan sya’ir di dalam majlisnya dengan menggunakan benang dari pakaianku. Akupun kemudian menghadiri  majlis pengajiannya dan setiap beliau melantunkan sya’ir maka aku ikatkan benang di bawah pakaianku. Ditengah-tengah beliau bersya’ir tiba tiba beliau berkata,  ‘Aku melepaskan ikatan sedang engkau mengikatnya’”.
Syaikh Abu Hasan (Ibnu Syathantah) Al-Baghdadi berkata, “Saat aku belajar kepada sang Syaikh, aku sering berjaag di malam hari untuk melayani beliau. Pada suatu malam di bulan Shafar tahun 553 H, aku melihat beliau keluar dari ruangannya. Akupun menyodorkan tempat air untuk berwudhu kepada beliau namun beliau tidak mempedulikan tawaranku dan terus bergerak menuju pintu madrasah. Kemdian beliau memberi isyarat kepada pintu madrasah tersebut maka pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kemudian beliau terus berjalan keluar sementara aku mengikutinya dari belakang. Aku berkata dalam hatiku bahwa beliau tidak mengetahui kalau aku ikuti dari belakang. Beliau terus berjalan ke arah pintu gerbang kota Bagdad, maka beliaupun memberikan isyarat kepada pintu tersebut dan pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kami terus berjalan, namun tak berapa lama tibalah kami di suatu tempat semacam ribath yang sama sekali tidak aku ketahui. Di dalam ribath tersebut terdapat 6 orang yang sedang duduk, dan ketika mereka mengetahui kedatangan Syaikh Abdul Qadir maka merekapun segera menyambut beliau seraya mengucapkan salam. Aku segera pergi ke sudut bangunan tersebut dan dari dalam bangunan terdengarlah suara dengungan dan rintihan. Tak berapa lama, suara tersebut berhenti , kemudian seorang pria masuk ke dalam ruangan yang tadi terdengar rintihan lalu keluar dengan membawa seseorang di atas pundaknya. Setelah itu seseorang yang tidak mengenakan sesuatu di kepalanya dengahn kumis yang lebat masuk dan duduk di hadapan sang Syaikh dan kemudian mengambil dua kalimah syahadah dari beliau kemudian memotong kumis serta rambutnya. Setelah itu beliau kenakan thaqiyah (topi) di kepalanya  dan memberikan nama Muhammad kepadanya serta berkat kepada yang lain, ‘Aku telah diperintahkan untuk menjadikannya sebagai ganti dari yang meninggal’. ‘Kami mendengar dan patuh’ jawab yang lain.
Baliau lalu keluar dari ruangan tersebut seraya meninggalkan mereka. Setelah itu beliau berjalan dan tak lama kami tiba di pintu gerbang kota Baghdad. Pintu tersebut kembali terbuka dan menutup dengan sendirinya setelah kami melewatinya. Demikian juga tak berapa lama kami tiba di Madrasah kemudian memasukinya. Keesokan harinya aku mohon kepada sang Syaikh untuk menceritakan apa yang aku lihat. Maka beliaupun menjawab, “Adapun negeri yang kita datang kemarin adalah negeri Nahawand. Enam oran yang engkau lihat adalah para wali abdal dan suara dengungan yang engkau dengar adalah wali yang ke tujuh. Dia sedang sakit dan aku hadir di sana untuk melayatinya. Adapun orang yang aku ambil syahadatnya adalah seorang nashrani dari Konstantinopel dan aku perintahkan ia untuk menjadi ganti ari si mayit. Adapun orang yang masuk dan keluar sambil menggendong jenasah adalah Abul Abbas Al-Khidhir AS yang diperintah Allah untuk mengurus jenasah wali yang wafat”. Kemudian beliau mengambil sumpahku untuk tidak menceritakan peristiwa tersebut selama beliau masih hidup. Beliau berkata, “Takutlah kamu untuk tidak membuka rahasia ini selama aku masih hidup”.
Abu Sa’id AbdulLah bin Ahmad bin Ali Al-Baghdadi Al-Azji bercerita, “Pada tahun 537 H anak perempuanku seorang perawan berusia 16 tahun naik ke atas atap rumahku dan kemudian hilang. Akupun pergi menghadap Syaikh Abdul Qadir dan menceritakan hal tersebut. Beliau berkata kepadaku, “Pergilah ke pegunungan Al-Karh. Duduklah di puncak ke lima dan buatlah tanda lingkaran di sekitarmu sambil berkata, ‘BismiLlaahiRrahmaanirRahiim, atas niat Syaikh Abdul Qadir. Nanti ketika hari mulai gelap akan banyak jin yang melewatimu. Mereka tidak akan dapat menyakitimu. Pada waktu sahur, raja raja mereka akan lewat beserta bala tentaranya dan mereka akan menanyakan maksud kedatanganmu. Saat itulah ceritakan kepada mereka perihal anakmu’.
Akupun melaksanakan perintah tersebut. Ketika hari muali gelap, geromblan jin dengan bentuk yang sangat menakutkan namun mereka tidak dapat menyakitiku atau menggangguku. Gerombolan demi gerombolan terus berlalu hingga waktu sahur datanglah raja mereka dengan mengendarai seekor kuda dan berdiri di luar lingkaran menghadap ke arahku. Dia berkata, ‘hai manusia apa keperluanmu’. “Syaikh Abdul Qadir  mengutusku kepadamu”. Jawabku. Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir maka raja jin tersebut turun dari kudanya mencium tanah dan duduk, begitu pula dengan para jin lain yang menyertainya. Kemudian ia berkata, ‘apa yang terjadi pada dirimu ?’. akupun menceritakan kepada mereka aka kisah puteriku yang hilang. Setelah mendengar penuturanku, dia berkata kepada para jin, ‘Siapa yang melakukan ini’. Tidak ada satu jinpun yang mengakuinya. Lalu datanglah seorang jin bersama anakku. Sang raja berkata, ‘ini adalah pembangkang dari negeri cina’. ‘apa yang mendorongmu berani melakukan hal ini di bawah atap sang qutb ?’. tanyanya kepada jin tersebut. Jin tersebut berkata, ‘perempuan tersebut menarik hatiku dan aku mencintainya’. Sang raja kemudian memerintahkan jin tersebut untuk dipenggal kepalanya dan menyerahkan anakku kembali. Aku berkata kepadanya, ‘Aku belumpernah melihat jin dengan derajad tinggi sepertimu memenuhi perintah Syaikh Abdul Qadir’. Dia berkata, ‘Benar, dari rumahnya beliau memandang kepada jin pembangkang yang pada waktu itu berada di dasar bumi.kewibawaannya membuat para pembangkang tersebut kembali ke tempat mereka. Sesungguhnya jika Allah mengangkat seorang Qutb maka Dia akan menjadikannya sebagai Qutb diantara jin dan manusia’.
Diriwayatkan seorang pria datang kepada Syaikh Abdul Qadir RA. Dan mengadu, “Saya berasal dari Ashaban. Saya memiliki isteri yang sering mengamuk sehingga menyusahkan saya dan orang disekitar saya”. Sany Syaikh berkata, “Ini adalah perbuatan jin dari Wadi Sarandib dan namanya khanis. Jika isterimu kembali mengamuk, maka bisikkanlah di telinganya, ‘hai khanis, Syaikh Abdul Qadir RA. Yang tinggal di Baghdad berkata kepadamu, pergilah dan jangan kembali. Jika engkau kembali maka engkau akan binasa”’. Pria tersebut kemudian pergi dan tak terdengar kabarnya selama dua puluh tahun, ketika kembali bertemu dengan orang tersebut Syaikh Abdul Qadir RA. Bertanya kepadanya maka ia menjawab bahwa ia telah melaksanakan apa yang diperintahkan Syaikh Abdul Qadir RA. Dan isterinya sembuh dan jin yeng mengganggunya tidak pernah kembali.
Para pedagang meriwayatkan, baha selama 40 tahun Syaikh Abdul Qadir RA berada di Baghdad, tidak pernah terjadi keributan. Sepeninggal beliau, terjadi keributan di Baghdad. Demikian pula selama 40 tahun beliau tinggal di Baghdad, tidak ada orang yang kerasukan jin.
Syaikh Muhammad bin Abdillah Aby Ghana’im berkata, “ suatu hari aku dan Syaikh Abu Hasan Ali bin AL Hitti memasuki rumah Syaikh Abdul Qadir RA dan mendapatkan seorang pemuda bersimpuh ddi teras rumah beliau, dan kemudian pemuda itu memohon kepada Syaikh Ali, ‘Tuanku, mohonkan ampun aku kepada Syaikh Abdul Qadir’.  Saat kami menghadap kepada sang Syaih beliau berkata, ‘ Aku berikan dia kepadamu’. Maka Syaikh Ali bersamaku keluar dari rumah beliau dan memberi tahukan hal tersebut kepada si pemuda. Si pemuda tadi kemudian bangkit dan keluar melalui jendela lalu terbang. Kami kembali masuk dan menghadap kepada Syaikh Abdul Qadir RA dan bertanyaperihal pemuda tadi. Maka beliau menjawab, “Dia adalah seorang pengelana yang terbang di udara, dengan bengga dia berkata dalam hatinya, ‘Tidak ada seorangpun di Baghdad yang menyamai aku’. ‘Maka aku cabut anugerah yang dimilikinya. Kalau saja bukan karena permintaan Syaikh Ali, maka aku tidak akan mengembalikan anugerah tersebut kepadanya’”.
Dalam riwayat lain beliau bercerita, “suatu hari di tahun 559 H berkumpulah sekitar 300 orang dalam ribath sang Syakh, di ruwaq al-hilbah. Tiba tiba beliau keluar dari dalam rumah dan menberikan isyarat agar kami semua mengikutinya masuk ke dalam rumah dengan berkata, “cepat kalian kemari, cepat kalian kemari”. Saat semua rang sudah masuk di rumah beliau, atap ribath tersebut tiba-tiba roboh. Beliau berkata, “Saat akku berada di dalam rumah, sebuah suara berkata kepadaku, “Atapnya akan runtuh sekarang”.
Syaikh Abdullah AL-Jaba’i meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengarkan dari Abdul Azis bin Tamim Asy-Syaibani yang pernah mendengar dari Abdul Ghani bin Abdul Wahid bahwa beliau pernah menyatakan pernah mendengar dari Abi Muhammad Al Khasshab An-Nahwi berkata, “Saat aku masih pemuda dan sedang belajar nahwu, aku banyak mendengar tentang Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dan kefasihannya berbicara. AKu ingin bertemu beliau namun waktu menjadi kendala keinginanku itu. Hingga pada suatu hari aku menghadiri majlis beliau. Saat itu beliah memalingkan wajahnya ke arahku dan berkata, ‘ Saudaraku, kami berteman dengan gurumu sibawaih ‘. Sejak saat itu aku menjadi muridnya dan banyak mendapatkan manfaat dari beliau. demikian pula dengan pemahamanku tentang kaidah-kaidah nahwu dan keilmuan lainnya baik agama maupun umum semakin mendalam. Kurang dari satu tahun mengikuti beliau aku sudah mendapatkan ilmu lebih banyak dari yang aku dapat seumur hidupku dan aku menjadi lupa akan segala sesuatu yang aku dapatkan dari selain beliau”.
Dalam riwayat lain beliau meriwayatkan, dari Syaikh Abu Hasan Ali bin Mala’ib Al-Quwaisi, beliau berkata, “Suatu saat aku bersama rombongan orang-orang bermaksud berziarah kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Orang-orang tersebut datang dengan berbagai kepentingan untuk didoakan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Diantara mereka terdapat seorang pemuda bandel yang masih dalam keadaan junub dan tidak pernah bersuci dari hadast kecil. Saat tiba di hadapan beliau aku di ikuti oleh rombongan mencium tangan beliau . Ketika tiba giliran anak tersebut mencium tangan beliau, sang Syaikh menggenggam tangan anak tersebut dan memandanginya. Seketika it pula sang anak jatuh pingsan dan ketika sadar, janggut telah tumbuh di wajahnya. anak tersebut tobat dan memohon maaf kepada beliau “. 
Syaikh Abu Al-Khair Kurum bin Syaikh Qudwah Mathar  Al-baazaraani berkata, “Ketika Syaikh Abu Wafa’ sedang menghadapi sakaratul maut, aku bertanya kepadanya ‘Siapa yang harus aku ikuti sesudahmu ?’ Beliau menjawab, “Syaikh Abdul Qadir Al Jailani”. Aku duga jawaban beliau pada saat. itu dipengaruhi oleh penyakit beliau. Aku tinggalkan beliau sekejap dan kembali lagi menanyakan hal yang sama,. Beliaupun berkata, “Akan datang masa di mana hanya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang pantas untuk di ikuti”.
Ketika beliau wafat, aku pergi ke Baghdad dan menghadiri majlis sang Syaikh. Dalam majlis beliau pada saat itu hadir Syaikh Baqa bin Bathu’ Syaikh ABu Said Al-Qalyuwi, Syaikh ALi bin AL-Hitti dan para Syaikh besar lainnya. “Aku bukan seperti penceramah kalian. Apa yang aku lakukan berdasarkan perintah Allah danapa yang aku katakan bukan untuk kalian tapi untuk orang-orang yang berada di udara” Ujar beliau dalam kesempatan tersebut sambil menegadahkan kepala beliau. Saat aku menengadahkan kepala, aku melihat barisan orang – orang yang bercahaya yang menghalangi pandanganku dengan langit. Mereka menganggukkan kepala tanda setuju. Diantara mereka ada yang menangis, ada yang bersimpuh, ada yang dipakaian mereka terdapat api. Akupun jatuh pingsan dan ketika aku sadar, aku segera menyibak orang-orang menuju kursi beliau. Saat aku mencapai kursi beliau, beliau berbisik kepadaku, ‘Kurum, tidak cukupkah apa yang dikatakan oleh ayahmu pada kali yang pertama ?’. Aku mengangguk tunduk oleh karismanya”.
    Mufrij bin Syaiban bin Barakat Asy-Syaibani bercerita, “Saat Syaikh Abdul Qadir mulai terkenal di Baghdad, berkumpulah kira-kira 100 orang ahli fiqh. Mereka sepakat bahwa setiap orang akan menyiapkan sebuah pertanyaan yang  mereka tidak ketahui jawabannya untuk menjatuhkan sang Syaikh. Aku berada di majlis sang Syaikh ketika mereka datang. Saat semua duduk, dari dada sang Syaikh memancarkakn cahaya yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang dikehendaki Allah , cahaya itu merasuk ke dada 100 orang tersebut. Kemudian mereka berteriak, mengoyak baju dan melepaskan tutup kepala mereka lalu berebut memanjat kurswi sang Syaikh dan meletakkan kepalanya di bawah kaki sang Syaikh. Seketika seluruh orang yang ada di majlis tersebut menangis”.
    Kemudian sang Syaikh mengangkat kepala mereka dan meletakkannya ke dada beliau satu persatu hingga orang terakhir. Beliau emndatangi seorang demiseorang dan menyebutkan pertanyaan yang akan ditanyakan orang tersebut kepada beliau serta jawaban dari pertanyaan tersebut.
    Saat majlis bubar, aku mendatangi mereka  dan bertanya, ‘ Ada apa dengan kalian ?’. Mereka berkata, ‘Ketika kami duduk, semua pengetahuan yang kami milikin hilang seakan – akan kami tidak pernah mempelajarinya. Ketika beliau memeluk kami, semua pengetahuan tersebut kembali kepada kami, berikut pertanyaan yang telah kami persiapkan  untuk beliau dan jawaban atas pertanyyan tersebut’.
    Abu Hajar Hamid Al-Harani Al-khatib bercerita, “Aku menghadap Saat Syaikh Abdul Qadir  di Baghdad dan duduk di atas sajadah milikku. Beliau memandangku dan berkata, ‘Hamid, engkau akan duduk di permadani para raja ‘. Ketiak aku kembali ke Haran, sultan Nuruddin Asy-Syahid memaksaku untuk menemaninya. Beliau mendudukkanku di permadaninya dan memberikan otoritas untuk mengelola harta wakaf kepadaku. Saat itu aku ingat dengan apa yang dikatakan oleh Saat Syaikh Abdul Qadir .
    Syaikh Zainuddin Abu Hasan Ali bin Abi Thahir bin Ibrahim bin Naja bin Ghanaim bin Al-Anshari Ad-Dimasyqi, tinggal di mesir dan seorang ahli fiqh mahdzab Hambali bercerita, “Sepulang menunaikan ibadah Haji, aku dan seorang temanku singgah di Baghdad. Kami belum pernah itnggal di baghdad sebelum ini, tidak memiliki kenalan dan tidak memiliki apa-apa kecuali sedikit barang yang akan kami tukarkan dengan bathshut / sejenis makanan ditambah sedikit nasi yang kami beli. ternyata makanan tersebut belum membuat kami kenyang. Kemudian kami emndatangi majlis Saat Syaikh Abdul Qadir. Saat kami masuk, beliau menghentikan ceramahnya dan menoleh ke arah kami seraya berkata, “Orang-orang asing yang miskin datang dari hijaz dan hanya memiliki sebuah barang yang ditukarkan dengan bathsut serta sedikit nasi. Ternyata makanan tersebut belum dapat mengenyangkan mereka”.
    Selagi kami takjub dengan apa yang beliau katakan, beliau memerintahkan kepada pelayannya untuk menyiapkan hidangan. Ketika itu aku berbisik kepada temanku, ‘Apa yang engkau inginkan ?’. kisyk dengan ayam’. jawabnya. ‘kalau aku yang aku inginkan adalah madu’ sambungku. Tiba-tiba beliah berkata kepada pelayannya, ‘Hidangkan kepada kami kiyk dengan ayam dan madu”. Para pelayan beliau menghidangkan makanan tersebut dan meletakkan kisyk dengan ayam di kakiku, dan madu di hadapan temanku. Beliau berkata kepada pelayannya, “Tukar posisi makanan tersebut baru engkau benar”‘.
    Kejadian tersebut membuatku tak dapat menguasai diri. Aku bangkit, berteriak dan berjalan di antara punggung para hadirin menuju ke arah beliau. beliauberkata kepadaku, “Selamat datang penasihat dari mesir, “. “Tuanku, bagaimana hal tersebut dapat terjadi padaku, membaca al-fatihah saja aku belum benar”. Beliau menjawab, “Aku diperintahkan Allah untuk menyampaikan pernyataan tersebut kepadamu”.
    Setelah itu, selama setahun aku menuntut ilmu kepada beliau, dan terbukalah pengetahuan dan wawasan yang belumpernah aku dapatkan selama 20 tahun menuntut ilmu. Saat aku memohon ijin untuk kembali, beliau berkata kepadaku, “Nanti setibanya di Damaskus engkau akan berjumpa dengan pasukan perang yang ingin menguasai mesir, katakan kepada mereka, “Kalian tidak akan dapat memasuki mesir pada saat ini, sebaiknya kalian pulang dan kembali lagi maka kalian akan menguasainya”.
    setibanya di Damaskus, aku menemukan semua yang dikatakan sang Syaikh kepadaku. Akupun menyatakan kepada pasukan tersebut apa yang dikatakan sang Syaikh kepadaku namun mereka tidak menerimanya. Kemudian, aku memasuki mesir, aku mendapati khalifahnya sedang ber siap-siap menyambut mereka, aku berkata kepadanya, “Jangan takut mereka akan lari tungang langgang”. Dan ketika pasukan tersebut tiba di mesir, mereka dapat dikalahkan. Setelah itu khalifah menjadikanku teman duduknya dan mendudukkanku di singga sananya”.
    Kemudian, pasukan tersebut datang untuk yang ke dua kalinyadan kali in mereka dapat merebut Mesir. Mereka sangat menghormatiku karrena perkataan yang aku sampaikan kepada mereka di Damaskus. Berakt satu kalimat dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA aku mendapatkan 150.000 dinar dari kedua negara tersebut.
    Diriwayatkan bahwa Syaikh Zainuddin yang meriwayatkan kisah di atas hanya hafal satu kitab tafsir ketika memasuki mesir. Namun beliau diterima oleh rakyat Mesir, dari golongan biasa maupun yang elit. Salah satu ulama hadis di mesir mengadakan majlis untuknya yang kemudian banyak dikunjungi orang. beliau meninggal dunia pada bulan Ramadhan 599 H dan lahir di Damaskus tahun 508 H.
    Syaikh Ahmad bin Shaleh AL-Jilli meriwayatkan bahwa pada suatu ketika,  Syaikh Abdul Qadir sedang memberikan pelajaran tentang Qadha dan Qadar di hadapan para shufi dan ahli fiqih. Jatuhlah seekor ular besar yang membuat semua orang berlarian. Kemudian ular tersebut menyelinap ke dalam baju beliau lalu melata ke seluruh badan hingga kepala beliau. Setelah ular tersebut turun dari badan beliau, ular itu menegakkan kepala dan mendesis. Beliau kemudian berbicara dengan ular tersebut dengan bahasa yang tidak kami pahami. Dan ular tersebut pergi.
    Kami bertanya kepada beliau apan yang dikatakan ular tersebut kepada beliau dan apa yang beliau ucapkan kepada ular itu. Beliau berkata, “Ular tersebut berkata kepadaku, ‘Banyak wali yang telah aku coba dan belum pernah aku jumpai yang sepertimu”. Aku berkata kepadanya, Saat engkau jatuh dari atap, aku sedang berbicara tentang qadha dan qadar Aku sadar bahwa engkaupun hanya seekor hewan melata yang digerakkan oleh Qadha dan Qadar dan oleh karenanya aku tidak ingin melawannya”.
    Syaikh AbdurRazak bin Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RAmeriwayatkan bahwa ayahnya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA pernah bercerita, “Pada suatu saat aku sedang melaksanakan shalat di masjid Al-Manshur. Aku mendengar suara mendesis di dinding di belakangku. Ternyata seekor ular besar dating dan membuka mulutnya di sujudku. Ketika sujud, aku singkirkan ia dengan tanganku. Saat aku duduk tasyahud, dia melata di pahaku lalu melilit leherku. Saat aku mengakhiri shalatku, aku tidak dapat menemukannya.
      Keesokan harinya aku mendapati seorang pria dengan kedua mata yang saling berjauhan di tempat khalwat di belakang masjid. Seketika itu aku mengetahui bahwa dia adalah seorang jin. Dia berkata kepadaku, “Aku adalah ular yang engkau lihat tadi malamtelah banyak wali yang aku coba sebagaimana yang aku lakukan terhadap dirimu.  Dianytara mereka ada yang tergetar takut baik zahir maupun bathin. Ada pula yang hanya bathinnya saja yang merasa takut sdangkan zahirnya tetap tegar. Tapi aku melihatmu tetap tegar baik zahir maupun bathin. ‘kemudian aku memintanya untuk bertobat dan dia bertobat di tanganku’”.
      Al-Khidr Al-husaini Al-Maushuli berkata, “Selama 13 tahun melayani Syaikh Abdul Qadir aku banyak menyaksikan peristiwa supranatural. Diantaranya adalah jika ada orang yang sakit, beliau akan mendatanginya dan mendoakannya seraya menyapukan tangan beliau ditempat yang sakit. Tidak lama kemudian orang tersebut sehat seperti sedia kala”.
      Kemudian suatu hari salah satu saudara Sultan Al-Mustanjid mendatangi beliau dengan perut menggelembung. Beliau sapukan tangannya dan perut tersebut kembali seperti semula.
      Di lain hari, Abu Ma’ali Ahmad Al-baghdadi Al-Manbali mendatangi beliau dan mengadukan perihal anaknya yang sudah 15 bulan tidak berhenti demam. Sang Syaikh berkata kepadanya, “bisikkan di telinganya, “Wahai ummu maldum, Syaikh Abdul Qadir menitipkan pesan kepadaku untukmu agar engkau pergi dari tubuh anakku, kembali ke tempat asalmu”. Beliau melakukan apa yang diperintahkan sang Syaikh dan anaknya seketika sembuh. Beberapa tahun kemudian kami bertanya kepada beliau tentang anaknya, dan beliau menjawab, ‘dia tidak pernah kembali ke Baghdad”. Kemudian ada yang mengabarkan bahwa banyak orang di tempat jin tersebut yang menderita sakit panas “.
      Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Syaikh Hasan Ali Al-Arji menderita sakit. Syaikh Abdul Qadir dating menjenguknya dan mendapati bahwa beliau memiliki ayam jantan dan ayam petelur. “Tuanku, ayam ini (sambil menunjuk kepada ayam jantan) sudah 6 bulan tidak pernah berkokok. Sedangkan yang ini, (sambil menunjuk kepada ayam petelur) sudah 6 bulan tidak pernah bertelur.” Syaikh Abdul Qadir kemudian berdiri di depan ayam petelur dan berkata , “senangkan pemilikmu”. Kemudian ia berkata kepada ayam jantan, “Bertasbihlah untuk tuanmu”. Seketika itu juga sang ayam bertelur, dan si pejantan berkokok dengan sangat keras hingga terdengar ke seantero Baghdad karena berkah Syaikh Abdul Qadir.
Pada tahun 560 H beliau berkata kepada Khidr Al-Maushuli, “khidr, aku pergi ke Maushul dan mendapati engkau dengan seorang anak laki-laki di punggungmu bernama Muhammad yang nanti akan belajar Al-Qur’an kepada seorang buta bernama Ali. Setelah 7 bulan hafalannya menjadi sempurna dan saat itu anakmu berumur 7 tahun. Engkau akan hidup sampau umur 94 tahun 1 bulan dan 7 hari dan akan meninggal di Arbal dan keadaanmu selalu sehat wal afiat. “  Kemudian anaknya Abu Abdillah Muhammad bercerita, “Ayahku tinggal di Moshul hingga aku lahir sebagai anak pertama pada bulan safar tahun 561 H. jemudian ayahku mengundang seorang buta yang menghafal AL-Qur’an dengan baik untuk mengajariku Al-Qur’an. Ketika ayahku bertanya tentang nama dan asalnya, orang buta tersebut menyatakan bahwa namanya Ali dan berasal dari Baghdad. Saat itulah dia menceritakan pernyataan Syaikh Abdul Qadir. Beliau meninggal di Arbal, 9 safar 625 H dalam usia 94 tahun 1 bulan 7 hari. Dan Allah berkenan menjaga kondisi fisiknya sampai beliau meninggal dunia”.
      Umar bin Mas’ud Al-Bazar berkata,”Aku menyaksikan sendiri kedalaman pemahaman sang Syaikh tentang hakikat. Kesempatan tersebut aku dapatkan ketika seorang muridnya berkata kepada orang-orang bahwa ia telah melihat Allah  dengan mata kepala sendiri. Mendengar hal tersebut sang Syaikh memanggil si murid dan menanyakan hal tersebut dan dibenarkan oleh si murid. Sang Syaikh kemudian melarang si murid mengulang perbuatannya. Kemudian seseorang bertanya kepada beliau, apakah yang dinyatakan oleh si murid dapat dibenarkan atau tidak.” Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Dia benar (karena) hal tersebut disebabkan karena dia menyaksikajn dengan mata hatinya (bashirah), sedangkan pancaran mata bathinya tersebut terhubung dengan cahaya matanya sehingga ia menduga matanyalah yang melihat apa yang disaksikan mata bathinnya. Padahal apa yang dilihat oleh matanya adalah mata bathinnya (bashirah) dan hal tersebut tidak disadari olehnya. Allah berfirman, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. Sesungguhnya melalui tangan ke-Maha lembutanNya, Allah SWT sesuai kehendakNya menurunkan cahaya-cahaya keagungan dank ke elokanNya ke dalam Qalb seorang hamba yang akan memunculkan suatu gambaran. Di belakang semua itu terdapat tirai ke-Maha Besaran Allah yang tidak dapat dikoyak”.
      Pada saat itu para ulama yang hadir terpesona dan kagum dengan kefasihan sang Syaikh menguraikan kondisi spiritual  yang dialami oleh orang tersebut.”
      Syaikh Muammar Al-Jaradah meriwayatkan, “pada suatu hari di rumah sang Syaikh, beliau sedang duduk ketika tiba-tiba tanah jatuh dari atapnya dan mengenai beliau. Beliau hanya mengibaskan tanah tersebut tanpa berkomentar. Kejadian tersebut berulang hingga tiga kali. Ketika hal tersebut terjadi untuk yang ke empat kalinya, beliau mendongakkan kepala dan mendapatin seekor tikus yang melakukan itu semua. ‘terbang kepalamu’ kata sang Syaikh kepada tikus tersebut dan seketika itu pula tikus tersebut jatuh dengan kepala terpisah dari badannya. Beliau kemudian bangkit dari duduknya sambil menangis. ‘Apa yang membuatmu menangis wahai sang syaikh ?’ Beliau menjawab, “Aku takut suatu saat seorang muslim menyakiti hatiku dan menerima seperti yang diterima oleh tikus ini”.
      Syaikh Umar bin Mas’ud Al-Bazar berkata, “Pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir hendak berwudhu. Tiba-tiba seekor burung mengotori beliau dengan kotorannya. Kemudian beliau mendongakkan kepala ke atas dan burung tersebut kemudian jatuh dan mati. Ketika selesai berwudhu, beliau mencuci daerah yang terkena kotoran tersebut, melepasnya dan meyerahkannya kepadaku untuk dijual, dan hasilnya disedekahkan seraya berkata, “ini. Untuk yang ini”. Maksudnya sedekah tersebut untuk menebus burung yang telah mati.
      Abu fadhal Ahmad bin Qasim bin Abdaan Al Quraisyi Al-Baghdadi Al Bazzaar berkata, “Syaikh Abdul Qadir biasa memakai pakaian yang mahal. Pada suatu hari salah seorang pembantunya mendatangiku dan membawa uang serta berkata, ‘aku ingin kain yang satu dzira’nya seharga 1 dinar’.  Akupun memberikan apa yang diminta pelayan tersebut seraya bertanya, “Buat siapa kain itu?” ‘Untuk sang Syaikh’ jawab pelayan itu. Aku berkata dalam hati, “sang Syaikh sampai tidak meninggalkan kain untuk khalifah”.
      Saat itu pula sebatang paku menancap di kakiku dan sakitnya luar biasa. Orang-orang dating dan berkumpul dan mencoba untuk melepaskan paku tersebut dari kakiku namun mereka tidak dapat melakukannya. ‘Bawa aku kepada Syaikh Abdul Qadir’ .kataku kepada mereka. Merekapun membawaku kepada sang Syaikh. Ketika aku berada di hadapannya, beliau berkata kepadaku, ‘Abu Fadl, mengapa engkau mencemoohkanku ?. demi keagungan yang aku sembah, aku tidak akan memakainya sampai Ia berkata kepadaku ‘Demi hakKu atas dirimu, kenakan pakaian seharga 1 dinar perdzira’nya. Ini, kain kafan lebih baik daripada kain tersebut sebanyak 1000 kali kehidupan”.  Lalu beliau mengusap kakiku dengan tangan beliau yang penuh berkah seketika itu pula paku dan rasa sakit tersebut hilang. Demi Allah aku tidak mengetahui dari mana paku teesebut berasal dan kemana perginya. Yang aku tahu paku itu telah ada di kakiku. Saat aku berdiri, beliau berkata, “Barang siapa yang muncul umpatannya atas diriku, maka akanmendapatkan cobaan berbentuk paku”.
      Ibnu Khidir Al-husaini bercerita, “pada suatu malam, pelayan sang Syaikh bermimpi basah sebanyak 70 kali dengan perempuan yang pernah dikenal maupun tidak pernah dikenal. Keesokan harinya ia mengadukan hal tersebut kepada Syaikh Abdul Qadir. Sang Syaikh berkata kepadanya, ‘jangan engkau keluhkan mimpi basahmu tadi malam. Aku melihat namamu di lauh mahfudz dan menemukan di dalamnya bahwa engkau berzina sebanyak 70 kali dengan si ..A…B….C  sang Syaikh terus menerus menyebutkan satu persatu nama-nama yang dikenalnya dan tidak dikenalnya. Kemudian sang Syaikh berkata, ‘Aku memohon kepada Allah agar memindahkannya dalam tidurmu”’.
      Syaikh Ali AL-Khabbas meriwayatkan bahwa dia pernah mendengar Syaikh Abu Qasim Umar berkata, “Barang siapa yang memohon pertolongan kepadaku pada saat kesusahan maka aku akan mengangkat kesusahan tersebut. Barang siapa yang memanggil namaku saat sedang terjepit maka aku akan membebaskannya dan barang siapa yang bertawasul denganku kepada Allah untuk suatu keperluan maka Allah akan memenuhi hajatnya. Kemudian barang siapa yang shalat dua rekaat dan pada setiap rekaat membaca Al-Ikhlas sebanyak 11 kali kemudian bershalawat sebanyak 11 kali setelah salam kemudian mengucapkan salam kepadaku dan menyebut namaku sebelum ia menyebutkan hajatnya, maka Insya Allah hajatnya akan dikabulkan oleh Allah’. Dalam riwayat lain disebutkan ‘berjalan 11 langkah menuju kea rah kuburanku lalu menybutkan hajatnya Insya Allah hajatnya akan terkabul’.
      Al-Jaba’I berkata, “kepada setiap orang yang datang kepadanya membawa emas sang Syaikh selalu memintanya untuk meletakkan emas tersebut di bawah sajadahnya. Beliau tidak pernah menyentuhnya. Saat pelayannya datang beliau berkata kepadanya, “pergi dan belikan roti dan lauk’. Ketika datang jubah kebesaran yang diberikan khalifah kepadanya, beliau berkata, “Berikan kepada Abu Fadhal Ath-Thahhan sebab beliau mengambil tepung dengan jalan berhutang untuk para fakir dan tamunya. Sebab itulah orang tidak pernah melihat beliau memakai jubah yang diberikan khalifah kepadanya setiap bulan karena selalu diberikan kepada Ath-Thahan”.
      Al-Khidr Al-Husaini berkata, “pada suatu Jum’at aku sedang berada bersama sang Syaikh di masjid. Kemudian datanglah seorang pedagang membawa uang dan berkata  kepada beliau, ‘Aku ingin membagi-bagikan uang ini kepada orang yang berhak, dan aku tidak mendapatkan orang yang berhak mendapatkannya. Perintahkan kepadaku siapa yang berhak aku berikan. Dang Syaikh berkata kepada orang tersebut, “Berikan kepada golongan yang berhak menerimanya dan yang tidak berhak menerima sedekah tersebut”.
      Diriwayatkan, beliau melihat seorang faqir yang sedang bersedih. “Apa yang sedang terjadi padamu ?” tanya sang Syaikh kepadanya. Si faqir tersebut menjawab, “Pada suatu hari aku berjalan di tepi sungai. Kemudian aku meminta kepada pemilik perahu untuk menyeberangkanku ke tepi lainnya, namun dia menolak. Saat itu ahtiku sedih mengingat kemiskinanku’.  Tepat setelah si faqir menyelesaikan ceritanya, seorang pria datang membawakan bungkusan berisi 30 dinar yang dinazarkannya untuk sang Syaikh. Sang Syaikh mengambil bungkusan tersebut dan berkata kepada si faqir, “Ambil bungkusan ini dan pergi ke pemilik perahu. Katakan kepadanya bahwa engkau tidak lagi orang yang miskin”. Kemudian Syaikh melepaskan pakaiannya dan memberikannya kepada si faqir yang kemudian dibeli seharga 20 dinar.
      Abu Yasar bin Abdurrahim berkata, “Abdus-Shamad bin Hammam seorang yang kaya raya merupakan orang yang sangat membenci Syaikh Abdul Qadir dan menolak semua karamah yang diceritakan kepadanya. Namun kemudian ia menjadi orang yang membaktikan dirinya kepada sang Syaikh. Setelah sang Syaikh meninggal, aku bertanya kepadanya faktor apa yang menyebabkan perubahan tersebut. Beliau bercerita, ‘Pada suatu hari aku melewati madrasah sang Syaikh dan waktu shalat Ashar telah tiba sehingga aku teropaksa shalat di madrasah beliau. Karena ketidaksenanganku, akupun masuk dengan niat segera keluar setelah mengerjakan shalat. Aku mendapati sebuah tempat kosong di sebelah mimbar tempat sang Syaikh memberikan pengajian. Aku tidak menyadari bahwa hari itu adalah hari Jum’at dan orang-orang semakin banyak berdatangan untuk menghadiri pengajiannya dan membuatku tidak dapat bergerak dari tempatku sedangkan aku dalam kondisi ingin sekali ke kamar kecil untuk buang hajat. Kemudian sang Syaikh naik ke atas mimbar dan aku sudah  hampir tidak dapat menahannya. Saat itu kebencianku kepada beliau berlipat  ganda. Aku membayangkan diriku buang hajat di dalam pakaian, orang-orang menghinaku dan dari dalam tubuhku akan tercium bau busuk. Aku lebih memilih mati daripada berada dalam kondisi tersebut. Saat aku sedang memikirkan nasibku, sang Syaikh turun beberapa tangga dan menyelimuti kepalaku dengan serbannya. Seketika itu aku melihat diriku berada di sebuah taman di gurun dengan air yang mengalir. Akupun melepaskan hajatku, berwudhu dan shalat dua rekaat di tempat tersebut. Kemudian sang Syaikh mengangkat serbannya dari kepalaku,dan aku mendapati diriku berada di sebuah mimbar tempatku semula, dalam kondisi yang lapang. Aku sangat takjub pada saat itu dan aku mendapati diriku dalam keadaan basah bekas air wudhu. Ssaat itu aku merasa bingung dengan apa yang aku alami.
      Dalam perjalanan pulang seusai majlis tersebut, aku mendapati sapu tangan dan kunci brankasku hilang. Aku kembali ke tempatku tadi dan mencari kedua benda tersebut dan tidak dapat menemukannya. Aku pulang ke rumah, dan memanggil tukang kunci karena pada saat itu aku sedang tergesa-gesa untuk melakukan perjalanan keluar Iraq untuk suatu urusan. Keesokan harinya aku keluar dari Baghdad.
      Pada hari ke tiga perjalanan tersebut aku melewati suatu daerah oase dengan air yang mengalir. Salah seorang teman seperjalananku berkata, “Apakah ridak sebaiknya kita berhenti sebentar di sini, beristirahat dan shalat serta makan, karena setelah ini kita tidak akan mendapatkan oase”. Akupun turun dari tungganganku dan mendapati bahwa tempat inilah yang aku lihat di majlis sang Syaikh. Akupun berwudhu dan menuju tempat di mana aku melaksanakan shalat. Di tempat tersebut aku mendapatkan sapu tangan dan kunci brankasku. Akupun memutuskan membatalkan perjalananku dan kembali ke Baghdad karena yang ada dalam pikiranku adalah selalu berdekatan dengan Syaikh Abdul Qadir RA. Aku tidak pernah menceritakan hal ini karena aku kira orang yang mendengarnya tidak akan percaya”. Aku berkata kepadanya, ‘Orang yang menceritakan hal seperti ini tidak akan pernah id cela,’ Kataku kepadanya. Dia berkata, ‘Aku tidak perlu menceritakan hal tersebut kepada orang-orang , aku telah mencereitakannya kepad orang yang tidak aku ragukan kejujuran dan keadilannya’. Lalu tidak pantaskah aku tidak mempercayai orang seperti ini’. Allah menghendaki kebaikan atas dirimu’. Kataku kepadanya. Dia berkata, Aku bersyukur kepada Allah karena tidak meninggal dalam keadaan sebelum ini”’.
      Syaikh Muhammad bin Qaid Al-Awani meriwayatkan, “Pada suatunketika seorang perempuan datang membawa puteranya ke hadapan sang Syaikh. Ibu tersebut berkata kepada sang Syaikh, ‘Aku melihat hati anakku telah terikat kepada anda. Aku sekarang serahkan hakku atas dirinya untuk Allah lalu kepada anda’. Sang Syaikh kemudian menerima putera perempuan tersebut dan memerintahkannya bermujahadah dan emngikuti jalan para Salaf As-Shalih.
      Suatu hari sesudah itu sang ibu mengunjungi anaknya dan mendapati sang anak dalam kondisi kurus karena kurang makan dan terlalu banyak begadang. Dia melihat sang anaka hanya memakan roti gandum kelas dua. Kemudian ia mengunjungi sang Syaikh dan mendapati sang Syaikh telah memegang piring dengan sisa-sisa tulang ayam di atasnya. Sang ibu berkata kepada sang Syaikh, ‘Yaa Syaikh, anda makan dengan lauk ayam, sedang anakku hanya makan gandum kelas dua’.
      Sang Syaikh meletakkan tangannya di atas tulang-belulang tesebut dan berkata, “Bangkitlah dengan ijin Allah yang membangkitkan tulang belulang yang telah berserakan’. Seketika itu pula hiduplah ayam jantan tersebut seraya berdiri dan berkokok dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha illaLlaah MuhammadarrasuuluLlah Syaikh Abdul Qadir WaliyuLlah”. Kemudian sang Syaikh berkata, ‘Apabila anakmu sudah mampu seperti ini, maka bolehlah ia makan sekehendaknya’.
      Telah terjadi konsensus di antara para ulama ditambah dengan berbagai kitab yang menyatakan interaksi para elit wali di dalam kubur mereka bagaikan orang yang masih hidup hingga hari kiyamat, karena keestimewaan yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Di antara mereka adalah Syaikh Al-Imam Abdul Qadir Al-Jilly, Syaikh Al-Kabir Ad-Diryaq Al-Mujarrab Ma’ruf bin Mahfudz bin Fairuz bin Al-Mirzaban Al-Kharqi, Syaikh Wasil Ar-Rahilah Aqil Al- Munbaji, Syaikh Al-Kamil Hayyan bin Qaais Al-Harani. Begitu pula dengan keempat orang kerua para wali ini yang diberi kemampuan menghilangkan kusta, menyembuhkan kebutaan dan menghidupkan orang mati dengan ijin Allah  mereka adalah para Qutb dan Al-Ghauts Begitu pula dengan Syaikh Muhiyyuddin Abdul Qadir Al-Jailany, Syaikh Al-Kabir Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i, Syaikh Ali bin Al-Hitti, Syaikh Qudwah As-ShalihBaqa’ bin Bathu’ RA. Termasuk di dalamnya para pemuka suluk yang empat yaitu Syaikh Kamil Al-Maushuli, Maslamah bin Ni’mah AS-Saruuji, Syaikh Al-‘Arif Al-Murabbi Hammad bin Muslim Ad-Dabbas, Syaikh Al Hujjah Al-Mulhiq Al-Ashagir wal Akaabir Tajul ‘Arifiin Abu Wafa’ Muhasmmad Kaakis, Syaikh Al-‘Abid Az-Zahid Al-Mujaahid Uday bin Musafir, semoga Allah memberikan berkah dan manfaat dari mereka di dunia dan di akhirat.
      Syaikh Ali Al-Khabbas meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar dari Syaikh Abu Hafs Al-Kaimani, “Pada suatu malam saat aku berada di tempat khalwatku tiba-tiba dindingnya terkoyak dan masuklah seseorang dengan tampang menakutkan. ‘Siapakah engkau,’ Tanyaku. Dia menjawab,’Aku iblis, datang untuk menasehatimu’. ‘Apa nasihatmu ?’ Tanyaku. Aku ingin mengajarimu duduk murqabah ‘katanya sambil melakukan duduk sebagaimana duduk tasyahud awal (qarfasha), dengan kepala menunduk melihat bumi. Pagi harinya aku menemui Syaikh Muhiyyudin Abdul Qadir untuk menceritakan peristiwa tersebut kepada beliau. Ketika aku berjabat tangan dengan tangannya, beliau menggenggam tanganku dan berkata, “Engkau benar dan dia pembohong. Jangan pernah engkau menerima apapun darinya’. Padahal aku belum menceritakan hal tersebut kepada beliau’.
       Sayikh Badi’uddin Khalf bin ‘Ayyash Asy-Syari’ Asy-Syafi’i bercerita, “Oleh Syaikh madzhab Syafi’i waktu itu, Syaikh Abu Umar dan Syaikh Utsman As-Sa’adi, aku diperintahkan untuk pergi ke Baghdad dan membawa sebuah salinan kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Sesampai di Baghdad, aku menemukan penduduk Baghdad selalu menyebutkan nama Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA. Aku berkata dalam hati, ‘Jika orang ini memang seperti yang dikatakan orang-orang, dia akan mengetahui apa yang aku khayalkan dalam diriku’. Kemudian aku mulai mengkhayalkan peristiwa yang tidak biasanya terjadi. Aku berkata dalam hati, ‘Aku ingin ketika beliau masuk dan aku mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau tidak akan menjawab salamku dan membuang muka. Kemudian beliau akan berkata kepada pelayannya, bawakan kepada kami kurma sebanyak satu qir’ah dan sayur mayur sebanyak 2 daniq untuk orang ini, tidak lebih dan tidak kurang’. Dan aku mengkhayalkan lagi, ketika kurma tersebut beradadi tangan beliau, makan beliau akan memakaikan thaqiah (semacam topi) sebelum aku melakukan hal tersebut, kemudian beliau menjawab salamku”.
       Setelah itu aku berangkat mendatangi madrasahnya dan mendapati beliau sedang duduk di mihrab. Saat beliau memandangku, terbetik dalam hatiku bahwa beliau mengatahui apa yang ada di dalam hatiku. Akupun mengucapkan salam dan beliau tidak membalasnyamalah memalingkan wajahnya dariku dan berkata kepada pelayannya, ‘bawakan kepadaku kurma sebanyak satu qir’ah dan sayur mayur sebanyak dua daniq untuk orang ini tidak kurang dan tidak lebih’. Ketika pelayannya datang membawakan apa yang beliau minta, beliau mengambil thaqiahku dan mengisinya dengan kurma dan sayur mayur kemudian mengenakannya di kepalaku lalu menjawab salamku. Setelah itu beliau berkata, ‘inikah semua yang engkau inginkan ?’. sejak saat itu aku menimba ilmu dari beliau dan mengambil hadits dari beliau.
       Syaikh Badi’uddin  Abu Abbas Ahmad bin Ahmad Al-Bandanijji berkata, “Suatu ketika aku dan Syaikh Jamaluddin Al-Jauzi manghadiri majlisnya. Seorang qari’ membacakan sebuah ayat dan kemudian sang Syaikh memberikan tafsir  atas ayat tersebut. Aku berkata kepada Syaikh jamaluddin “Apakah engkau telah mengetahui tafsir ayat ini ?” ‘Ya’ Jawabnya. Kemudian beliau menyebutkan 11 tafsir atas ayat tersebut dan setiap kali aku bertanya kepada Syaikh Jamaluddin apakah dia telah mengetahui tafsir tersebut, maka beliau selalu menjawab’Ya’. Setelah itu Syaikh Abdul Qadir menyebutkan tafsir lainnya hingga mencapai 40 tafsir atas ayat tersebut sambil menyebutkan sumbernya dan tak satupun dari tafsiran tersebut yang diketahui oleh Syaikh Jamaluddin. Hal tersebut membuatnya sangat takjub dengan keluasan ilmu Syaikh Abdul Qadir. Kemudian ia berkata, ‘Mari kita tinggalkan berkata-kata dan kembali kepada kondisi Laa Ilaaha illaLlaah MuhammadarrasuuluLlah’. Orang-orangpun gempar dan Syaikh Jamaluddin menyobek-sobek pakaiannya.”
       Muhammad bin Husain Al-Maushuli berkata, “Aku pernah mendengar dari ayahku bahwa Syaikh Abdul Qadir mengajarkan 13 cabang keilmuandalam majlisnya. Beliau mengingat adanya pelajaran dari madzhab dan pelajaran antar madzhab. Pada siang hari beliau mengajar tafsir, fiqih mazhab Hanbali, perbandingan mazhab, ushul dan nahwu. Setelah dzuhur beliau membaca Al-Qur’an dengan berbagai qira’at.
       Umar Al-Bazaar berkata, “permohonan berbagai fatwa datang kepada beliau dari Iraq dan dari luar Iraq. Akmi tidak pernah melihat beliau mendiamkan permintaan fatwa yang datang kepada beliau atau memikirkannya.  Beliau langsung menulis fatwa yang diminta setelah membaca kasusnya. Beliau mengeluarkan fatwa berdasarkan mazhab dua Imam yaitu Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan ketiak fatwanya disebarkan, para ulama Iraq terkagum-kagum dengan kecepatan beliau menjawab persoalan yang diajukan. Mereka yang menekuni cabang-cabang keilmuan syari’ah pun menjadikan beliau sebagai rujukan”.
       Syaikh Abdurrazaq berkata, “Sebuah persoalan datang dari luar Iraq dan tak seorangpun ulama Iraq yang mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Persoalan yang berkenaan dengan sumpah seorang pria yang mengharuskan dia melakukan ibadah yang hanya dilakukannya sendiri ketika melaksanakannya. Ketika persoalan tersebut sampai ke tangan ayahku, beliau menulis agar orang tersebut mendatangi makkah, mengosongkan tempat tawaf dan melakukan thawaf. Maka gugurlah sumpahnya. Malam itu pula yang meminta fatwa langsung emninggalkan Baghdad menuju Makkah.
       Muhammad bin Abi Abbas Al-Khidr Al-husaini Al-Maushuli meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar ayahnya berkata, “Tahun 551 H dalam tidur aku bermimpi para Syaikh besar berkumpul di suatu tempat yang luas di madrasah Syaikh Abdul Qadir. Diantara mereka ada yang hanya mengenakan serban, ada pula yang mengenakan serban dan selendang di atasnya, ada pula yang mengenakan dua selendang di atasnya. Dan di atas lilitan serban Syaikh,  terdapat tiga helai selendang. Dalam mimpi tersebut aku memikirrkan makna tiga helai selendang tersebut. Ketika aku bangun aku menemukan jawabannya, sehelai selendang merupakan penghormatan terhadap ilmu syari’at, helai lainnya merupakan penghormatan terhadap ilmu hakikat, dan helai terakhir merupakan penghormatan untuk beliau”,
       Syaikh Abu Barakat Shakr bin Shakr bin Musafir menyatakan bahwa setiap wali pada zamannya disumpah untuk tidak menceritakan kondisi spiritualnya baik zahir maupun bathin kecuali atas ijinNya. Beliau adalah yang dianugerahi ijin untuk berbicara di hadapan Allah dengan izin-Nya. Dan beliau adalah orang yang diberi otoritas untuk berinteraksi dengan alam setelah meninggal dunia maupun sebelum beliau meninggal dunia.
       Syaikh Ali bin Al-Hitti berkata,”aku dan Syaikh Baqa bin Bathu’ bersama Syaikh Abdul Qadir menziarahi makam Imam Ahmad bin Hanbal. Aku menyaksikan beliau keluar dari kuburnya, memeluk Syaikh Abdul Qadir, mengenakan jubah kepada beliau seraya berkata, ‘’ Syaikh Abdul Qadir, orang-orang akan merujuk kepadamu dalam ilmu syariah, hakikah dan tasawuf’”.
       Di lain riwayat beliau berkata, “Aku dan Syaikh Abdul Qadir mengunjungi makam Syaikh Ma’ruf Al-Kharqi RA . setibanya di makam, beliau berkata, Assalamu’alaika Yaa Syaikh Ma’ruuf Al Kharqi “. Dari dalam kubur terdengar suara , ‘Wa alaika salam Yaa Ahli zamannya’”./
       Abu Nadzar bin Umar Al-Baghdadi Al-Mutsanna yang dijuluki dengan Ash-Shahrawi menyatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya berkata, “Pada suatu ketika aku memanggil bangsa Jin. Para jin tersebut menjawab panggilanku lebih lamban dari pada biasanya dan mereka berkata kepadaku, ‘Jangan lagi engkau memanggil kami saat Syaikh Abdul Qadir memberikan ceramah’.
       ‘Apa sebabnya ?’
       ‘Kami juga menhhadirinya’
       ‘Kalian juga menghadirinya ?’ tanyaku.
       ‘Yaa, bahkan jumlah kami dalam majlis beliau jauh lebih banyak daripada manusia yang hadir. Di tangan beliau banyak diantara kami bertobat dan masuk islam’. Jawab sang jin.
Syaikh Abu Faraj Ad-Daurabah, Syaikh Abdul Karim Al Atsari, Syaikh Yahya Ash-Sharshari dan Syaikh Ali bin Muhammad As-Sahrabati meriwayatkan saat mereka berada di bersama Syaikh Idris Al-Ya’qubi tahun 610 H, datanglah Syaikh ‘Umar Al-Muridiyang idkenal dengan nama Turbadah.
       “Ceritakan kepada kami apa yang engkau lihat”. Pinta Syaikh Ali bin Idris.
       “Dalam tidur aku bermimpi bahwa kiyamat telah terjadi dan para Nabi telah bangun dengan para pengikutnya. Di antara mereka ada yang hanya di ikuti oleh seorang atau dua orang pengikut saja. Kemudian munculah RasuluLlah SAW dengan umatnya yang bagaikan rantai tanpa ujung bak malam karena banyaknya. Di antara umatnya terdapat para Syaikh dan para pengikut mereka dengan berbagai sinar yang membedakan antara satu dengan yang lain. Lalu munculah seorang pria dengan pengikut terbanyak diantara para Syaikh lainnya. Sebuah suara berkata, “inilah Syaikh Abdul Qadir dan para pengikutnya. Akupun datang dan menemuinya dan berkata, ‘Tuanku, tidak ada seorang Syaikh pun yang melebihimu. Tidak pula kualitas pengikut mereka dapat melebihi kualitas pengikutmu’. Lalu aku melantunkan sebuah sya’ir dan terbangun dan mendapati diriku telah menghafalnya.”
        Al-Hafid bin Najjar neriwayatkan bahwa Syaikh Abu Futuh Ahmad berkata, “Aku meminta ijin kepada kakekku (menteri pada waktu itu) untuk pergi menghadiri majlis Syaikh Abdul Qadir . beliau  mengijinkanku dan membekaliku dengan emas seraya berpesan agar aku memberikan emas tersebut kepada sang Syaikh dan menyampaikan salam darinya kepada sang Syaikh. Usai majlis tersebut aku menyampaikan salam kepadanya namun aku merasa tidak nyaman untuk memberikan emas tersebut kepadanya di hadapan orang banyak. ‘jika Syaikh masuk ke ruangannya, aku akan masuk dan memberikan emas ini kepadanya’. Pikirku. Namun beliau berkata kepadaku, “berikan apa yang ada bersamamu dan jangan pedulikan orang-orang ini serta sampaikan salamku kepada sang menteri”. Akupun pulang dengan perasaan takjub.
        Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sang Syaikh berkata kepadanya, ‘Pegang emas yang ada pada dirimu dan jangan pedulikan orang-orang, tidak perlu engkau berniat berziarah kepadaku. Kemudian sampaikan salamku kepada kakekmu sang menteri dan katakan kepadanya, ‘Abdul Qadir tidak membutuhkan apa yang engkau kirimkan, kembalikan saja kepada yang berhak menerimanya’”. Dan akupun pulang dengan perasaan takjub.
        Syaikh Najmuddin Abu Abbas Ahmad bin Abi Hasan Al-bathiahi meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengar bahwa Syaikh Ibrahim AL-‘Azab berkata, “Syaikh Abdul Qadir adalah Tuan kami, Syaikh golongan hakikat dan imam golongan shiddiq, hujja golongan ‘ariif, dan teladan bagi golongan salik kepada Allah RadhiyaLlaahu ‘Anhum Ajma’iin.
        Syaikh Abu Barakat Ash-Shuhrawardi meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Abdul Qadir melantunkan sya’ir di bawah ini saat duduk di kursinya di bab Al-Azji :
        Bukankah suatu kemalangan bila malamku lewat tanpa manfaat dan Engkau catat sebagai bagian dari umurku…
        Al-Hafidz Ibnu Najjar berkata, “Syaikh Abdullah AL-Jaba’i mengirimkan surat kepadaku. Dia berkata kepadaku, ‘Syaikh Abdul Qadir pernah berkata, “dunia adalah sesuatu yang menyibukkan dan akhirat adalah sesuatu yang menakutkan. Seorang hamba akan selalu berada di antara keduanya sampai ia memutuskan yang mana yang akan diambil. Surga atau neraka’”.
        Dalam suatu kesempatan di majlisnya beliau berkata, “sesuatu yang pertama kali muncul di dalam hati seorang mukmin adalah bintang hikmah kemudian bulan ilmu dan selanjutnya adalah matahari ma’rifah. Dengan sinar bintang hikmah orang tersebut akan melihat dunia. Dan dengan sinar bulan ilmu orang akan melihat akhirat. Dan dengan sinar matahari ma’rifah seseorang akan melihat Al-Mawla (Allah).
        Beliau juga pernah berkata, “Para wali adalah pengantin Allah dan hanya isteri mereka yang ditampakkan kepada mereka”.

       Pada suatu ketika ada orang yang bertanya kepada beliau tentang doa, maka beliau berkata, “Do’a dibagi dalam 3 derajad, Ta’ridh (terus terang), tashrih (jelas), dan isyarah (isyarat). Tashrih adalah doa yang dilafadzkan. Sedangkan Ta’ridh adalah do’a di dalam doa. Sedangkan isyarah adalah, perkataan tersembunyi yang ada di dalam perkataan. Sedangkan isyarah adalah terdapat dalam perbuatan yang tersembunyi”.

       Contoh dari ta’ridh adalah sabda RasuluLlah SAW, “Jangan pernah engkau serahkan pengurusan diri kami kepada kami. Sedangkan isyarah adalah seperti perkatanaan Nabi Ibrahim AS “Tuhanku, tunjukkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati’. Di dalamnya terdapat isyarat permohonan melihat. Adapun derajad tashrih semisal perkataan Musa AS, “Tuhanku, biarkan aku melihatMu”.

       Diriwayatkan dari Syaikh Abdurrazaq bin Syaikh Abdul Qadir, beliau berkata, diantara doa ayahku adalah “Yaa Allah aku berlindung dari direndahkan dengan wushulku kepadaMu, dari dicampakkannya diriku dengan kedekatanMu, dari ditolaknya diriku dari penerimaanMu terhadap diriku, dan jadikanlah kami termasuk mereka yang taat dan cinta kepadaMu, dan anugerahkanlah kepada kami rasa syukur dan terimakasih kepadaMu wahai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.

       Diantara doa beliau adalah “Yaa Allah kami mohon kepadamu iman yang layak untuk dipersembahkan kepadaMu, keyakinan yang dapat menjadi tempat kami bersandar di hadapanMu pada hari kiyamat, pengampunan yang dapat menyalamatkan diri kami dari belitan dosa, rahmat yang dapat mensucikan kami dari karatnya aib, ilmu yang dapat kami pergunakan untuk memahami perintah dan laranganMu, pemahaman yang dapat menjadikan kami paham bagaimana kami memohon kepadaMu. Jadikanlah kami diantara para waliMu di dunia dan di akhirat. Penuhilah kalbu kami dengan sinar ma’rifahMu, sifatilah mata hati kami dengan celak hidayahMu, jagalah kaki pikiran kami agar tidak tergelincir dalam syubhat dan cegahlah burung jiwa kami untuk tidak berpacu memuaskan syahwat. Hapuskanlah tabir kejelekan kami dengan lembar kebaikan kami melalui tangan – tangan kebajikan. Jadikanlah harum amal perbuatan kami saat pengharapan pputus dari kami, saat penduduk yang mulia memalingkan wajahnya dari kami, saat kami berada dalam kegelapan liang lahat hingga hari kiyamat. Aliran apa yang Engkau cintai melalui hambaMu yang lemah ini dan lindungi dia dari ketergelinciran, dan tuntunlah ia dan semua yang hadir kepada perbuatan dan perkataan yang baik. Alirkanlah melalui lidahnya yang bermanfaat bagi yang mendengarkan, yang meneteskan air mata, yang melembutkan kalbu. Ampunilah ia dan orang-orang yang hadir serta seluruh muslim”.

       Diriwayatkan bahwa setiap kali sang Syaikh menutup majlisnya, beliau selalu mengucapkan ,”Semoga Allah menjadikan kami dan anda sekalian diantara mereka yang mendapatkan perhatianNya karena khidmahnya, yang dihapuskan darinya dunia dan yang di ingatkan akan hari akhirnya dan yang mengikuti rejak para saleh. Sesungguhnya Dia berkuasa atas semua itu dan kuasa mewujudkannya wahai Tuhan Sekalian Alam”

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008