Ketahuilah sesungguhnya apa yang telah kami sebutkan pada obat sabar dan apa yang telah kami jelaskan pada kitab sabar dan syukur, semua itu telah menculupi pada maksud semua ini. Karena sesungguhnya sabar tidak dapat dihasilkan melainkan setelah berhasilnya keadaan takut dan harap karena permulaan maqam di dalam agama adalah yakin yang diibaratkan sebagai kekuatan iman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir dan terhadap surga dan neraka. Dan yakin ini dengan mudah akan dapat mengobarkan ketakutan kepada neraka dan mengharapkan surga. Kemudian harap dan takut akan bertambah kuat dengan adanya sabar karena sesungguhnya sabar itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu. Maka tiada akan mampu menanggunya melainkan dengan kekuatan harap. Neraka dikelilingi oleh kesenangan nafsu syahwat oleh karena itu tidak akan sabar dalam menahannya kecuali dengan kekuatan khauf/takut. Karena itulah telah berkata ‘Ali KarramaLLahu wajhah, “Barang siapa yang merindukan surga niscaya ia menyimpang dari segala nafsu syahwat. Barang siapa yang menyayangi dirinya akan api neraka, niscaya ia kembali (tidak mengerjakan) hal-hal-yang haram.
Kemudian dilaksanakanlah tingkatan/maqqam sabar dengan diambil manfaatnya dari kauf dan raja’ kepada tingkatan mujahadah dan fokus kepada berdzikir mengingat Allah Ta’ala dan terus menerus bertafakur kepada-Nya.
Dan dzikir yang terus menerus akan membawa kepada kejinakan hati sedangkan terus menerusnya bertafakur akan membawa kepada sempurnanya ma’rifah. Dan terus menerusnya tafakur sampai kepada sempurnanya ma’rifah akan membawa kepada mahabbah/kecintaan yang diikuti oleh maqam ridho dan tawakal dan beberapa tingkatan/maqamat .
Maka inilah urut-urutan pada menjalani tingkat-tingkat agama. Dan tiadalah sesudah pokok yakin itu ada tingkatan lagi selain takut dan harap. Dan tiadalah sesudah keduanya itu tingkatan lagi selain sabar. Dan dengan sabar akan tercapai mujahadah dan terfokus menjurus kepada Allah Ta’ala secara lahir dan bathin. Dan tiadalah maqam sesudah mujahadah bagi orang yang telah dibukakan jalan selain hidayah dan ma’rifat. Dan tiadalah maqam sesudah ma’rifah selain mahabbah/cinta dan jinak hati . dan dari mudahnya kasih sayang itu adalah ridho dengan segala perbuatan Yang dicintai dan percaya dengan pertolongan-Nya, dan itulah tawakal.
Jadi apa yang telah kami sebutkan tentang pengobatan sabar itu telah mencukupi. Akan tetapi kami akan sendirikan khauf/takut itu dengan pembicaraan secara singkat, maka kami katakan :
Takut itu dapat berhasil dengan dua jalan yang berlainan. Salah satunya lebih tinggi tingkatannya dari yang lain. Sebagai contoh adalah anak kecil. Apabila ada masuk kedalam rumah binatang buas atau ular terkadang ia tidak takut dan terkadang ia mengulurkan tangannya kepada ular itu untuk diambil dan dipermainkannya. Akan tetapi apabila ia bersama ayahnya dan sang ayah itu berakal sehat tentu takutlah ia dan lari dari ular itu. Maka apbila anka kecil itu melihat sang ayah dan sang ayah gemetaran sendi-sendinya dan berusaha lari, niscaya anak kecil itu akan bangun berdiri bersama ayahnya. Dan menguatlah ketakutan pada anak kecil itu dan ia mengikuti ayahnya untuk lari.
Maka ketakutan sang ayah, itu adalah dari penglihatan dan pengetahuannya terhadap sifat ular dan bisanya dan keistimewaannya, dan kekerasan binatang buas dengan keperkasaannya dan kurangnya perhatian binatang buas itu kepada mangsanya.
Adapun takutnya sang anak maka itu adalah percaya dengan semata-mata taklid karena ia berbaik sangka kepada ayahnya. Dan ia tahu bahwa ayahnya tidak takut selain dengan sebab yang menakutkan pada dirinya. Maka tahulah anak itu bahwa binatang buas itu menakutkan sedang ia tidak mengetahui akan segi ketakutan itu.
Jika engkau mengetahui perumpamaan ini maka ketahuilah bahwa takut kepada Allah Ta’ala itu ada dua tingkatan. Yang pertama takut kepada adzab-Nya dan kedua takut kepada-Nya. Adapun takut kepada-Nya maka itu adalah takutnya ulama dan orang-orang yang mempunyai hati yang mengetahui sifat-sifat-Nya akan apa yang menghendaki kehaibatan, ketakutan dan kehati-hatian yang menengok pada rahasia firman Allah Ta’ala, “WayuhadzirakumuLlahu nafsah”- “Dan Allah memperingatkanmu akan kewajibanmu kepada Allah sendiri”. Dan firman Allah Ta’ala, “Takutlah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takut”.
Adapun yang awal, makan itu adalah takutnya umumnya manusia dan itu dapat diperoleh dengan pokok iman/percaya akan surga dan neraka. Dan adanya keduanya – surga dan neraka adalah merupakan balasan atas ta’at dan ma’siyat . Dan lemahnya ketakutannya disebabkan kelalaian dan sebab lemahnya iman. Dan kelalaian itu dapat dihilangkan dengan peringatan dan nasihat, selalu bertafakur tentang huru hara hari kiyamat dan bermacam-macam adzab di akhirat. Dan hilang juga kelalaian itu dengan melihati orang-orang yang takut, dan berkumpul dengan mereka dan menyaksikan keadaan mereka. Maka jikalau tidak ada penyaksian itu maka dengan mendengar saja tidak juga terlepas dari pada membekas.
Dan adapun yang kedua maka itu lebih tinggi tingkatannya yaitu bahwa adanya Allah itulah Dzat Yang ditakuti yakni jika hamba itu takut terhijab dari-Nya dan mengharapkan kedekatan dengan-Nya.
Telah berkata Dzunun RahimahuLlahu Ta’ala, “Takut api neraka apabila dibandingkan dengan takut berpisah adalah seperti setetes air yang menetes pada lautan yang gelap gulita”. Dan inilah takutnya ulama manakala telah berfirman Allah Ta’ala, “Innama yakhsyaLlaha min ‘ibaadiHi al-Ulamaa’ Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama”.
Dan pada umumnya orang mukmin juga mendapat bagian pada hal ketakutan ini akan tetapi semata-mata hanyalah taqlid seperti takutnya anak kecil kepada ular berbisa karena ia taqlid kepada ayahnya. Dan yang demikian itu tidak disandarkan kepada penglihatan dengan mata hati. Maka sudah pasti (takut yang demikian ini) dapat melemah dan akan mudah hilang pada waktu yang dekat hingga terkadang si anak kecil melihat kepada orang yang berazam mengambil ular itu, maka melihatlah ia kepadanya dan akhirnya tertipulah dia dengannya. Maka beranilah ia untuk mengambilnya karena ia taqlid (meniru) kepada orang itu sebagaimana ia ikut-ikutan kepada ayahnya.
Dan akidah-akidah taqlidiyah (ikut-ikutan) biasanya lemah kecuali apabila dikuatkan dengan penyaksian sebab-sebabnya yang menguatkan akidah-akidah itu terus menerus, dan membiasakan diri menurut yang dikehendakinya dengan memperbanyak ta’at dan menjauhi ma’siyat pada waktu yang lama secara berkekalan.
Jadi, siapa yang mendaki ke tingkat ma’rifat dan mengenal Allah Ta’ala niscaya ia mudah untuk takut kepada-Nya. Maka ia tidak memerlukan obat untuk dapat menyebabkan takut sebagaimana orang yang mengenal binatang buas dan melihat dirinya jatuh dalam cengkeramannya, tidaklah membutuhkan obat untuk menarik ketakutan di dalam hatinya akan tetapi sebaliknya ia dengan mudahnya akan merasa takut kepada binatang buas itu, baik ia kehendaki atau tidak.
Dan karena itulah telah berfirman Allah Ta’ala kepada Dawud AS, “Takutlah kamu kepada-Ku sebagaimana takutmu kepada binatang buas yang menerkam”.
Dan tiada daya untuk menarik rasa takut terhadap binatang buas yang menerkam itu selain selain dengan mengenal binatang buas itu dan mengetahui jatuhnya dalam cengkeramannya, maka tidaklah memerlukan kepada daya yang lainnya (untuk menarik ketakutan itu ke dalam hati). Maka barang siapa yang mengenal Allah Ta’ala maka ia akan tahu bahwa IA berbuat sekehendak-Nya dan tidak peduli, dan IA menghukumi sesuai apa yang diinginkan-Nya, dan IA tidak takut. IA mendekatkan Malaikat dengan tanpa perantara yang mendahuluinya, dan menjauhkan iblis tanpa sebab dosa yang terdahulu. Akan tetapi sifat-Nya adalah apa yang diterjemahkan dalam firman Allah Ta’ala, “Mereka ini ada di dalam surga dan Aku tidak peduli, dan mereka itu di dalam neraka dan Aku tidak peduli”.
Apabila terlintas di dalam benakmu bahwa IA tidak menyiksa selain atas maksiyat dan tidak pula memberikan pahala melainkan atas keta’atan, maka perhatikanlah bahwa IA tidak membantu orang yang ta’at dengan sebab-sebab keta’atannya sehingga ia menjadi ta’at, baik orang itu mau atau tidak. Dan IA tidak menolong orang-orang yang bermaksiyat dengan pengajak-pengajak maksiyat sehingga ia berbuat maksiyat, baik orang itu mau atau tidak mau.
Maka sesungguhnya IA manakala menciptakan kelalaian dan syahwat dan menciptakan kemampuan untuk malampiaskan syahwat itu, maka perbuatan itu dapat terjadi dengan mudah. Maka jikalau IA menjauhkan orang itu karena orang itu berbuat maksiyat kepada-Nya, maka mengapa IA membawa orang itu kepada melaksanakan maksiyat. Adakah yang demikian itu disebabkan karena maksiyat yang terdahulu ? (tentu saja tidak) sehingga sambung menyambung hingga tiada berkesudahan, Atau berhenti –sudah pasti- pada permulaan yang tiada alasan bagi-Nya dari pihak hamba. Akan tetapi IA mengadha-kan
Atas hamba itu pada azali.
Dan dari makna yang demikian ini, RasuluLlah SAW telah memberikan ibarat dengan sabda beliau, “Telah berhujjah (mengeluarkan alasan) Adam AS dan Musa AS di sisi Tuhan mereka. Maka Adam AS mengemukakan alasan kepada Musa AS. Musa AS berkata, ‘Engkau adalah Adam dimana Allah telah menciptakanmu dengan tangan-Nya, dan meniupkan ruh-Nya kepadamu, dan Ia membuat para malaikat bersujud kepadamu, dan menempatkanmu di surga, kemudian engkau menurunkan manusia ke bumi –disebabkan kesalahanmu-‘. Lalu Adam AS menjawab, ‘Engkau Musa yang Allah telah memilihmu dengan risalah-Nya dan dengan kalam-Nya Allah telah memberikan al-alwah (tulisan-tulisan) yang di dalamnya menerangkan segala sesuatu. Ia mendekatkanmu dengan kelepasan dari mara bahaya. Maka dengan berapa lama engkau mendapati Allah menulis Taurat sebelum aku dijadikan ?’
Musa menjawab,’ dengan selang waktu empat puluh tahun’.
Adam bertanya, ‘Adakah engkau dapati di dalam Taurat bahwa Adam berbuat maksiyat kepada Tuhannya lalu durhaka ?’
Musa menjawab, ‘Ya ada’.
Adam berkata, ‘Adakah engkau mencaciku karena aku melakukan sesuatu yang telah ditulis Allah atasku sebelum aku memperbuatnya dan sebelum empat puluh tahun aku dijadikan-Nya ?’
Kemudian bersabda RasuluLlah SAW, “Maka Adam memenangkan hujjahnya atas Musa AS”.
Maka siapa yang mengetahui sebab-sebab dari urusan ini dengan ma’rifah yang timbul dari nuur hidayah maka ia termasuk kekhususan golongan ‘arifiin yang dapat melihat pada rahasia qadar. Dan barang siapa yang mendengarkan ini lalu meng-imaninya dan membenarkan dengan semata-mata mendengar maka ia termasuk umumnya orang mukmin. Dan telah berhasil bagi setiap satu dari dua golongan akan rasa takut. Karena sesungguhnya tiap-tiap hamba pasti jatuh dalam genggaman qudrah seperti jatuhnya anak kecil yang lemah dalam cengkeraman binatang buas. Dan kadang-kadang binatang buas itu lemah secara kebetulan maka dilepaskanlah ia. Dan terkadang binatang buas itu menyerang anak kecil itu lalu diterkamnya ia. Dan yang demikian itu adalah menurut yang kebetulan. Dan bagi sesuatu yang kebetulan itu memiliki sebab-sebab yang teratur dengan perkiraan yang telah dimaklumi. Akan tetapi apabila disandarkan kepada orang yang tidak mengetahuinya maka itu dinamakan kebetulan. Dan apabila dikaitkan dengan ilmu Allah Ta’ala maka tidaklah boleh dinamakan kebetulan.
Orang yang jatuh dalam cengkeraman binatang buas manakala sempurnya ma’rifatnya niscaya tidaklah ia akan takut kepada binatang buas itu karena binatang buas sesungguhnya memang diciptakan demikian. Jikalau ia lapar maka ia akan menerkam. Dan apabila ia dalam keadaan lalai niscaya ia melepaskan dan membiarkan.
Sesungguhnya yang ditakutkan ialah Pencipta binatang buas itu dan Pencipta sifat-sifatnya. Maka tidaklah aku katakan bahwa perumpamaan ketakutan kepada Allah Ta’ala itu sama dengan ketakutan terhadap binatang buas. Akan tetapi apabila telah disingkapkan tutup niscaya diketahui bahwa ketakutan kepada binatang buas itu pada hakekatnya adalah ketakutan juga kepada Allah Ta’ala karena yang membinasakan dengan perantaraan binatang buas itu adalah Allah Ta’ala.
Maka ketahuilah sesungguhnya binatang buas akhirat itu sama seperti dengan binatang buas dunia. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan sebab-sebab adzab dan sebab-sebab pahala. Dan Dia menciptakan bagi segala sesuatu itu empunya yang didorong oleh takdir yang bercabang dari qadha akan kepastian azali kepada apa ia itu diciptakan. Maka Allah Ta’ala menciptakan surga dan diciptakan-Nya baginya penduduknya dimana mereka itu diciptakan untuk memperoleh sebab-sebab masuk ke dalamnya baik mereka kehendaki yang demikian atau tidak. Dan Allah Ta’ala menciptakan neraka dan diciptakan untuk neraka itu penduduknya dimana mereka diciptakan untuk memperoleh sebab-sebab masuk ke dalamnya baik mereka menghendaki yang demikian atau tidak.
Maka seseorang tidaklah dapat melihat dirinya dalam pukulan ombak-ombak takdir itu melainkan ia dengan sendirinya akan dikerasi oleh ketakutan itu. Inilah ketakutan orang-orang ‘arifiin akan rahasia qadar . Maka barang siapa yang teledor untuk meningkat ke tingkat melihat, maka jalannya adalah bahwa ia mengobati dirinya dengan mendengarkan hadits-hadits dan atsar-atsar sehingga akan terlihatlah keadaan orang-orang yang takut, orang-orang ‘ariif dan pernyataan mereka. Dan ia menyamakan akal pikiran dan kedudukan mereka dengan kedudukan orang – orang yang mengharap yang terperdaya. Maka tidak ragu-ragu lagi bahwa dengan mengikuti mereka adalah lebih utama karena sesungguhnya mereka itu adalah para nabi dan para wali kekasih Allah Ta’ala dan para ulama’.
Adapun orang-orang yang merasa aman, maka mereka itulah fir’aun-fir’aun, orang-orang bodoh dan orang-orang dungu.
Adapun Rasul kita SAW adalah penghulu orang- orang yang terdahulu dan kemudian. Dan ia adalah manusia yang paling takut kepada Allah Ta’ala sehingga diriwayatkan bahwasanya beliau menshalati anak kecil. Pada satu riwayat terdengar dalam do’a Nabi SAW beliau berdoa, “Yaa Allah peliharalah dia dari adzab kubur dan adzab neraka”. Pada riwayat yang kedua , bahwa Nabi SAW mendengar orang yang mengatakan ‘Selamat bagi engkau seekor dari burung pipit surga !’. Lalu Nabi marah dan bersabda, “Apa yang menerangkan kepadamu bahwa anak itu demikian ? Demi Allah. Sesungguhnya aku ini adalah RasuluLlah. Dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku. Sesungguhnya Allah menciptakan surga dan menciptakan penduduknya tidak tambah dan tidak kurang”.
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya RasuluLlah SAW bersabda dengan sabda yang seperti ini pada jenazah sahabat Utsman bin Madh’uun dan Utsman ini termasuk orang-orang muhajirin yang awwal. Tatkala Ummu Salmah mengatakan, “Selamat bagi engkau surga” Maka setelah itu Ummu Salmah berkata, “Demi Allah tidaklah seorangpun aku katakan bersih (dari dosa) sesudah utsman.”
Muhammad bin Khaulah al-Hanafiya berkata, “Demi Allah Tidak akan aku mensucikan seseorang selain RasuliLlah SAW, tidak pula ayahku yang memperanakkanku”. Muhammad bin Khaulah mengatakan bahwa tatkala berkembang aliran syi’ah lalu ia turut mrnyrbutkan keutamaan-keutamaan ‘Aly dan sifat-sifat keterpujiannya (manakibnya).
Dan diriwayatkan pada hadits yang lain dari seseorang ahli shufah yang telah mati syahid, maka berkatalah ibunya, “Selamat bagimu wahai seekor burung pipit surga engkau berhijrah kepada RasuluLlah SAW dan engkau terbunuh di jalan Allah”. Lalu RasuluLlah SAW bersabda, “Apa yang memberitahukan kepada engkau (yang demikian) barangkali saja ia (jenazah) telah berkata-kata dengan sesuatu yang tiada bermanfaat baginya dan mencegah dari apa yang tidak mendatangkan melarat kepadanya”.
Dan dalam hadits yang lain diriwayatkan bahwa RasuluLlah SAW memasuki rumah diantara sahabatnya dan sahabat itu sedang sakit. Kemudian beliau mendengar suara seorang perempuan yang mengatakan, “Selamat, bagi engkau surga”. Maka RasuluLlah SAW bertanya, “Siapakah yang telah bersumpah ini kepada Allah Ta’ala?”. Sahabat tersebut menjawab, “Dia adalah ibuku Ya RasulaLlah”. Maka bersabdalah RasuluLlah SAW, “Apakah yang memberitahukan yang demikian akan engkau hai ibu, mungkin si fulan telah berkata-kata dengan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya dan bakhil atas sesuatu yang tidak diperlukannya”.
Bagaimana seorang mukmin tidak merasa takut kepada Allah Ta’ala sedangkan beliau SAW telah bersabda, “Aku telah dibuat beruban oleh ‘surah Huud’ dan teman-temannya ’surah al-waqi’ah’ dan ‘Waidzasaysamsu Kuwwirat’ dan surah ‘’Amma yatasaa-aluun’.
Para ulama berkata, mungkin saja demikian karena apa yang terdapat di dalam surah ‘Huud’ adalah sesuatu hal yang menjauhkan seperti firman Allah Ta’ala,”Ingatlah telah jauh (binasa) ‘Aad kaumnya Huud itu”. (Huud 60). Firman-Nya, “Ingatlah, jauhlah kaum tsamud itu”. (Huud 68). Dan firman-Nya, “Telah jauhlah kaum Madyan sebagaimana jauhnya kaum tsamud”. (Huud 95)...yang demikian ini disertai dengan tahunya RasuluLlah SAW bahwa jika Allah Ta’ala menghendaki niscaya mereka tidaklah menjadi musyrik sebab jika Allah Ta’ala menghendaki maka didatangkanlah kepada tiap-tiap jiwa akan petunjuk-Nya.
Dan pada surah al-Waqi’ah, firman Allah Ta’ala, “Tidaklah seorangpun yang dapat mendustakan kedatangannya (hari kiyamat) itu sebagian direndahkannya dan sebagian ditinggikan”. (Al-Waqi’ah 2-3). Artinya keringlah pena dengan apa yang ada dan sempurnalah yang terdahulu sehingga turunlah kejadian. Adakalanya suatu golongan direndahkan sedang mereka itu tinggi di dunia, dan ada kalanya suatu kaum ditinggikan sedang mereka itu rendah di dunia.
Dan pada surat Takwiir, diterangkan huru hara hari kiyamat dan disingkapkannya al-khaatimah (kesudahan setiap insan) yaitu firman Allah Ta’ala,”Dan ketika api neraka dinyalakan dan ketika surga didekatkan maka setiap diri akan mengetahui apa yang disediakan baginya”. (At-Takwiir 12-13-14).
Dan pada surah ‘Amma yatasaa’aluun firman Allah Ta’ala, “Pada hari dimana manusia melihat apa yang telah dikirimkan terlebih dahulu oleh kedua tangannya, dan orang-orang kafir berkata ‘wahai alangkah malang nasibku kiranya aku dapat menjadi tanah saja’”. (An-Naba 40).
Dan firman Allah Ta’ala, “Dan tada dapat berbicara kecuali orang yang telah diberi izin oleh Yang Maha Pemurah dan mengetakan dengan yang sebenarnya”. (An-Naba 38).
Dan AL-Qur’an mulai dari awal hingga akhir selalu mempertakutkan kepada orang yang membacanya dengan pemahaman. Dan jikalau tidak ada dalam Al-Qur’an selain firman-Nya, “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat dan beriman dan beramal shaleh kemudian dia itu mengikuti jalan yang benar”. (Thaha 82), niscaya semua itu mencukupi karena Ia menggantungkan adanya ampunan dengan empat syarat yang lemah bagi hamba untuk memenuhi amasing-masing dari syarat itu. Dan yang paling keras padanya adalah firman-Nya “Adapun orang yang bertaubat dan beriman dan beramal shalih maka diharapkan ia berada bersama orang-orang yang beruntung”. (Al-Qashas 67). Dan firman-Nya, “Karena Allah hendak menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka”. (Al-Ahzab 8). Dan firman-Nya ,”Kami akan bertindak kepadamu wahai tsaqalain –Jin dan Manusia”. (Ar-Rahman 31). Dan firman-Nya “Apakah mereka merasa aman dari rencana Allah, dan tidaklah merasa aman dari rencana Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (Al-A’raf 99). Dan firman Allah Ta’ala, “Demikianlah Tuhanmu apabila menghukum negeri-negeri yang penduduknya melakukan kezaliman, sesungguhnya hukuman Tuhanmu sangatlah pedih dan keras”. (Huud 102). Dan firman-Nya, “Pada hari dimana Kami kumpulkan orang-orang yang bertakwa sebagaimana menyambut perutusan. Dan Kami halau orang-orang yang bebuat jahat ke neraka jahanam secara kasar”. Dan firman-Nya , “Dan tiada seorangpun dari kamu yang tidak masuk ke dalamnya. Itulah keputusan Tuhanmu yang tak dapat dihindarkan”. (Maryam 71). Dan firman Allah Ta’ala, “Berbuatlah sekehendak hatimu sesungguhnya Ia melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (Fushilat 40). Dan firman-Nya, “Barang siapa yang menginginkan keuntungan akhirat, maka akan Kami tabah keuntungannya. Dan barang siapa yang menginginkan keuntungan dunia niscaya akan Kami berikan keuntungan itu kepadanya akan tetapi diakhirat kelak ia tiada mendapat bagian”. (Asy-Syura 20). Dan firman-Nya, “Barang siapa yang berbuat kebaikan meskipun sebesar zarrah maka ia akan melihat hasil perbuatanya. Dan barang siapa yang berbuat kejahatan meskipun sebesar zarrah niscaya ia akan melihat hasil perbuatannya”.(Az-Zilzal 7-8). Dan firman Allah Ta’ala, “dan Kami datang (dengan) sengaja kepada pekerjaan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan debu yang berterbangan”. (Al-Furqan 23). Dan demikian pula firman Allah Ta’ala, “Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan berwasiyat satu sama lain dengan kebenaran dan mewasiyatkan dengan kesabaran. (Al-Ashr 1-2-3).
Maka inilah empat syarat untuk dapat terlepas dari kerugian. Sesungguhnya takutnya para nabi, bersama dengan ni’mat-ni’mat yang berlimpah kepada mereka adalah dikarenakan mereka tidak merasa aman dari rencana Allah Ta’ala. Dan tidak ada yang merasa aman dari rencana Allah selain orang-orang yang merugi. Hingga diriwayatkan bahwasanya Nabi dan Jibril AlaiHimassalaam menangis berdua dikarenakan takut kepada Allah Ta’ala. Maka berfirmanlah Allah Ta’ala, “Mengapa kalian berdua menangis ? Sungguh Aku telah memberikan keamanan kepada kamu berdua”. Maka keduanya menjawab, “Dan siapakah yang dapat merasa aman dari rencana-Mu?” Keduanya, karena mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu hanya Dia lah yang mengetahui hal yang ghaib sedang keduanya tidak mengetahui kesudahan dari segala urusan sehingga tidak merasa aman. Adanya firman Allah Ta’ala Telah Aku amankan kalian berdua, maka boleh jadi itu suatu ujian atau cobaan kepada mereka dan rencana bagi keduanya. Sehingga apabila tenaglah ketakutan keduanya maka tampaklah bahwa keduanya telah merasa aman dari rencana Allah Ta’ala dan apa yang dipenuhinya dari perkataannya.
Seperti halnya Nabi Ibrahim AS ketika di letakkan di dalam meriam (manjaniq) beliau berkata, “hasbiyaLlah” artinya, “Cukuplah bagiku pertolongan Allah”. Dan adalah do’a ini termasuk doa yang besar. Maka Nabi Ibrahim itu dicoba dan dilawankan dengan Jibril AS di udara (setelah meluncur dari manjanik) Jibril AS berkata, “apakah engkau mempunyai hajat ?” Nabi Ibrahim menjawab, “Adapun kepada engkau maka tidak ada hajat”. Maka jawaban itu adalah untuk memenuhi hakikat ucapannya, HasbiyaLlah- Cukuplah Allah bagiku.
Allah Ta’ala menerangkan yang demikian itu dengan firman-Nya, “Dan Ibrahim yang memenuhi (kewajibannya). (An-Najm 37). Artinya dengan yang diharuskan oleh ucapannya : HasbiyaLlah
Dan seperti yang demikian ini dikhabarkan oleh Allah Ta’ala dari hal Nabi Musa AS dengan firman-Nya, “Keduanya (Harun dan Musa) berdo’a, Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa dia (fir’aun) terlebih dahulu bersedia menentang kami atau dia melakukan kekejaman diluar batas. Allah berfirman, ‘Janganlah kalian berdua takut, sesungguhnya Aku beserta kalian berdua. Aku mendengar dan Aku melihat’”. (Thaha45-46).
Bersamaan ketika tukang-tukang sihir melemparkan sihir mereka lalu timbul ketakutan pada diri Nabi Musa AS karena tidak merasa aman dari rencana Allah Ta’ala dan meragukan urusan kepadanya. Sehingga Allah Ta’ala membaharukan keamanan kepadanya dengan firman-Nya,”Janganlah takut sesungguhnya engkau lebih tinggi”. (Thaha 68).
Dan ketika melemah kekuatan kaum muslimin pada perang badar, Nabi SAW berdo’a “Yaa Allah jika binasa pasukan ini niscaya tidak ada lagi di muka bumi orang yang menyembah-Mu”. Maka berkatalah sahabat Abu Bakar RA, “Biarlah Tuhan Engkau memberi pertolongan bagi engkau sesungguhnya Ia memenuhi begi Engkau akan apa yang dijanjikan-Nya”. Dan adalah maqam Abu Bakar As-Shidiq adalah maqam percaya dengan janji Allah. Dan maqam RasuliLlah SAW adalah maqam (kedudukan) takut akan rencana Allah-dan ini lebih sempurna karena yang demikian ini tiada timbul selain dari kesempurnaan ma’rifah terhadap rahasia-rahasia Allah Ta’ala dan ketersembunyian af’al-Nya dan arti dari sifat-sifat-Nya yang diibaratkan dari sebagian apa yang timbul dari rencana itu. Dan tiada seorangpun dari manusia yang mengetahui sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan barang siapa yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat ma’rifah dan singkat ma’rifahnya daripada meliputi hakikat segala urusan niscaya sudah pasti bersangan ketakutannya. Karena itulah berkata Al-Masiih AS tatkala ditanya kepadanya, “Dan ingatlah ketika Allah berkata kepada ‘Isa bin Maryam, ‘Wahai ‘Isa apakah engkau berkata kepada manusia ambilah aku dan ibuku sebagai tuhan selain Allah ?”. Isa menjawab,Maha Suci Engkau, tidaklah aku mengatakan apa yang bukan menjadi hakku untuk mengatakannya. Jika aku mengatakannya maka sesungguhnya Engkau mengetahunya. Engkau mnegetahui apa yang ada pada diriku dan aku tiada mengetahui apa yang ada pada-Mu”. (Al-Maidah 116).
Dan firman-Nya,”Jika mereka Engkau siksa sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Bijaksana”. (Al-Maidah 118). Maka Nabi Isa mneyerahkan urusan kepada kehendak-Nya dan mengeluarkan dirinya secara keseluruhan dari kejelasan. Karena ia mengetahui bahwa tidak ada suatu urusan baginya. Dan karena sesungguhnya semua urusan itu terkait dengan kehendak Allah Ta’ala dengan ikatan yang keluar dari batas yang dapat diketahui dengan akal dan kebiasaan. Oleh karena itu tidaklah mungkin menetapkan hukum atasnya dengan qiyas , tebakan dan kiraan. Terlebih lagi dengan pentakwilan dan keyakinan. Inilah yang meyakinkan hati para ‘arifiin. Karena sesungguhnya bahaya besar adalah terkaitnya urusan engkau dengan kehendak orang yang tiada peduli kepada engkau. Jika berkehendak membinasakan engkau maka sesungguhnya Dia telah pernah membinasakan orang seperti engkau dalam jumlah yang tiada terhingga banyaknya. Dan tidak henti-hentinya menghukum mereka dengan bermacam-macam siksaan dan penyakit. Dan bersama yang demikian Dia mendatangkan penyakit pada hati mereka dengan kekufuran dan kemunafikan kemudian mengabadikan siksaan tersebut selama-lamanya, kemudian Ia mengkhabarkan mereka dengan firman-Nya, “Jika Kami kehendaki nisyaca kami datangkan kepada setiap jiwa akan petunjuknya. Akan tetapi perkatakaan daripada-Ku akan terjadi, akan Aku penuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia seluruhnya. (As-Sajdah 13). Dan firman Allah Ta’ala, “Telah tetap firman Tuhanmu, akan Aku penuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia bersama-sama”. (Hud 119).
Maka bagaimana tidak merasa takut, bahkan tetah pasti benar firman Tuhan pada zaman azali dan tidak dapat diharapkan dapat mengetahuinya. Dan jikalau urusan itu terjadi baru saja, niscaya harapan – harapan akan dapat membantu kepada daya upaya kepadanya. Akan tetapi tidaklah ada selain hanya berserah diri. Dan penyelidikan yang tersembunyi pada yang lalu itu termasuk sebab-sebab zahiriyah yang terang kepada hati dan anggota badan. Maka barang siapa yang dimudahkan sebab-sebab kejahatannya, dan terhalangnya antara dia dengan sebab-sebab kebajikan dan semakin kokoh hubungannya dengan dunia, maka seakan-akan tersingkap baginya akan rahasia barang yang lalu yang tealh ditetapkan kecelakaan atas dirinya. Karena setiap manusia itu dimudahkan kepada (untuk) apa ia diciptakan.
Dan apabila semua kebajikan dimudahkan, dan hati secara keseluruhan putus dengan dunia, zahir bathinya menghadap kepada Allah Ta’ala niscaya yang demikian ini akan meringankan perasaan takut. Dan apabila yang demikian ini terus menerus, maka akan daapt dipercayakan. Akan tetapi bahaya al-khaatimah dan sukarnya untuk tetap yang demikian itu akan menambah berkobarnya api ketakutan dan tidak mungkin dapat dipadamkan.
Bagaimana dapat merasa aman dari berubahnya keadaan, sedangkan hati orang mukmin itu berada diantara dua Jari dari Jari-Jari Dzat Yang Maha Pengasih. Dan hati itu lebih keras berbolak-baliknya daripada kuali dalam gelagaknya. Dan telah berfirman Dzat Yang Membolak-balikkan hati Azza wa Jalla,”Sesungguhnya terhadap siksaan Tuhan mereka, tidada seorangpun patut merasa aman”. (Al-Ma’arij 28).
Maka sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang merasa aman sementara ia diseru untuk berhati-hati. Jikalau Allah Ta’ala tidak berbelas kasih kepada hamba-hamba-Nya yang ma’rifah (‘arifiin) yaitu dengan disemangatkannya hati mereka dengan semangat harap / raja’ niscaya terbakarlah hati mereka dikarenakan api ketakutan. Maka sebab-sebab harap adalah rahmat bagi orang-orang yang telah dikhususkan oleh Allah Ta’ala. Dan sebab-sebab ghaflah (kelalaian) adalah rahmat bagi umumnya makhluk dari satu segi. Jikalau terbukalah tabir penutup, niscaya binasalah diri dan terpotong-potong hati dikarenakan takut kepada Dzat Yang Membolak-balikkan hati.
Sebagian ‘arifiin berkata, “Jikalaulah diantara aku dan orang yang telah aku kenal akan ketauhidannya lima puluh tahun terdinding oleh suatu tiang kemudian ia mati niscaya aku tidak dengan ketauhidannya karena aku tidak mengetahui apa yang tampak padanya dari berbolak-baliknya hati.
Sebagian ‘arifiin berkata, “Jikalau kesyahidan itu ada di pintu depan rumah dan mati dalam islam itu ada di pintu kamar niscaya aku pilih mati dalam islam karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada hatiku antara pintu kamar dan pintu rumah. Dan adalah sahabat Abu Darda’ bersumpah atas nama Allah Ta’ala, “Tidak seorangpun yang merasa aman kepada imannya dari tercabutnya iman itu ketika mati, niscaya akan tercabut. Dan adalah Sahal berkata, “Takutnya golongan shidiqiin terhadap suu-ul khatimah / buruk kesudahan itu terjadi dalam setiap langkah dan pada setiap gerak. Dan mereka itulah orang yang telah disifatkan oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya, “Dan hati mereka itu takut”. (Al-Mukminuun 60).
Tatkala Sufyan Ast-Tsauri menghadapi ajal maka beliau menangis dan gundah. Lalu dikatakan kepadanya, “Wahai Abu AbdiLlah, haruslah engkau berharap/raja’ karena sesungguhnya ampunan Allah Ta’ala itu lebih besar dari pada dosa engkau”. Beliau menjawab, “Adakah (kau lihat) aku menangis karena dosaku ? Jika aku mengetahui bahwa aku akan mati dalam tauhid, niscaya aku tidak peduli bila bertemu dengan Allah Ta’ala dengan membawa dosa sebesar gunung”.
Dan diriwayatkan dari sebagian orang yang ahli takut kepada Allah Ta’ala, bahwa ia berwasiyat kepada sebagian teman-temannya. Ia berkata, “Apabila aku mendekati ajal, maka duduklah engkau di dekat kepalaku. Apabila engkau melihat bahwa aku mati dalam keadaan bertauhid, maka ambilah seluruh hartaku milikku dan belilah dengan harta itu buah lauz (semacam buah-buahan) dan gula dan bagikan semuanya kepada anak-anak penduduk negeri ini. Dan katakanlah ‘ini adalah pesta perkawinan orang yang terlepas dari bahaya. Jika aku mati tidak dalam keadaan bertauhid, maka beritahukan kepada semua orang tentang hal ini agar mereka tidak tertipu ketika melihat jenazahku. Supaya hadir pada jenazahku orang-orang yang suka kepadaku, mengetahuinya dengan betul supaya tidak melekat padaku riya’ setelah wafat nanti’”. Temannya bertanya, “Dengan apa aku mengetahui tanda-tanda itu ?” Lalu ia menyebutkan tanda-tandanya maka teamnnya itu melihat tanda tauhid ketika meninggal. Maka ia membeli gula dan buah lauz lalu membagikannya.
Dan adalah Sahal berkata, “Seorang murid itu taku jika ia dicoba dengan maksiyat. Dan ‘aariif itu takut jika dicoba dengan kekufuran”. Abu Yazid berkata, “Jika aku pergi menuju masjid, maka seolah-olah pada pinggangku ada ikat pinggang. Aku takut jika aku dibawa ke gereja dan tempat api (tempat ibadah orang majusi) dampai aku masuk ke dalam masjid maka terputuslah ikat pinggang itu. Dan yang seperti ini terjadi padaku setiap hari lima kali”.
Diriwayatkan dari Isa Al-Masiih AS bahwa Ia berkata, “wahai para Hawariyyiin, kamu sekalian takut kepada maksiyat dan kami para Nabi takut kepada kufuur. Dan diriwayatkan dalam akhbaar /kisah para nabi AS. Bahwa ada seorang nabi yang mengadu kepada Allah Ta’ala tentang kelaparan, kudis dan tidak berpakaian selama bertahun-tahun, dan baju yang ia pakai adalah baju shuf (pakaian dari bulu domba). Maka Allah Ta’ala memberikan wahyu kepadanya, “Wahai hamba-Ku, tidakkah engkau tidak ridho jika Aku menjaga hatimu dari kufuur terhadap-Ku sehingga engkau meminta dunia kepadaku ?” Maka ia mengambil debu dan menaruh di atas kepalanya (sebagai rasa penyesalan) kemudian berkata, “Ya saya senang wahai Tuhanku, karena itu peliharalah aku dari kekufuran.”
Apabila demikian takutnya para ‘arifiin itu serta teguhnya tapak kaki mereka dan kuatnya iman mereka terhadap suu’ul khaatimah maka bagaimana orang-orang yang lemah tidak merasa takut. Dan bagi buruk kesudahan (suu’ul khaatimah) ada beberapa sebab yang mendahului dari kematian seperti bid’ah, nifaq, dan sombong/takabur dan sejumlah sifat-sifat tercela. Dan karena itu bersangatan takutnya para sahabat dari sifat nifaq sehingga Al-Hasan berkata, “Jika aku mengetahui bahwa diriku telah terbebas dari sifat nifaq, niscaya lebih aku sukai daripada terbitnya matahari.
Dan tidaklah mereka memaksudkan dengan nifaq itu sesuatu yang berlawanan dari pokok iman, akan tetapi yang dimaksudkan ialah apa yang berkumpul serta pokok iman itu lalu orang itu menjadi muslim yang munafik. Dan bagi nifaq itu memiliki banyak tanda-tanda. Telah bersabda RasuluLlah SAW, “Empat perkara apabila terdapat pada diri seseorang maka ia itu munafik sejati meskipun ia shalat, puasa dan mengaku kalau dia itu muslim. Dan jika ada padanya satu perkara dari empat itu maka pada dirinya ada satu cabang dari nifaq hingga ia mau meninggalkannya. Empat perkara itu adalah : satu, orang yang apabila berbicara ia berbohong, dua apabila berjanji ia mengingkari, tiga apabila diberi amanah ia berkhiyanat, empat apabila bermusuhan ia berbuat zalim. Dan pada kata yang lain waidza ‘aahada ghadara, apabila berjanji ia mengingkari”.
Dan para sahabat dan tabi’in telah menafsirkan nifaq dengan penafsiran-penafsiran yang tidak terlepas sedikitpun dari nifaq itu selain dari orang shidiq. Karena Al-Hasan berkata, “Dan termasuk sebagian dari nifaq adalah berlainan antara bathin dengan lahir, berlainan antara lisan dengan hati, berlainan antara yang masuk dan yang keluar”. Siapakah yang terlepas dari pengertian-pengertian ini bahkan semua hal tersebut menjadi kesukaan yang biasa diantara manusia dan manusia itu lupa bahwa itu adalah sesuatu yang munkar secara keseluruhan. Bahkan berlaku pula hal demikian pada masa yang dekat dengan zaman kenabian Nabi Muhammad SAW. Maka bagaimanakah disangkakan pada zaman kita sekarang ini ? Sehingga sahabat Hudzaifah RA berkata, “Jika ada seseorang berkata dengan satu kalimat pada zaman RasuliLlah SAW maka jadilah ia munafik disebabkan oleh perkataannya itu, dan sekarang ini aku mendengarnya dari salah satu diantara kamu sekalian sepuluh kali dalam sehari”.
Dan adalah para sahabat RasuluLlah SAW berkata, “ Sesungguhnya kamu sekalian melakukan amal perbuatan yang lebih halus daripada sehelai rambut menurut pandangan kamu, sedang kami menghitungkannya sebagai dosa besar pada zaman RasuliLlah SAW. Sebagian mereka berkata, “diantara tanda-tanada nifaq adalah bahwa enfkau tidak suka dari orang lain akan perbuatan yang engkau kerjakan seperti perbuatan itu. Bahwa engkau sukai sesuatu dari kezaliman dan engkau marah kepada sesuatu dari kebenaran”. Dan dikatakan, termasuk nifaq adalah apabila ia dipuji atas sesuatu yang tidak ada padanya maka hatinya menjadi ta’jub karenanya.
Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Umar RA, “Sesungguhnya kami memasuki tempat amir-amir dan kami membenarkan perkataan mereka. Dan apabila kami keluar dari mereka maka kami membicarakan tentang hal mereka. Ibnu Umar berkata,”Kami menghitungnya yang demikian ini pada zaman RasuliLlah SAW sebagai nifaq. Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar mendengar seseorang mencaci Al-Hajjaj dan menuduhnya. Maka berkata Ibnu Umar, Tidakkah engkau tahu jika Al-Hajjaj berada di sini apakah engkau juga akan berbicara seperti apa yang engkau ucapkan padanya ?”. Pria itu menjawab, “Tidak”. Ibnu Umar berkata, “Kami menghitungkan yang demikian ini sebagai nifaq pada zaman RasuliLlah SAW.” Dan yang lebih berat dari yang demikian adalah apa yang diriwayatkan bahwa ada segolongan orang duduk-duduk di depan pintu Hudzaifah, mereka menantikan menunggunya dan membicarakan sesuatu tentang keadaannya. Tatkala Hudzaifah keluar menemui, mereka langsung diam karena malu kepadanya. Maka berkatalah Hudzaifah, “Berkatalah sebagaimana apa yang kamu perbincangkan”. Dan merekapun diam. Maka berkatalah Hudzaifah, Kami menghitungkannya yang demikian ini sebagai nifaq di zaman RasuliLlah SAW. Dan inilah Hudzaifah yang telah diistimewakan dengan ilmu nifaq dan sebab-sebab nifaq. Dan dia telah berkata, “Akan datang kepada hati suatu saat yang penuh dengan iman sehingga tidak ada tempat bagi nifaq walau sebesar tempat tusukan jarum penjahit. Kemudian datang kepada hati itu suatu saat yang penuh dengan nifaq sehingga tidak ada tempat bagi iman walau sebesar tempat tusukan jarum penjahit.
Dengan ini sungguh kamu telah mengetahui bahwa takutnya para ‘arifiin itu dari buruknya suu’ul khatimah. Dan sebabnya takut itu adalah hal-hal yang mendahuluinya. Diantaranya adalah perbuatan-perbuatan bid’ah, dan diantaranya adalah perbuatan maksiyat, dan diantaranya adalah nifaq. Dan kapankah seorang hamba dapat terlepas dari semua itu. Apabila ia berperasangka bahwa ia telah terlepas maka sesungguhnya ia telah nifaq, karena dikatakan Barang siapa yang merasa aman dari nifaq maka sesungguhnya ia adalah munafiq. Dan sebagian mereka berkata kepada sebagian orang-orang ‘aariif. “Aku taku akan nifaq pada diriku”. Maka ia menjawab, “Jika aku munafik, niscaya aku tidak takut kepada kemunafikan.”
Maka senantiasalah orang ‘aariif itu antara menoleh kepada masa lalu dan pada al-khaatimah (kesudahan) karena takut kepada keduanya. Karena itulah RasuluLlah SAW bersabad, “Hamba yang beriman itu berada diantara dua ketakutan, antara waktu yang telah lalu yang tidak diketahui apa yang diperbuat Allah padanya. Dan antara waktu yang masih ada yang tidak diketahuinya apa yang dikehendaki (ditetapkan) oleh Allah kepadanya. Maka demi diriku yang berada di Tangan-Nya, tidaklah sesudah mati itu tempat kepayahan dan tidak ada sesudah dunia itu tempat tinggal selain surga atau neraka”.
0 komentar:
Posting Komentar