Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (QS. At-Thalaq 3).
Allah SWT juga berfirman, “Hanya kepada Allah hendaklah orang-orang yang beriman mneyerahkan diri”. (QS. Ali Imran 160).
Di dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman, “Hanya kepada Allah hendaklah kamu sekalian menyerahkan diri jika kamu sekalian adalah orang – orang yang beriman”.
Dari AbduLlah bin Mas’ud diceritakan bahwa RasuluLlah SAW bersabda, “Diperlihatkan kepada saya berbagaia umat yang berkumpul. Kemudian saya melihat umatku memenuhi lembah dan gunung. Mereka jumlahnya banyak dan kehebatannya mengagumkan saya. Setelah itu saya ditanya, ‘Apakah engkau rela ?’. Saya menjawab ‘ya’. Bersama mereka terdapat 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka tidak menipu, mereka tidak menghambur-hamburkan harta, dan mereka tidak mencuri. Kepada Tuhannya mereka menyerahkan diri”.
‘Ukasyah bin muhsin Al-Asadi kemudian berdiri seraya berkata, “Wahai RasuluLlah, berdoalah kepada Allah SWT agar saya dijadikan diantara mereka.”
“Yaa Allah jadikanlah ‘Ukasyah termasuk diantara mereka”. Doa RasuluLlah. Yang lainnya juga berdiri seraya mengatakan, “Berdoalah kepada Allah agar saya juga dijadikan diantara mereka”.
“’Ukasyah telah mendahuluimu”. Jawab RasuluLlah.
Abu Ali Muhammad Ar-Rudzabaari mengatakan bahwa saya peranah meminta sesuatu kepada Umar bin Sinan.
“Berceritalah kepadaku tentang Sahal bin AbdulLah,” Pintaku.
“Sahal telah mengatakan bahwa tanda orang yang bertawakal ada tiga, yaitu tidak meminta, tidak menolak, dan tidak memakan”.
Abu Musa Ad-Dubaili mengatakan tentang abu Yazid Al-Bustami yang pernah dimintai keterangan tentang tawakal.
“apa tawakal itu ?”
“Menurutmu sendiri apa ?”
“Seandainya ada hewan yang galak dan ular berbisa berada di sebelah kanan dan kiri kakimu, engkau tidak akan berubah”.
“Ya, jawabanmu mendekati benar.” Jelas Abu Yazid. “Hanya saja seandainya ahli surga diberikan kenikmatan di dalam surga dan ahli neraka disiksa di dalam neraka lantas engkau membedakan antara keduanya, maka engkau tidak termasuk kelompok orang bertawakal”.
Menurut Sahal bin AbduLlah , permulaan tempat dalam penyerahan diri kepada Allah adalah seorang hamba harus berada di hadapan Allah SWT seperti orang meninggal dunia yang berada di hadapan orang yan memandikannya. Dia dapat membolak balik sekehendak hatinya. Tidak ada gerakan dan tidak ada pengaturan. Menurut Hamdun Al-Qashar yang dimaksud tawakal adalah berpegang teguh kepada Allah SWT.
Seorang laki-laki bertanya kepada Hatim Al-Asham, “Dari mana engkau makan ?”. Dia menjawab dengan mengutip firman Allah, “Kepunyaan Allah perbendaharaan langit dan bumi tetapi orang-orang munafik tidak mengerti”. (QS. Al-Munafikuun 7).
Perlu diketahui bahwa tempat tawakal adalah berada di dalam hati. Gerakan yang dilakukan dengan anggota lahir tidak meniadakan tawakal yang dilakukan dengan anggota hati. Terlebih lagi seorang hamba yang menyatakan bahwa ketentuan hidup adalah semata-mata dari Allah SWT. Apabila ada sesuatu yang sulit, maka itu karena ketentuanNya. Apabila sesuatu itu relevan, maka itu karena kemudahanNya.
Anas bin Malik mengatakan, “seorang laki-laki datang keada RasuluLlah SAW dengan membawa unta, dia bertanya, “Yaa RasuluLlah apakah unta ini saya tinggalkan dan saya bertawakal ?”. Beliau menjawab, “Ikatlah dan bertawakalah”.
Menurut Ibrahim Al-Khawash, barang siapa yang tawakalnya benar terhadap dirinya sendiri, maka tawakalnya juga benar terhadap orang lain. Bisyr Al-hafi mengatakan, “Salah seorang ulama mengatakan, ‘Saya bertawakal kepada Allah SWT sedangkan orang lain berbohong kepadaNya. Seandainya ia bertawakal kepada Allah SWT, maka pasti ia rela terhadap apa ytang dikerjakan (dikehendaki) oleh Allah SWT.”
Yahya bin Muadz pernah ditanya, “Kapan seorang laki-laki dianggap tawakal ?”.
“Apabila ia rela kepada Allah SWT”.
Ibrahim AL-Khawas mengatakan, “Suatu hari saya berjalan di daerah padang pasir. Tiba-tiba ada suara menanggilku. Saya menoleh ke belakang, ternyata ada seorang arab dusun berjalan seraya mengatakan, “Ya Ibrahim, tawakal itu ada di hadapan kami. Oleh karena itu tinggalah bersama kami sehingga tawakalmu menjadi benar. Apakah engkau tidak tahu bahwa engkau sangat berharap ingin memasuki kota yang terdapat berbagai makanaan dan mengantarkanmu kepada pemukiman. Potonglah harapan untuk tinggal di kota itu dan bertawakalah”.
Ibnu Atha’ pernah ditanya tentang hakikat tawakal. Dia menjawab, Keragu-raguan tidak akan muncul dalam dirimu yang menyebabkan engkau sangat susah. Oleh karena itu engkau selalu memperoleh hakikat ketenangan menuju pada kebenaran yang engkau tempuh.”
Menurut Ibnu Nashr As-Siraj Arth-Thuusi bahwa syarat tawakal sebagaimana yang diungkapkan oleh Asbu Thurab An-Naskhsyabi adalah melepaskan anggota tubuh dalam penghambaan, mengantungkan hati dengan ketuhanan, dan bersikap merasa cukup. Apabila dia diberikan sesuatu maka ia bersyukur. Apabila tidak, maka ia bersabar. Menurut Dzunun Al-Mishri yang dimaksud tawakal adalah meninggalkan hal-hal yang diatur oleh nafsu dan melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Seorang hamba kana selalu memperkuat tawakalnya apabila megerti bahwa Allah SWT selalu mengetahui dan melihat segala sesuatu.
Abu Ja’far bin Farj mengatakan, “Saya pernah melihat seorang laki-laki yang mengetahui unta A’isyah karena ia sangat cerdik. Ia dipukul dengan cambuk. Saya bertaya kepadanya , “Dalam keadaan bagaiamana sakitnya pukulan lebih mudah diketahui ?”. Dia menjawab, Apabla kita dipukul karena dia, maka tentu dia mengetahuinya”.
Husin bin Manshur pernah bertanya kepada Ibrahim Al-Khawash, “Apa yang pernah egkau kerjakan dalam perjalanan dan meninggalkan padang pasir ?”
“Saya bertawakal dengan memperbaiki diriku sendiri”.
Husin bin Manshur mengatakan, “Apakah engkau telah melenyapkan umurmu di dalam umur bathinmu ?”
Manurut Abu Nashr As-Siraj, Ath-Thuusi yang dimaksud tawakal sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Bakar Ad-Daqaq adalah menolak kehidupan pada masa sekarang dan menghilangkan cita-cita pada masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sahal bin AbdulLah bahwa yang dimaksud tawakal adalah melepaskan segala apa yag dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT. Menurut Abu Ya’qub Ishaq An-Nahr Jauzi, yang dimaksud tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah SWT, dengan sebenarnya sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim pada saat Allah SWT berfirman, kepada Malaikat Jibril; AS “Ibrahim telah berpisah (bercerai) denganmu. Dirinya telah hilang bersama Allah SWT oleh karena itu tidak ada yang mengetahui orang yang bersama Allah kecuali Allah SWT”.
Dzunun Al-Mishri pernah ditanya oleh sesorang, “Apa yang dimaksud dengan tawakal. ?”
Dijawab, “Melepaskan hal-hal yang bersifat dipertuan dan meninggalkan berbagai sebab”.
“Berilah saya tambahan penjelasan.”
“Mempertemukan diri dengan hal-hal yang bersifat ibadah dan mengeluarkannya dari hal-hal yang bersifat rububiyah”.
Hamdun Al-Qashar juga pernah ditanya tentang tawakal, dia menjawab, “Apabila engkau mempunyai sepuluh ribu dirham, maka engkau berkewajiban menanggung hutang yang jika engkau meninggal dunia, engkau tidak akan aman dari hutang yang menjadi tanggunganmu. Apabila engkau mempunyai hutang 10 dirham,dan masih belum membayar, maka engkau jangan berputus asa dan memohonlah kepada Allah SWT agar segera terlunasi. “ Begitu juga AbduLlah Al- Quraisyi pernah ditanya oleh seseorang tentang tawakal, dia menjawab, “Selalu berhubungan dengan Allah SWT dalam segala hal”. Orang itu mengatakan, ‘berilah diriku tambahan penjelasan”. Dia menjawab, “Meninggalkan segala sebab yang akan menimbulkan sebab lain, sehingga Dzat Yang Maha Pengatur dapat meluruskannya.”
Menurut Ahmad bin Isa Al-Kharaz, yang dimaksud tawakal adalah gelisah tanpa tenang dan tenang tanpa gelisah. Menurut yang lain, yang dimaksud tawakal adalah keseimbangan, baik ketika mendapatkan rejeki yang banyak maupun sedikit. Menurut Ahmad bin Masruk, yang dimaksud tawakal adalah tunduk dalam melaksanakan keputusan dan hukum. Menurut Abu Utsman Sa’id Al-Hairi yang dimaksud tawakal adalah merasa cukup terhadap apa yang diberikan Allah SWT dengan berpegang teguh kepada-Nya. Sedangkan menurut Husain bin Manshur yang dimaksud orang yang benar-benar tawakal adalah orang yang tidak makan di suatu tempat yang sebenarnya dia lebih berhak.
Umar bin Sinan mengatakn, “Ibrahim Al-Khawas ketika lewat bertemu kami, kami mengatakan, ‘ceritakanlah kepada kami sesuatu yang mengagumkan sebagaimana yag engkau lihat di dalam perjalananmu.’ Dia mengatakan, “Saya bertemu Nabi Khidir AS dia bertanya kepadaku tentang pergaulan dengan orang lain. Saya takut ketawakalanku akan menjadi rusak dengan ketenanganku. Oleh karena itu saya berpisah dengannya”. Dalam cerita yang lain disebutkan, Sahal bin AbduLlah pernah ditanya tentang tawakal, dia menjawab, ”Hati yang hidup dan selalu bersama Allah SWT tanpa ketergantungan”.
Saya (Syaikh Al Qusyairi) telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan., “penyerahan diri kepada Allah SWT memiliki tiga tingkat, yaitu tawakal, taslim, dan tafwidh. Orang yang bertawakal adalah orang yang merasa tenang dengan janji Allah SWT. Orang yang taslim adalah orang yang merasa cukup dengan ilmu-Nya. Sedangkan orang yang tafwidh adalah orang yang rela dengan hukum-Nya. Oleh karena itu tawakal adalah permulaan, taslim adalah pertengahan, dan tafwidh adalah akhir”. Ustadz Abu Ali juga pernah ditanya tentang tawakal dan beliau menjawab,” makan tanpa loba”.
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Pakaian bulu domba ibarat kedai, pembicaraan tentang zuhud ibarat perusahaan (pekerjaan), kedatangan khalifah ibarat sesuatu yang nampak. Semua saling bergantung. “ dalam suatu cerita, seorang laki-laki datang kepada As-Syibli. Dai mengeluh karena terlalu banyak keluarga. Syibli megatakan, “pulanglah ke rumahmu,. Barang siapa yang rizkinya tidak diserahkan kepada Allah SWT, maka singkirkanlah dia darimu”.
Sahal bin AbduLlah mengatakan, “Barang siapa mencela gerakan ibadah, maka ia mencela sunah. Barang siapa mencela tawakal, maka ia mencela iman”.
Ibrahim Al-Khawas mengatakan, “Suatu hari saya berada di jalan Makkah. Saya melihat orang yag kasar.
‘Apakah engkau jin atau manusia ?’ tanyaku.
‘Saya adalah jin’
‘Engkau hendak ke mana ?’
‘Saya hendak ke Makkah’.
‘Apa engkau tidak membawa bekal ?’
‘Ya saya bepergian bersama orang yang tawakal’.
‘Apakah tawakal itu ?’
‘Berpegang teguh kepada Allah SWT.’
Ubrahim Al-Khawash selali mempertajam tawakalnya. Dia membawa jarum, benang, wadah air kecil, dan potongan kain. Dia ditanya, “Wahai Abu Ishaq, kenapa engkau membawa ini, sedangkan engkau tidak membawa apa-apa’.
Dia menjawab, “Ini merupakan perumpamaan tawakal yang tidak akan rusak karena Allah SWT memberikan bagian kepada kita. Orang fakir hanya membawa satu pakaian. Terkadang pakaian itu robek. Apabilaia tidak membawa jarum dan benang, maka auratnya akan kelihatan dan shalatnya akan batal. Apabila ia tidak membawa wadah air kecil, maka bersucinya akan batal. Apabila engkau melihat orang fakir tanpa membawa wadah air kecil , jarum dan benang, maka perhatikanlah ketika ia shalat”.
Syaikh AL-Qusyairy berkata, “Saya pernah mendengar Syaikh Abu ALi Ad-Daqaq berkata, ‘tawakal adalah sifat orang mukmin, taslim adalah isfat para wali, dan tafwidh adalah sifat orang-orang yang bersatu dengan Allah SWT. Demikian juga , tawakal adalah sifat orang awam, taslim adalah sifat orang khawash, dan tafwidh adalah sifat orang khawashl khawas.” Oleh karena itu dia mengatakan, tawakal adalah sifat para Nabi, Taslim adalah sifat Nabi Ibrahim, dan tafwidh adalah sifat Nabi Muhammad SAW.
Abu Ja’far Al- Hadad mengatakan, “Saya pernah tinggal / hidup kurang lebih selama sepuluh tahun. Saya selalu bertawakal, bekerja di pasar setiap hari. Mengambil upah dan tidak pernah masuk WC umum. Selain itu saya selalu berkumpul orang-orang fakir di daerah Syuniziyah dan selalu memperhatikan keadaanku”.
Hasan bin Abi Sinan mengatakan, Saya telah melaksanakan empat kali haji dengan jalan kaki dan selalu bertawakal. Suatu saat kakiku tertusuk duri. Saya ingat bahwa diriiku dimaksudkan untuk bertawakal. Duri itu kemudian saya cabut dan saya masukkan ke dalam tanah kemudian saya berjalan seperti semula.” Abu Hamzah juga pernah mengatakan, “Saya merasa malu kepada Allah SWT memasuki daerah padang pasir dalam keadaan kenyang. Saya mempercayakan diriku bertawakal agar perjalananku tidak membawa bekal kenyang yang sedang saya persiapkan.”
Hamdun Al-Qashar pernah ditanya tentang tawakal, dia menjawab, “Tawakal memiliki kedudukan/derajad tinggi yang belum pernah saya capai. Bagaimana tawakal akan dibicarakan oleh orang yang keadaan imannya belum sempurna ?”
Menurut sebagian ulama, orang yang bertawakal adalah ibarat anak kecil yang tidak megerti apa-apa. Dia hanya tinggal di tetek (susu) ibunya. Demikian juga orang yang bertawakal. Dia tidak akan medapatkan petunjuk kecuali kembali kepada Allah SWT.
Sebagian ulama mengatakan, “Saya pernah berada di daerah padang pasir. Kafilah telah datang. Saya melihat seseorang di depanku. Saya dengan segera menuju ke arah orang itu. Tiab-tiba ada seorang perempuan membawa tongkat. Dia berjalan dengan sangat memprihatinkan. Saya menduga dia adalah buta. Saya masukkan tanganku ke dalam saku dan saya mengeluarkan 20 dirham seraya mengatakan, “Ambilah dan tinggalah di sini sampai kafilah itu datang, kemudian sewalah kafilah itu. Nanti malam datanglah kepadaku agar saya mengatur (menyelesaikan urusanmu). Dia mengatakan dengan menggunakan isyarat tanganya, ‘seperti ini keadaannya di udara’. Ternyata di telapak tangannya terdapat beberapa dinar. Dia mengatakan lagi, ‘Engkau mengambil beberapa dirham dari saku, sedang saya mengambil beberapa dinar dari Yang Maha Samar (Allah SWT)’”.
Abu Slaiman Ad-Daraani pernah melihat seorang laki-laki di Makkah. Dia tidak memperoleh apa-apa kecuali setengah air zamzam. Kemudian hari telah berlalu, suatu hari Abu Sulaiman bertanya kepadanya, “Apakah engkau tahu bagaimmana seandainya zamzam itu berubah apa yang engkau minum?’.Orang laki-laki itu berdiri dan menghadapkan kepalanya. Dia menjawab, ‘Mudah-mudahan Allah SWT memberikan balasan kebaikan kepadamu yang telah memberikan petunjuk kepadaku. Sesungguhnya saya adalah orang yang mneyembah zamzam selama tiga hari dan itu telah berlalu”’.
Ibrahim Al-Khawash berkisah, di pertengahan jalan di Syam saya melihat seorang pemuda yang baik budi pekertinya. Dia bertanya kepada saya, “Apakah kamu mempunyai teman ?”
“Saya sedang lapar” jawab saya.
“Jika engkau lapar, saya sangat lapar” katanya.
Selama tiga hari kami bersama-sama, setelah itu kami mendapatkan jalan keluar.
“Mari kita pergi”. Ajak saya.
“Saya tidak ingin mengambil jalan tengah”.
“Wahai pemuda berhati-hatilah”.
“Wahai Ibrahim jangan sombong, sesungguhnya Allah SWT adalah Dzat Yang Maha melihat . apa hakmu dan dimana tawakalmu “. Kemudian ia melanjutkan, “Saya memperkecil tawakal untuk menghilangkan berbagai kesulitan yang menimpamu. Janganlah kau cela dirimu sendiri, kecuali kepada orang yang serba berkecukupan”.
Menurt satu pendapat, yang di maksud tawakal adalah menghilangkan keragu-raguan dan menyerahkan diri kepada Allah SWT. Dalam satu cerita disebutkan, sekelompok orang datang kepada Syaikh Junaid, mereka bertanya, “Di mana kami harus mencari rizki ?”
“Asalkan engkau tahu di manapun engkau boleh mencari rizki”
“kami memohon kepada Allah SWT mengenai hal itu”.
“Jiak kalian mengetahui bahwa Allah SWT melupakanmu maka ingatlah kepadaNya”.
“kami akan masuk rumah dan bertawakal”.
“Cobaan itu adalah kebimbangan”
“Bagaimana dengan daya upaya ?”
“Daya upaya harus ditinggalkan”. Jawab Syaikh Junaid.
Abu Sulaiman Ad-Daraani mengatakan kepada Ahmad bin Abul Hawari, “Wahai Ahmad, jalan munuju akhirat adalah banyak. Gurumu adalah orang yang mengetahui beberapa jalan itu kecuali tawakal. Oleh karena itu saya tidak pernah mencium baunya.
Menurut satu pendapat, yang dmaksud tawakal adalah menurut terhadap apa-apa yang telah diautur oleh Allah SWT dan menghindarkan diri dari apa-apa ang diatur oleh manusia. Menurut yang lain, yang dimaksud tawakal adalah hati yang sunyi dari pemikiran tentang hal-hal yang bertentangan dalam mencari rizki.
Hrist Al-Muhasibi pernah ditanya tentang tawakal, “Apaka tawakal itu akan diikuti oleh loba ?” dia menjawab, tawakal akan diikuti oleh beberapa pikiran melalui jalan karakter, tidak dirusak oleh sesuatu , dan sangat kuat untuk tidak menggantungkan diri kepada orang lain”.
Menurut satu cerita dituturkan bahwa Ahmad An-Nuri dalam keadaan lapar di padang pasir. Dia dipanggil oleh suatu suara, “Mana yang paling engkau sukai antara sebab dan cukup dan cukup itu sendiri ?” Dia menjawab, “Cukup, tidak ada yang melebihi darinya”. Setelah itu dia tidak makan selama tuju belas hari. Abu Ali Ar-Rudzabaari pernah mengatakan, “Apabila setelah lima hari tidak makan, orang fakir mengatakan, ‘saya lapar’, maka bawalah ia ke pasar dan suruhlah ia bekerja”’.
Menurut sautu ungkapan, Abu Thurab An-Nakhsyabi pernah melihat orang sufi yang mengulurkan tangannya pada buah semangka untuk dimakan setelah tiga hari ia belum mendapatkan makanan. Abu Thurab mengatakan kepadanya,”predikat tawasul tidak layak kau sandang, untuk itu pergilah ke pasar (untuk bekerja)
Abu Ya’qub Al-Atha Al Bashri bercerita : Pernah suatu kali saya datang ke tanah haram selama 10 hari. Saya dalam keadaan lemah, sedangkan nafsuku berbisik kepadaku. Setelah itu saya keluar ke padang pasir dengan maksud agar memperoleh sesuatu yang dapat menghilangkan kelamahanku. Di sana saya melihat buah saljanah yang terbuang, kemudian saya ambil. Hatiku sangat berduka cita, seakan-akan ada orang yang mengatakan kepadaku, ‘Engkau datang selama sepuluh hari yang pada akhirnya hanyan mendapatkan bagian buah saljana itu.” Buah itu saya lemparkan dan saya masuk ke masjid kemudian saya duduk. Ternyata di masjid saya duduk berdampingan dengan seorang laki-laki non arab, dia duduk di sampingku dan meletakkan laci.
“Ini untukmu” Katanya.
“Bagaimana engkau memberikan keistimewaan kepadaku ?”
“Kami berada di tengah laut selama sepuluh hari. Saya berada di atas kapal yang hampir tenggelam. Setiap hari dari kelompok kami bernadzar, apabila Allah SWT menyelamatkan kami semua, maka kami akan memeberikan sedekah. Sedangkan saya bernadzar apabila Allah SWT menyelamatkan diriku maka saya akan memberikan sedekah dengan benda ini kepada orang yang pertama saya jumpai dari orang-orang yang berdampingan, dan engkau adalah orang pertama yang saya jumpai. “
“Bukalah”. Pintaku kepadanya. Dia lantas membukanya, di dalamnya terdapat ka’ak yang terpupuk, buah badam yang terkupas, dan gula manis yang penuh. Setelah itu saya genggam, saya pegang dengan tangan kanan dan satu genggam saya pegang dengan tangan kiri.”
“Berikanlah sisa ini kepada putera-puteramu sebagai hadiah dariku untuk mereka”. Kataku kemudian.
Setelah itu saya bergumam pada diri sendiri, “Rezekimu datang dengan mudah kepadamu sejak sepuluh hari yang engkau sendiri mencari di padang pasir”.
Abu Bakar Ar-Razi mengatakan bahwa dia berada di samping Mimsyad Ad-Dinawari.setelah itu pembicaraan tentang hutang digulirkan oleh Mimsyad. Dia mengatakan,”Saya mempunyai hutang sehingga hatiku merasa tidak tenang. Suatu saat saya bermimpi seakan-akan ada yang mengatakan “Wahai orang yang kikir, engkau telah mengambil hak kami sejumlah ini…, engkau mengambil dan kami memberi. Engkau masih belum membayarnya, baik kepada penjual sayur, penjagal maupun kepada orang lain. “
Diriwayatkan dari Banan Al-Hammal dia berkata : Saya berada di tengah jalan Makah. Saya datang dari Mesir dengan memabwa bekal. Seorang perempuan datang kepadaku seraya mengatakan, “Wahai Banan, engkau adalah tukang pikul yang sedang memikul bekal di atas punggungmu. Engkau menduga bahwa Allah SWT tidak akan memberikan rizki kepadamu. “
“Saya telah membuang bekalku dan saya tidak makan, meskipun saya memperoleh makanan sampai tiga kali”.
Setelah itu saya menemukan gelang kaki di tengah jalan. Saya bergumam pada diri sendiri, ‘Gelang ini akan saya bawa sehingga pemiliknya datang kepadaku. Apabila ia memberikan hadiah kepadaku, akan saya tolak.’
Tiba – tiba saya berjumpa dengan perempuan itu lagi.
“Engkau adalah pedagang, engkau telah mengatakan ‘Sehingga pemiliknya datang’”. Untuk itu barang ini akan saya ambil,” Setelah berkata, ia melemparkan beberapa dirham seraya mengatakan, ‘Pergunakanlah, engkau dapat memanfaatkan dirham itu menuju tempat yang dekat dari Makkah. “
Dalam irwayat lain disebutkan bahwa Banan Al-Hammal membutuhkan seorang pelayan perempuan yang dapat melayaninya. Dia menyebarkan informasi kepada saudara-saudaranya. Mereka berkumpul dan bersepakat menetapkan harga. Mereka mengatakan bahwa suatu saat sekelompok orang akan datang dan kami akan membelinya apabila cocok. Ketika sekelompok orang itu datang, mereka sepakat untuk membeli satu pelayan perempuan.
“Perempuan ini cocok”. Guamam mereka. “Berapa harga perempuan ini ?’ Tanya mereka kepada pemiliknya.
“Pelayan perempuan ini tidak untuk dijual”.
Mereka akhirnya mendesak untuk menjual perempuan itu.
“Pelayan perempuan ini untuk Banan”. Jawab seseorang yang membawa perempuan itu. “Perempuan ini adalah hadiah dari seorang perempuan dari Samarqand. Oleh karenanya pelayan perempuan ini saya bawa untuk diberikan kepada orang yang dimaksud dan hal itu perlu saya ceritakan”. Lanjutnya.
Hasan Al-Khayyat bercerita : saya berada di samping Bisyir Al-Hafi. Suatu saat sekelompok orang datang kepadanya. Mereka memberi salam kepadanya.
“Dari mana kalian ?” tanya Bisyir
“Kami dari Syam. Kami datang ke sini untuk memberikan salam kepada tuan kemudian melaksanakan ibadah haji”.
“Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni kalian”.
“Bisakah tuan keluar melaksanakan ibadah haji bersama kami ?” pinta mereka.
“Boleh, dengan tifga syarat, yaitu kita tidak boleh membawa sesuatu, kita tidak boleh meminta sesuatu kepada orang lain, dan apabila ada orang yang memberikan sesuatu kepada kita, kita tidak boleh menerimanya”.
“Apabila kita tidak membawa sesuatu, maka kita akan tetap baik. Apabila kita tidak meminta, maka kita pun akan tetap baik. Akan tetapi apabila kita tidak mau menerima pemberian orang lain, tentu kuta tidak akan mampu”. Jawab mereka
“Kita harus bertawakal di atas bekal haji”. Jawab Bisyir. Kemudian ia menoleh kepada Hasan Al-Khayyat seraya mengatakan, “Wahai Hasan, orang fakir terbagi menjadi tiga, Pertama orang fakir yang tidak meminta. Apabila diberi ia tidak akan menerimanya. Orang fakir ini termasuk golongan ruhaniawan. Kedua, orang fakir yang tidak meminta, apabila diberi ia akan menerimanya. Orang fakir ini akan diberikan beberapa kenikmatan dan ketenangan dihadapan Tuhan. Ketiga, orang fakir yang meminta, apabila diberi ia akan menerimanya sekedar cukup, orang fakir ini tebusannya adalah sedekah”.
Hubaib Al-Ajami pernah ditanya “Kenapa engkau meninggalkan dagangan ?”
“Saya telah menemukan penjamin seperti orang kepercayaan,” jawabnya. Menurut satu cerita, ada seorang laki-laki di perjalanan. Ia membawa roti. Dia mengatakan, “Jika saya makan maka saya akan mati”. Setelah itu Allah SWT menyerahkan urusan itu kepada malaikat. Allah SWT berfirman kepadanya, “Apabila orang itu makan, maka berilah ia rizki. Apabila ia tidak makan, maka jangan kau berikan dia rizki yang lain.” Makanan itu masih tetap utuh disamping orang tersebut sampai ia meninggal dunia.
Menurut satu pendapat, barang siapa yang terlibat di medan tafwidh (penyerahan diri secara total – di atas tawakal), maka apa yang dimaksudkan akan tercapai sebagaimana pengantin perempuan yang dibawa kepada suaminya. Perbedaan antara tadhyi’ (membinasakan diri atau sikap pasrah yang dapat menyebabkan binasa) dengan tafwidh (penyerahan diri kepada Allah SWT) terletak pada kualitas iman dan keyakinan dalam pemasrahan diri kepada Allah SWT. Tadhyi’ di hadapan Allah SWT sangat tercela. Sedangkan tafwidh di hadapan-Nya sangat terpuji. Menurut AbduLlah bin Mubarak, barang siapa yang mengambil uang haram, maka dia bukan orang yang tawakal.
Abu Said Al-kharraz mengatakan, “saya pernah satu kali masuk di padang pasir tanpa membawa bekal. Di sana saya mendapatkan kesulitan. Setelah itu, saya melihat marhalah (tanda jarak perjalanan) dari tempat yang jauh. Saya merasa bahagia karena sudah hampir sampai. Kemudian saya berfikir bahwa diri ini menempati satu tempat yang membutuhkan orang lain. Saya tidak berani menempuh marhalah itu kecuali membawa bekal. Dalam keadaan seperti itu saya terpaksa menggali lobang di atas pasir. Di dalam lobang itu saya dapat melindungi tubuhku sampai pada dadaku. Di tengah malam penduduk mendengar suara keras “Wahai penduduk marhalah sesungguhnya Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Penolong yang telah menahan dirinya di atas pasir ini. Oleh karenanya temuilah dia.” Setelah itu sekelompok orang datang kepadaku. Mereka mengeluarkan diriku dan membawaku ke sebuah desa”.
Abu Hamzah Al-Kharrasani mengatakan bahwa dalam satu tahun ada dua orang lewat di atas sumur. Salah satunya mengatakan kepada yang lain, “ke sinilah, kita harus menutup sumur ini agar tidak ada orang yang terjatuh.” Mereka lalu datang dengan memabwa kayu dan tumpukan debu serta menutup atas (atap) sumur tersebut. Abu Hamzah Al-Kharrasani ingin memanggil, tetapi tidak jadi melakukannya. Lantas ia mengatakan kepada diri sendiri, “Saya hanya ingin memanggil Dzat Yang lebih dekat dari pada kedua orang tersebut”.
Selang beberapa waktu, ada sesuatu yang datang dan membuka atas (atap) sumur tersebut serta mendekatkan kakinya, seakan-akan ia mengatakan dengan suara menggerutu, “menggantunglah kepadaku”. Ia tahu bahwa suara itu keluar darinya. Setelah itu ia menggantungkan kepadanya sehingga ia dapat keluar. Ternyata sesuatu itu adalah hewan yang buas. Kemudian hewan itu pergi. Tiba-tiba ada suara mengatakan kepada Abu Hamzah, apakah seperti ini tidak lebih baik. Kami telah menyelamatkan dirimu dari kebinasaan dengan kebinasaan”. Setelah itu Abu Hamzah berjalan sambil mendendangkan syair :
Kutampakkan kepada-Mu rasa takut yang telah ku sembunyikan.
Hatiku menampakkan sesuatu yang diucapkan oleh mataku.
Rasa maluku telah melarangku dari-Mu untuk menyembunyikan keinginan.
Dan Engkau memberikan pemahaman dengan terungkapnya sesuatu.
Engkau telah mempermudah urusanku lantas Engkau tumpahkan kedua orang yang menyaksikan kesamaranku.
Oleh karena itu.
Kelemah lembutan akan diperoleh dengan kelemah lembutan.
Engkau telah memperlihatkan diriku sesuatu yang samar.
Seakan-akan Engkau memberikan kabar kepadaku
Dengan sesuatu yang samar.
Bahwa Engkau berada dalam kebahagiaan.
Saya dapat melihat-Mu dariku.
Karena kehebatanku takut kepada-Mu.
Engkau menggembirakan diriku
Dengan lemah lembut dan cinta kasih.
Kau hidupkan orang yang cinta.
Sedangkan Engkau mencintai kematian.
Alangkah herannya hakikat kehidupan.
Yang terpaut dengan kematian.
Hudzaifah Al-Mar’asyi pernah ditanya ketika sedang melayani dan berguru kepada Ibrahim bin Adham.
“Apa yang paling mengagumkan yang pernah engkau lihat ?”
Dia menjawab bahwa beberapa hari yang lalu kami berada di jalan Makkah dan kami tidak menemukan makanan. Kami memasuki Kuffah dan tinggal di Masjid Khurrab. Setelah itu Ibrahim bin Adham melihatku seraya mengatakan “Ya Hudzaifah, saya melihatmu nampak lapar”.
“Itu hanya pandangan guru”.
“Ambilkan pena dan kertas untukku”.
Hidzaifah pergi kemudian kembali seraya menyerahkan pena dan kertas kepada Ibrahim yang langsung ditulisnya dengan kalimat, “BismiLlahiRrahmaaniRrahiim, Engkaulah Dzat yang dituju dalam segala hal dan Engkaulah Dzat yang dijadikan petunjuk dalam setiap arti”. Kemudian tulisan disambung dengan beberapa syair :
Saya adalah orang yang memuji.
Saya adalah orang yang bersyukur
Saya adalah orang yang ingat.
Saya adalah orang yang lapar.
Saya adalah orang yang kehilangan.
Saya adalah orang yang talanjang.
Terhadap yang enam itu (syair di atas)
Saya menjamin separuhnya.
Jadilah Engkau Yang menjamin separuhnya lagi.
Wahai Dzat Pencipta.
Memuji kepada selain-Mu.
Adalah jilatan api neraka.
Yang telah Kau panaskan.
Selamatkanlah orang yang selalu menyembah-Mu.
Dari masuk neraka.
Neraka di sampingku.
Seperti sebuah pertanyaan.
Apakah Engkau tahu
Bahwa Engkau tidak memaksaku masuk neraka.
Setelah itu Ibrahim memberikan ruq’ah (semacam bungkusan berisi uang logam atau papan tulis) kepada Hudzaifah. Dia mengatakan, “Keluarlah, hatimu jangan kau gantungkan kepada selain Allah SWT. Dan berikanlah ini kepada orang yang pertama yang engkau jumpai.”
Hudzaifah merasa bahagia atas peristiwa tersebut. Orang pertama yang ia jumpai adalah orang yang berada di atas keledai. Ia berikan ruq’ah itu kepadanya. Orang itu mengambilnya lantas menangis. Ia bertanya kepada Hudzaifah, “Apa yang sedang dikerjakan oleh pemilik ruq’ah ini “”
“Dia berada di Masjid Fulani”.
Orang itu memberikan kantong kepada Hudzaifah yang berisi enam ratus dinar. Setelah itu Hudzaifah berjumpa dengan laki-laki lain dan bertanya, “Siapapemilik keledai ini ?” tanya Hudzaifah
“Orang nasrani”. Jawabnya.
Lantas Hudzaifah mendatangi Ibrahim bin Adham. Ia menceritakan kejadian tersebut. Ibrahim lalu berpesan, “Jangan kau sentuh keledai itu. Sebentar lagi orangnya akan datang”.
Selang beberapa waktu orang nasrani itu datang sambil menundukkan kepalanya. Ia menghadap Ibrahim lalu duduk bersimpuh di hadapannya dan menyatakan keislamannya.
Syukur
Allah SWT berfirman, “Jika kamu sekalian bersyukur, maka Aku (Allah) akan memberikan tambahan nikmat kepada kamu sekalian”.
Dari Yahya bin Ya’la dari Abu Khubab dari Atha’ diceritakan bahwa ia bertemu Aisyah RA bersama Ubaid bin Umair, lalu mengatakan, “Berikanlah kami berita tentang sesuatu yang paling mengagumkan dari RasuluLlah SAW yang pernah engkau lihat”.
Aisyah menangis lantas menjawab, “Keadaan RasuluLlah yang mana yang tidak mengagumkan ? di waktu malam Beliau datang kepadaku. Beliau masuk ke tempat tidur bersamaku sehingga kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Beliau mengatakan, Wahahai putri Abu Bakar, tinggalkanlah diriku, saya sedang beribadah kepada Tuhanku”.
“Saya ingin lebih dekat denganmu”. Pintaku. Wanita agung ini lantas minta izin untuk mengambil gerabah air. Beliau berwudhu dan menuangkan air begitu banyak. Setelah itu RasuluLlah SAW berdiri dan mengerjakan shalat. Beliau menangis sehingga air matanya bercucuran sampai ke dadanya. Beliau ruku’, sujud, dan mengangkat kepala dan masih dalam keadaan menangis. Beliau selalu seperti itu sampai Bilal datang, kemudian menyerukan azan untuk mengerjakan shalat. Aku bertanya kepada RasuluLlah SAW, “Ya RasuluLlah SAW, apa yang membuatmu menangis, padahal Allah SWT telah mengampuni dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang ?”
Beliau menjawab, “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur. Kenapa saya tidak berbuat yang demikian, sedangkan Allah SWT menurunkan kepadaku ayat :
Inna fii khalqissamaawaati……sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, perbedaan siang dan malam , kapal yang berlayar di lautan (membawa) barang yang berfaedah bagi manusia, hujan yang diturunkan dari langit, lalu dihidupkan-Nya dengan air tersebut bumi yang telah mati, berkeliaran di atasnya tiap-tiap yang melata, angin yang bertiup dan awan yang terbentang antara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu merupakan ayat-ayat bagi orang yang berfikir. (QS Al-Baqarah 164).
Atas pandangan ini dapat ditarik pengertian bahwa Allah SWT selalu bersyukur, artinya Allah SWT akan membalas hamba-Nya yang bersyukur. Pembalasan ini dinamakan syukur sebagaimana firman Allah SWT :
Dan pembalasan orang yang berbuat jahat adalah kejahatan yang setimpal. (QS. Asy-Syura 40)
Menurut satu pendapat, bersyukurnya Allah SWT adalah memberikan pahala atas perbuatan pelakunya sebagaimana ungkapan bahwa hewan yang bersyukur adalah hewan yang gemuk karena selalu diberi makan. Hal ini dapat dikatakan bahwasanya hakikat syukur adalah memuji yang memberikan kenikmatan dengan mengingat kebaikannya. Bersyukurnya hamba kepada Allah SWT adalah memuji-Nya dengan mengingat kebaikan-Nya. Sedangkan syukurnya Allah SWT kepada hambanya bearti Allah SWT memuji kepadanya dengan mengingat kebaikannya. Perbuatan baik hamba adalah ta’at kepada Allah SWT sedangkann perbuatan baik Allah SWT terhadap hambanya adalah memberikan kenikmatan dengan memberikan pertolongan sebagai tanda syukur. Hakikat syukur bagi hamba adalah ucapan lisan dan pengakuan hati terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan.
Syukur terbagi menjadi tiga, Pertama syukur dengan lisan. Yakni mengakui kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT dengan sikap merendahkan diri. Kedua, syukur dengan badan, yakni bersikap selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada Allah SWT dengan konsisten menjaga keagungan-Nya. Syukur lisan adalah syukurnya orang berilmu, ini dapat direalisasikan dengan bentuk ucapan. Syukur dengan badan adalah syukurnya ahli ibadah. Ini dapat direalisasikan dengan bentuuk perbuatan. Syukur dengan hati adalah syukurnya orang ahli ma’rifat. Ini dapat direalisasikan dengan semua hal ihwal hanya untuk Allah secara konsisten.
Menurut Abu Bakar Al-Waraq, yang dimaksud mensyukuri nikmat adalah memperhatikan pemberian dan menjaga kehormatan. Menurut Hamdun Al-Qashar yang dimaksud mensyukuri nikmat adalah memperhatikan dirinya meskipun tidak diundang. Menurut Al-Junaid, yang dimaksud syukur adalah sebab, karena dia mencari dirinya yang telah memperoleh kelebihan. Dia selalu menghadap Allah SWT karena memperoleh bagian dirinya. Menurut Abu Utsman, yang dimaksud syukur adalah mengetahui kelemahan syukur itu sendiri.
Ada yang berpendapat, bahwa syukur di atas syukur adalah lebih sempurna dari syukur itu sendiri. Artinya kita harus memperhatikan syukur karena merasa telah mendapatkan pertolongan dari Allah SWT berupa kenikmatan. Kita bersyukur di atas syukur dan bersyukur di atas syukurnya syukur sampai kepada sesuatu yang tidak ada puncaknya. Menurut yang lain, yang dimaksud syukur adalah menyandarkan berbagai kenikmatan kepada Allah SWT dengan sikap merendah diri. Menurut Al-Junaid yang dimaksud syukur adalah tidak menganggap dirinya sendiri sebagai pemilik kenikmatan. Sedangkan menurut Ruwaim, yang dimaksud syukur adalah melepaskan kemampuan, merasa semua itu adalah pemberian Allah bukan atas usahanya sendiri.
Menurut satu pendapat, yang dimaksud syakir orang yang bersyukur adalah orang yang mensyukuri sesuatu yang ada. Sedangkan yang dimaksud syakur (orang yang ahli bersyukur) adalah orang yang ahli mensyukuri sesuatu yang tidak ada. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud syakir adalah orang yang mensyukuri pemberian, sedangkan yang dimaksud syakur adalah orang yang mensyukuri penolakan. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud syakir adlah orang yang mensyukuri pencegahan. Menurut sebagian yang lain lagi, yang dimaksud syakir adalah orang yang mensyukuri pemberian, dan yang dimaksud syakur adalah orang yang mensyukuri cobaan. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud syakir adalah orang yang mensyukuri kemurahan, sedang yang dimaksud syakur adalah orang yang mensyukuri penangguhan.
Al-Junaid berkata, “saya bermain di depan Syaikh Sarry As-Saqathi ketika aku berumur tujuh tahun. Di hadapannya terdapat sekelompok orang yang sedang membicarakan syukur. Dia mengatakan kepadaku, “Wahai anak kecil, apa itu syukur ?” Saya menjawab, ‘Tidak mempergunakan nikmat untuk bermaksiyat kepada Allah SWT’. Beliau mengatakan, “Lisanmu hampir saja mendapatkan bagian dari Allah SWT”. Kemudian Al-Junaid berkata, ‘saya selalu menangis apabila mengingat kata-kata yang diucapkan oleh Sariy’”.
Menurut As-Syibly, yang dimaksud syukur adalah memperhatikan Dzat yang memberikan kenikmatan, bukan kepada kenikmatan-Nya. Menurut satu pendapat, yang dimaksud syukur adalah mengatur sesuatu yang telah ada mencari sesuatu yang belum ada. Menurut Abu Utsman, yang dimaksud syukur orang awam adalah orang yang bersyukur kepada yang memberikan makanan dan pakain. Sedangkan yang dimaksud syukurnya orang khawash adalah orang yang bersyukur kepada sesuatu yang terlintas di dalam hati.
Menurut satu ungkapan, Nabi Dawud AS pernah mengatakan, “Yaa Tuhan, bagaimana saya bersyukur kepada-Mu sedangkan syukurku kepada-Mu adalah ni’mat darimu.” Maka Allah SWT menurunkan wahyu kepadanya :”Dawud sekarang Engkau telah bersyukur kepada-Ku”.
Demikian juga yang terjadi pada Nabi Musa AS ketika bermunajat kepada Allah, “Yaa Allah Engkau telah menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaan-Mu dan berbuat demikian…demikian…. Bagaimana tentang syukurku ?” Allah SWT berfirman, “Adam mengetahui hal-hal itu dari-Ku. Oleh karena itu kema’rifatannya merupakan syukur kepada-Ku”.
Menurut satu cerita, seorang laki-laki memasuki rumah Sahal bin AbduLlah. Dia mengadukan sesuatu kepadanya, “Sesungguhnya seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mengambil barang daganganku.” Setelah itu pencuri mengatakan, “Bersyukurlah kepada Allah SWT. Seandainya ada pencuri memasuki hatimu, sedang ia adalah setan kemudian ia merusak tauhidmu, apa yang harus kau kerjakan ?”
Menurut satu pendapat, yang dimaksud syukur kedua mata adalah menutupi cacatnya teman yang pernah kita lihat. Sedangkan yang dimaksud syukurnya kedua telinga adalah menutupi cacatnya teman yang pernah kita dengar. Menurut yang lain, yang dimaksud syukur adalah merasa senang dengan pemberian yang belum pernah didapatkan.
Al-Junaid mengatakan, Syaikh Sariy apabila hendak menolongku dia bertanya kepadaku. Suatu hari ia bertanya kepadaku, “Wahai Abul Qasim, apa syukur itu ?”
“Jangan meminta pertolongan agar mendapatkan kenikmatan dari Allah SWT” .
“Dari mana hal itu kau peroleh ?”
“Dari tempat-tempat pengajianmu”
Menurut satu pendapat, Hasan bin Ali pernah metapkan syukur sebagai rukun. Dia juga pernah mengatakan, “Ya Tuhan Engkau telah memberikan kenikmatan kepadaku, tetapi Engkau tidak mendapati diriku sebagai orang yang bersyukur. Engkau telah memeberikan cobaan kepadaku, namun Engkau tidak mendapati diriku sebagai orang yang sabar. Engkau tidak pernah menghilangkan kenikmatan hanya disebabkan tidak adanya syukur dan Engkau tidak pernah menimpakan kesusahan disebabkan tidak adanya sabar. Ya Tuhan tiada Dzat Yang Maha Mulia kecuali kemuliaan-Mu”.
Sebagian ulama mengatakan, “apabila engkau perpendek tanganmu untuk menghindari balasan, maka panjangkanlah lisanmu dengan bersyukur”.
Menurut satu pendapat, ada empat perbuatan yang tidak menghasilkan buah. Pertama, orang tuli yang berbicara. Kedua, orang yang memberikan kenikmatan kepada orang yang tidak pernah bersyukur. Tiga, orang yang menanam biji-bijian di tanah yang keras. Ke empat, orang yang menyalakan lampu di tengah sinar matahari”.
Ketika Nabi Idris AS diberi ampunan, Beliau bertanya tentag kehidupan. Beliau kemudian balik ditanya oleh malaikat, “Untuk apa?”.
“Untuk mensyukurinya, karena sebelumnya saya tidak pernah berbuat untuk mendapatkan ampunan”.
Setelah itu Malaikat menurunkan sayapnya dan membawa Nabi Idris AS ke langit.
Dalam cerita yang lain dijelaskan salah seorang dari para Nabi menemukan batu kecil yang mengeluarkan air begitu banyak. Dia sangat mengaguminya. Maka kemudian Allah SWT memberikan kemampuan kepada batu tersebut untuk berbicara.
“Saya pernah mendengar Allah SWT berfirman, “Takutlah kepada api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan”. (QS. Al-baqarah 24).
“Saya (batu) menangis karena takut kepada Allah SWT”. Kata sang batu.
Nabi tersebut kemudian mendoakan agar Allah SWT menyelamatkan batu itu. Setelah itu Allah SWT menurunkan wahyu kepada sang Nabi, “Aku telah menyelamatkan batu itu dari api neraka”.
Sang Nabi kemudian pergi. Dan setelah kembali dia melihat air masih memancar dari batu tersebut, karenanya sang Nabi merasa heran. Allah SWT kembali memberikan kemampuan kepada batu tersebut untuk berbicara. Maka Nabi lantas bertanya, “Mengapa engkau masih menangis ?”
“Allah SWT telah mengampuniku.” Jawab sang batu.
Nabi itu kemudian berkata seraya pergi, “Yang pertama ia menangis karena berduka cita dan takut, sedangkan yang kedua ia menangis karena bersyukur dan bahagia”.
Menurut satu pendapat, yang dimaksud orang yang mensyukuri kelebihan adalah orang yang mendapatkan kenikmatan. Allah SWT berfirman, “Jika kamu bersyukur maka Aku Allah akan memberikan tambahan kepada kamu sekalian”. (QS Ibrahim 7).
Sedangkan yang dimaksud orang yang bersabar adalah orang yang mendapatkan cobaan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Anfal 46).
Sekelompok orang datang kepada Umar bin Abdul Aziz. Diantara mereka terdapat seorang pemuda yang sedang berpidato. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Hindarilah kesombongan”.
Dijawab, “Seandainya urusan ini dikaitkan dengan umur, maka tentu diantara orang-orang Islam terdapat orang yang lebih berhak memegang jabatan khalifah,” Jawab sang pemuda.
“Bicaralah”.
“Kami bukan utusan raghbah (para pecinta) dan bukan pula termasuk rahbah (orang-orang yang takut kepada Allah). Yang dimaksud raghbah adalah orang-orang yang mendapatkan keutamaan, sedang yang dimaksud rahbah adalah orang yang mendapatkan keadilan.”
“Siapa kalian sebenarnya? “. Tanya khalifah Umar bin Abdul Aziz.
“Kami adalah utusan syukur. Kami datang ke sini untuk bersyukur dan berpaling”.
Menurut satu pendapat, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Musa AS “Kasihanilah hamba-hamba-Ku yang mendapatkan cobaan dan keselamatan”.
“Bagaimana halnya dengan orang-orang yang selamat ?” Tanya Musa AS.
“karena sedikitnya mereka bersyukur terhadap keselamatan yang telah Kuberikan .”Jawab Allah.
Menurut pendapat yang lain, memuji ditujukan kepada jiwa, sedangkan syukur ditujukan kepada kenikmatan panca indera. Menurut sebagian ulama, memuji adalah permulaan dan bersyukur adalah tebusan. Dalam hadits sahih disebutkan bahwasanya permulaan orang yang dipanggil ke surga adalah orang-orang yang memuji Allah SWT dalam segala hal. Menurut sebagian yang lain memuji Allah SWT ditujukan kepada sesuatu yang diberikan, sedangkan syukur ditujukan kepada sesuatu yang dikerjakan.
0 komentar:
Posting Komentar