MEMANDANG ALLOH
Cinta kepada Alloh ini adalah hal yang paling tinggi sekali dan itulah tujuan kita yang terakhir. Kita telah berbicara berkenaan bahaya kerohanian yang akan menghalangi cinta kepada Alloh dalam hati manusia, dan kita telah berbicara berkenaan berbagai sifat-sifat yang baik sebagai keperluan asas menuju Cinta Alloh itu.
Kesempurnaan manusia itu terletak dalam Cinta kepada Alloh ini. Cinta kepada Alloh ini hendaklah menakluki dan menguasai hati manusia itu seluruhnya. Kalau pun tidak dapat seluruhnya, maka sekurang-kurangnya hati itu hendaklah cinta kepada Alloh melebihi cinta kepada yang lain.
Sebenarnya mengetahui Cinta Ilahi ini bukanlah satu hal yang senang sehingga ada satu golongan orang bijak pandai agama yang langsung menafikan cinta kepada Alloh atau Cinta Ilahi itu. Mereka tidak percaya manusia boleh mencintai Alloh Subhanahuwa Taala karena Alloh itu bukanlah sejenis dengan manusia. Kata mereka; maksud Cinta Ilahi itu adalah semata-mata tunduk dan patuh kepada Alloh saja.
Sebenarnya mereka yang berpendapat demikian itu adalah orang yang tidak tahu apakah hakikatnya agama itu.
Semua orang Islam setuju bahwa cinta kepada Alloh (cinta Alloh) itu adalah satu tugas. Alloh ada berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin;
” Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. “. (Al Maidah:54)
Nabi pernah bersabda;
Apabila malaikat maut datang hendak mengambil nyawa Nabi Ibrahim,
Nabi Ibrahim berkata,
“Pernahkah engkau melihat sahabat mengambil nyawa sahabat?”
Alloh berfirman,
“Pernahkah engkau melihat sahabat tidak mau melihat sahabatnya?”
Kemudian Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Izrail! Ambillah nyawaku!”
Doa ini diajar oleh Nabi kepada sahabatnya;
“Ya Alloh, kurniakanlah kepada ku Cinta terhadap Mu dan Cinta kepada mereka yang Mencintai mu, dan apa saja yang membawa aku hampir kepada CintaMu, dan jadikanlah CintaMu itu lebih berharga kepadaku dari air sejuk kepada orang yang dahaga.”
“Orang yang kenal Alloh akan Mencintai Alloh, dan orang yang mengenal dunia akan benci kepada dunia itu”.
Sekarang marilah kita membicarkan pula berkenaan dengan keadaan cinta itu. Bolehlah ditafsirkan bahwa cinta itu adalah kecenderungan kepada sesuatu yang indah atau nyaman. Ini nyata sekali pada dari yang lima (pancaindera) yaiitu tiap-tiap satunya mencintai apa yang memberi keindahan atau kepuasan kepadanya. Mata cinta kepada bentuk-bentuk yang indah. Telinga cinta kepada bunyi-bunyinya yang merdu, dan sebagainya. Inilah jenis cinta yang kita miliki dan binatang pun memilikinya.
Tetapi ada dari yang keenam atau keupayaan pandangan yang terletak dalam hati, dan ini tidak ada pada binatang. Dengan melalui inilah kita mengenal keindahan dan keagungan keruhanian. Oleh karena itu, mereka yang terpengaruh dengan kehendak-kehendak jasmaniah dan kedunian saja tidak dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh Nabi apabila baginda berkata bahwa baginda cinta kepada sembahyang melebihi dari cintanya kepada perempuan dan bau harum wangi, meskipun perempuan dan wangi-wanginya itu disukai juga oleh baginda. Tetapi siapa yang mata batinnya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Ilahi akan memandang rendah kepada semua hal-hal yang zhohir walau bagaimanapun cantiknya sekalipun.
Orang yang memandang zhohir saja akan berkata bahwa kecantikan itu terletak pada warna kulit yang putih dan merah, kaki dan tangan yang eloknya dan sebagainya lagi, tetapi orang ini buta kepada kecantikan akhlak, seperti apa yang dikatakan orang bahwa seseorang itu mempunyai sifat-sifat akhlak yang “indah”. Tetapi bagi mereka yang mempunyai pandangan batin dapat mencintai orang-orang besar yang telah kembali kealam baka, seperti Khalifah Umar dan Abu Bakar misalnya, karena kedua-dua orang besar ini mempunyai sifat-sifat yang agung dan mulia, meskipun tubuh mereka telah hancur menjadi tanah. Cinta seperti ini bukan memandang kepada sifat-sifat zhohir saja, tetapi memandang kepada sifat-sifat batin. Bahkan apabila kita hendak menimbulkan cinta dalam hati kanak-kanak terhadap seseorang, maka kita tidak memperihalkan keindahan bentuk zhohirnya, dan lain-lain, tetapi kita perihalkan keindahan-keindahan batinnya.
Sebab pertama ialah, bahwa seseorang itu cinta kepada dirinya sendiri dan menyempurnakan keadaannya sendiri. Ini membawanya secara langsung menuju Cinta kepada Alloh, karena wujudnya dan sifatnya manusia itu adalah semata-mata Kurniaan Alloh saja. Jika tidaklah karena kehendak Alloh Subhanahuwa Taala dan KemurahanNya, manusia tidak akan zhohir ke alam nyata itu. Kejadian manusia itu dan pencapaian menuju kesempurnaan adalah juga dengan kurnia Alloh semata. Sungguh aneh jika seseorang itu berlindung ke bawah pohon dari sinar matahari tetapi tidak berterima kasih kepada pohon itu.
Begitu jugalah jika tidaklah karena Alloh, manusia tidak akan wujud dan tidak akan ada mempunyai sifat-sifat langsung. Oleh karena itu, kenapa manusia itu tidak Cinta kepada Alloh? Jika tidak cinta kepada Alloh berarti ia tidak mengenalNya. Tanpa mengenalNya orang tidak akan Cinta kepadaNya, karena Cinta itu timbul dari pengenalan . Orang yang bodoh saja yang tidak mengenal.
Sebab yang ketiga ialah cinta yang ditimbulkan dengan cara renungan atau tafakur tentang Sifat-sifat Alloh, Kuasa dan KebijaksanaanNya. Dan bermula Kekuasaan dan kebijaksanaan manusia itu adalah bayangan yang amat kecil dari Kekuasaan dan Kebijaksanaan Alloh Subhanahuwa Taala juga. Cinta ini adalah seperti cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di zaman dulu, misalnya Imam Malik dan Imam Syafie meskipun kita tidak akan menyangka menerima sebarang faedah pribadi dari mereka itu, dan dengan itu adalah jenis yang tidak mencari untung. Alloh berfirman kepada Nabi Daud,
Dalam kitab Zabur ada tertulis,
Sebab yang keempat berhubungan dengan cinta ini ialah karena keterikat yang erat antara manusia dan Tuhannya, yang maksudkan oleh Nabi dalam sabdanya :
Selanjutnya Alloh berfirman;
Alloh berfirman juga kepada Nabi Musa;
“Aku sakit, engkau tidak mengungjungiKu.” Nabi Musa menjawab, “Aahai Tuhan, Engkau itu Tuhan langit dan bumi, bagaimana engkau boleh sakit?” Alloh menjawab, “Seorang hambaKu sakit, kalau engkau mengunjungi dia, maka engkau mengunjungi Aku.”
“Alloh jadikan manusia menurut rupanya.”
Dan kataku pula (suluk), untuk mendapat dan menjejaki maksud sabda Nabi yang penuh dan melimpah dengan lautan hikmah zhohir dan batin ini, perlulah diambil pengajaran dari kalangan ulama yang muqarrabin yang arifbiLlah dari kalangan Aulia Alloh yang apabila berbicara, hanya akan mengungkapkan sesuatu yang didatangi dari Alam Tinggi, bukan beralaskan sesuatu kepentingan atau pengaruh hawa nafsunya. Ilmu mereka adalah pencampakkan Ilham dari Alloh Taala yang didapati terus dari Alloh sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Ghazali dalam karyanya Al-Risalutul lil Duniyyah sebagaimana berikut;
Ilmu Laduni ialah ilmu yang tidak ada perantaraan dalam mendapatkannya di antara jiwa dan Alloh Taala. Ia adalah seperti cahaya yang datang dari lampu Qhaib jatuh ke atas Qalbu yang bersih, kosong lagi halus (Lathif).
Pertama , tiap-tiap bakat atau anggota manusia itu ada tugas-tugasnya masing-masing dan ia merasa tertarik dan suka menjalankan tugas itu. Ini serupa saja sejak dari kehendak tubuh yang paling rendah hinggalah kepada pengetahuan akal yang paling tinggi. Usaha mental (otak) yang paling rendah pun mendatangkan ketertarikan yang lebih dari hanya memuaskan kehendak tubuh saja. Kadang-kadang seseorang yang khusuk bermain catur tidak mau makan meskipun ia berkali-kali dipanggil untuk makan.
” Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa ” (Al Imran:133)
Tetapi kenikmatan ilmu atau pengetahuan masih tidak menyamai atau menyerupai kenikmatan pandangan sebagaimana ketertarikan kita dalam memikirkan mereka yang bercinta adalah lebih rendah daripada ketertarikan yang diberi oleh memandangnya dengan benar.
Terpenjaranya kita dalam tubuh kita dari tanah dan air dan terbelenggu kita dalam hal-hal indera (pancaindera) menjadikan hijab yang melindungi kita daripada memandang Alloh , meskipun tidak menghalang pencapaian kita kepada mengetahui dan mengenalNya. karena inilah Alloh berfirman kepada Nabi Musa di Gunung Sinai,
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Al Araaf:143)
Hakikat hal ini adalah sebagaimana benih manusia itu menjadi manusia, dan biji tamar menjadi pohon tamar, begitu jugalah mengenal Alloh yang diperoleh di dunia ini akan bertukar menjadi “Memandang Alloh” di akhirat kelak, dan mereka yang tidak mempelajari pengetahuan itu tidak akan mendapat pandangan itu. Pandangan ini tidak akan dibagi-bagikan sama rata kepada mereka yang tahu tetapi “konsep pemahaman” mereka tentangnya akan berbeda-beda sebagaimana ilmu mereka.
Orang yang Menyintai Alloh sepenuh hati dan Cintanya kepada Alloh melebihi Cintanya kepada yang lain akan memperolehi lebih banyak kebahagiaan daripada pandangan melebihi daripada mereka yang dalam hatinya tidak ada pandangan ini. Umpama dua orang yang kekuatan matanya sama saja memandang kepada wajah yang cantik. Orang yang telah ada cintanya kepada orang yang memiliki wajah itu akan merasa tertarik dan bahagia memandang wajah itu melebihi dari orang yang tidak ada cintanya kepada orang yang mempunyai wajah itu.
Untuk kebahagiaan yang sempurna, ilmu saja tidak tidaklah cukup. Hendaklah disertakan dengan Cinta. Cinta kepada Alloh itu tidak akan tercapai selagi hati itu tidak dibersihkan daripada cinta kepada dunia. Pembersihan ini dapat dilakukan dengan menahan diri dari hawa nafsu yang rendah dan bersikap zuhud.
Abu Sulaiman berkata;
“Siapa yang sibuk dengan dirinya sendiri saja di dunia ini, akan sibuk juga dengan dirinya di akhirat kelak, dan siapa yang sibuk dengan Alloh di dunia ini akan sibuk juga dengan Alloh di akhirat kelak”.
Yahya bin Mu’adz menceritakan;
“Saya lihat Abu Yazid Bustomin sembahyang sepanjang malam. apabila beliau telah habis sembahyang, beliau berdoa dan berkata :
“Oh Tuhan!!! Setengah dari hambaMu meminta padaMu kuasa untuk membuat sesuatu yang luar biasa (karamat) seperti berjalan di atas air, terbang di udara, tetapi aku tidak meminta itu; ada pula yang meminta harta karun, tetapi aku tidak meminta itu,
kemudian ia memalingkan mukanya dan setelah dilihatnya saya, ia berkata; “Kamu di situ Yahya?” Saya menjawab; “Ya!” Beliau bertanya lagi; “Sejak kapan?” Saya menjawab; “Telah lama saya di sini” Kemudian saya bertanya dan beliau menceritakan kepada saya setengah daripada pengalaman keruhaniannya.
“Saya akan menceritakan” Jawab beliau. “Apa yang boleh saya ceritakan kepadamu, Alloh Subhahahuwa Taala menunjukkan aku kerajaanNya dari yang paling tinggi hingga ke paling rendah. DiangkatNya saya melampaui Arash dan Kursi dan tujuh petala langitnya, kemudian Ia (Alloh) berkata; “Pintalah kepadaKu apa saja yang engkau kehendaki”.
JawabNya (Alloh) : “Sesungguhnya engkau hambaKu yang sebenar benarnya”.
Pada suatu ketika pula Abu Yazid berkata:
“Sekiranya Alloh mengkaruniakan engkau kemiripan denganNya seperti Ibrahim, kekuasaan Sholat Musa, keruhanian ‘Isa, namun wajahmu hadapkanlah kepada Dia saja karena ia ada harta yang melampaui segala-galanya itu”
Suatu hari seorang sahabatnya berkata kepada beliau; “Selama tiga puluh tahun saya puasa di siang hari dan sembahyang di malam hari tetapi saya tidak dapati kenikmatan keruhanian yang engkau katakan itu”.
Sahabatnnya berkata; “Bagaimanakah itu?”
Kata Abu Yazid; “obatnya ada tetapi engkau tidak akan sanggup menelannya obat itu”. Tetapi oleh karena sahabatnya itu bersungguh-sungguh benar meminta supaya diceritakan, Abu Yazid pun berkata;
Kata sahabatnya; “Tidak sanggup saya berbuat demikian, berilah saya cara yang lain”.
Sebab Abu Yazid berkata demikian kepada orang itu ialah karena orang itu sebenarnya pencari pangkat dan kedudukan. Bercita-cita hendak pangkat dan kedudukan seperti bersikap sombong dan bangga adalah penyakit yang hanya dapat diobat dengan cara yang demikian itu.
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kami lah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israel beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (Ash Shaff:14)
Apabila orang bertanya kepada Nabi ‘Isa; “Apakah kerja yang paling tinggi sekali derajatnya?” Beliau menjawab; “Mencintai Alloh dan tunduk kepadaNya”.
Suatu ketika orang bertanya kepada Wali Alloh bernama Rabi’atul Adawiyah sama ada beliau cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau menjawab; ” Cinta kepada Alloh menghalang aku cinta kepada makhluk”.
Ibrahim bin Adham dalam doanya berkata; “Ya Alloh! pada mataku syurga itu sendiri lebih kecil dari unggas jika dibandingkan dengan Cintaku terhadapMu dan kenikmatan mengingatiMu yang Engkau telah kurniakan kepadaku”.
Siapa yang menganggap ada kemungkinan menikmati kebahagiaan di akhirat tanpa mencintai Alloh adalah orang yang telah jauh sesat anggapannya, karena segala-galanya di akhirat itu adalah kembali kepada Alloh dan Alloh itulah alamat yang dituju dan dicapai setelah melalui halangan yang tidak terhingga banyaknya. Nikmat memandang Alloh itu adalah kebahagiaan. Jika seseorang itu tidak suka kepada Alloh di sini, maka di sana pun ia tidak suka juga kepada Alloh. Jika sedikit saja sukanya kepada Alloh di sini, maka sedikit jugalah sukanya kepada Alloh di sana . Pendeknya, kebahagiaan kita di akhirat adalah tergantung pada kadar Cintanya kita kepada Alloh di dunia ini.
Sebaliknya jika dalam hati manusia itu ada tumbuh cinta kepada apa saja yang berlawanan dengan Alloh, maka keadaan hidup di akhirat sana akan berlainan dan ganjil sekali kepadanya dan dengan ini apa saja yang mendatangkan kebahagiaan kepada orang lain, akan mendatangkan ‘azab sengsara kepadanya. Mudah-mudahan Alloh lindungi kita dari terjadi sedemikian itu.
Ini bolehlah kita gambarkan dengan misalnya seperti berikut :
Seorang pengangkut sampah pergi ke kedai yang menjual minyak wangi. Apabila beliau membawa bau-bauan yang harum wangi itu, ia pun jatuh dan tidak sadar diri. Orang pun datang hendak memberi pertolongan kepadanya. Air dipercikkan kemukanya dan dihidungnya diletakkan kasturi. Tetapi beliau bertambah parah. Akhirnya datanglah seorang pengangkut sampah juga, lalu diletakkan sedikit sampah kotor di bawah hidung orang yang pingsan itu. Dengan segera orang itu pun sadar semula sambil berseru dengan rasa puas hati, “Wah! Inilah sebenarnya wangi!”
…….., Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.(Al Baqoroh:222)
Orang yang dikaruniai dengan mata keruhanian telah nampak hakikat ini dalam rasa pengalaman mereka bukan hanya kata-kata yang diterima turun-menurun sejak dahulu lagi. Pandangan mereka itu membawa kepercayaan bahwa orang yang berkata demikian adalah sebenarnya Nabi, ibarat orang yang mengkaji ilmu pengobatan, akan tahu adakah orang yang berbicara berkenaan pengobatan itu sebenarnya dokter ataupun bukan. Ini adalah jenis keyakinan yang tidak perlu dibantu dengan mukjizat atau perbuatan yang diluar kebiasaan karena yang demikian pun dapat dilakukan juga oleh tukang sihir atau tukang silap mata.
Terjemahan Kitab Kimyatusy- Sya’adah - KIMIA KEBAHAGIAAN - Karya : Imam Al-Ghazali
0 komentar:
Posting Komentar