Kamis, 31 Desember 2009

Al-Muraqabah




Allah SWT berfirman, “Wa kaanaLlaahu ‘alaa kulli syai’in raqiibaa”. Dan sesungguhnya Allah SWT Maha mengawasi atas segala sesuatu’.
Malaikat Jibril AS datang menemui RasuluLlah SAW dalam bentuk rupa seorang laki-laki.
“Yaa Muhammad, apa itu iman”. Tanya Jibril.
“Percaya kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, dan takdir baik dan buruknya, dan hari akhir”.
“Engkau benar”.
Para sahabat yang menyaksikan keadaan tersebut merasa heran, bagaimana mungkin orang yang bertanya ia sendiri yang membenarkannya. Bukankah ia datang untuk bertanya, tetapi mengapa terkesan menggurui RasuluLlah SAW. Di tengah keheran para sahabat, lelaki itu kembali bertanya, “Berilah aku penjelasan tentang islam”.
RasuluLlah SAW menjawab, “Bersyahadat, Menegakkan shalat, memberikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan hajji ke BaituLlah”.
“Benar Engkau, berilah aku penjelasan tentang ihsan”.
RasuluLlah ASW menjawab, “Beribadah kepada Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya. Aapabila engkau tidak dapat melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu”.
“Engkau benar”. Jawab Jibril kemudian pergi.

Ungkapan sabda RasuluLlah SAW “Jika engkau tidak dapat melihat Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Adalah merupakan isyarat tentang muraqabah (pengawasan).
Muraqabah adalah ilmu hamba untuk melihat Allah SWT. Sedangkan yang konsisten terhadap ilmu itu adalah yang mengawasi (menjaga atau merasa bahwa dirinya selalu diawasi sehingga membentuk sikap yang selalu awas terhadap hukum-hukum Allah SWT. Ini adalah dasar dari segala kebajikan. Orang tidak akan sampai pada tingkatan ini kecuali setelah menyelesaikan pengawasan (penjagaan-terhadap dirinya sendiri). Apabila seseorang mengawasi dirinya sendiri terhadap apa-apa yang telah lampau, memperbaiki keadaannya di masa sekarang, maka ia akan selalu berada di jalan yang benar, mengadakan perhubungan dengan Allah SWT secara baik sambil menjaga hati, memelihara nafs agar selalu berhubungan dengan-Nya, memeliharanya dalam segala hal, maka ia akan mengetahui bahwa Allah SWT adalah Dzat Maha Pengawas dan Dzat Yang Maha Dekat dengan dirinya. Allah SWT mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya, dan mendengar ucapannya. Barang siapa yang melupakan semua itu maka ia akan terlepas dari taraf permulaan keterhubungan dengan-Nya. Lalu bagaimana tentang hakikat “Dekat / Al qurb”.
Ahmad Al Jariri mengatakan, “barang siapa yang tidak memperkuat taqwa dan pengawasan antara dirinya dan Allah SWT, maka ia tidak akan sampai kepada mukasyafah (terbukanya tabir rahasia) dan musyahadah (persaksian dengan-Nya).”
Al-Kisah, ada seorang raja yang memiliki budak yang sering menghadap kepadanya jika dibandingkan dengan budak-budak yang lain. Kebanyakan mereka tidak semahal dan seistimewa budak yang satu ini. Mereka mengungkapkan hal itu kepada raja, maka rajapun kemudian menjelaskan kepada mereka tentang keutamaan budak itu dalam hal pelayanan-nya kepada raja jika dibandingkan dengan budak yang lain. Pada suatu hari budak itu berada di atas kendaraan kuda bersama-sama dengan raja, melewati sebuah gunung yang dipenuhi salju. Sang raja melihat salju-salju itu dan kemudian menundukkan kepalanya. Seketika itu pula sang budak memacu kudanya menuju ke arah salju yang dilihat raja. Orang-orang tidak mengerti mengapa budak itu tiba-tiba pergi ke arah salju. Sang budak terus saja memacu kudanya mendaki gunung yang penuh salju hingga ketika sampai di puncak ia mengambil salju itu dan dibawanya untuk diberikan kepada raja. Sang raja berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu tahu bahwa saya menghendaki salju ?” Dia menjawab, ‘Karena tuan melihat salju itu’. Tak lama kemudian pandangan raja menerawang seraya mengatakan, “Dia aku berikan keistimewaan karena telah memuliakan diriku dan selalu hadir dalam diriku. Tiap-tiap orang memiliki kesibukan sendiri-sendiri sedangkan kesibukannya adalah selalu menjaga pandangan/lirikanku dan keadaanku”.
Sebagian ulama mengatakan, barang siapa yang menjaga Allah SWT di dalam hatinya maka Allah SWT akan menjaga seluruh anggota badannya”. Abul Husain bin Hindun pernah ditanya, “Kapan penggembala dapat menghalau kambingnya dengan tongkat pemeliharaan agar terhindar dari perangkap kebinasaan ?”. Dia menjawab, “Jika ia mengerti bahwa di hadapannya terdapat Dzat Yang Maha Mengawasi”.
Menurut satu cerita, Ibnu Umar RA berada di dalam perjalanan. Dia melihat seorang budak yang sedang menggembala seekor kambing.
“Bisakah engkau menjualnya seekor kepadaku ?” tanya Ibnu Umar dengan maksud untuk menguji.
“Kambing itu bukan milik saya”. Jawabnya
“Katakan saja kepada pemiliknya bahwa serigala telah memakannya”.
Budak itu menjawab,”Lalu di mana Allah SWT ?”
Ibnu Umar diam untuk beberapa saat. Dai merenungkan kata-kata penggembala itu. Kemudian ia mendesah sambil mengatakan, “Budak itu mengatakan di mana Allah SWT”.
Al-Junaid mengatakan bahwa barang siapa yang dapat merealisasikan pengawasan (muraqabag), maka dia akan takut kehilangan bagian dair Tuhannya, bukan takut kepada orang lain.
Seorang guru sufi memiliki seorang murid yang diistimewakan. Guru itu sering datang kepadanya dari pada datang kepada murid-murid yang lain. Mereka bertanya kepada gurunya tentang hal itu , maka sang gurupun menjawab, “Akan saya jelaskan persoalan ini kepada kalian”.
Selang beberapa lama, guru itu memanggil murid-muridnya. Masing-masing dari mereka diberi seekor burung sambil berpesan, “Sembelihlah burung ini di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun”. Mereka semua kemudian pergi dan tak lama kemudian kembali dengan membawa burung yang telah disembelih di tangan mereka masing-masing. Akan tetapi salah seorang dari mereka datang dengan membawa burung yang masih hidup.
“Mengapa burung itu tidak kamu sembelih ?”
Murid itu menjawab “Guru memerintahkan saya untuk menyembelih burung di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun. Saya telah berusaha ke berbagai tempat akan tetapi tidak menemukan satu tempatpun yang tidak dilihat oleh Allah SWT.
Guru itu tersenyum. Dia berkata kepada murid yang lain, “Karena inilah saya mengistimewakannya dengan selalu datang kepadanya.”
Menurut Dzunun al-Mishri yang dimaksud hubungan pengawasan adalah mementingkan sesuatu yang telah dipentingkan oleh Allah SWT, mengagungkan sesuatu yang telah diagungkan oleh Allah SWT, dan mengecilkan sesuatu yang telah dikecilkan-Nya. Menurut Ibrahim An-Nashr Abadzi : Raja’ (Harap) akan menggerakkan kepada keta’atan, khauf (takut) akan menjauhkan dari maksiyat, dan muraqabah (pengawasan) akan mengantarkan kepada jalan hakikat.
Ja’far bin Nashr pernah ditanya tentang pengawasan maka ia menjawab, “Menjaga hati untuk memandang Allah SWT dalam setiap gerakan”. Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Urusan kita terbagi menjadi dua, yaitu konsistensi diri dalam pengawasan terhadap Allah SWT dan tertanamnya ilmu secara lahiriyah . sedang menurut AbduLlah Al-Murta’isy mengatakan bahwa yang dimaksud pengawasan adalah memelihara hati dengan memperhatikan Allah SWT dalam setiap langkah dan perkataan”.
Ibnu Atha’pernah ditanya, “apa yang paling utama dari ta’at ?” dia menjawab, “Mengawasi Allah SWT sepanjang masa”. Ibrahim Al-khawas mengatakan, “Pemeliharaan akan menyebabkan pengawasan, sedang pengawasan akan menyebabakan kemurnian rahasia maupun terang-terangan karena Allah SWT”. Menurut Abu Utsman Al-Maghribi, “Konsistensi diri manusia yang paling utama adalah meneliti , mengawasi dan mensiasati perbuatannya dengan ilmu”.
Abu Utsman mengatakan, ‘Abu Hafs mewasiyatkan kepadaku, ‘Apabila kamu duduk bersama orang lain , jadilah penasihat kepada hatimu dan dirimu, serta janganlah kamu tertipu oleh perkumpulan mereka. Mereka mengawasi lahirmu, sedang Allah SWT mengawasi bathinmu”.
Abu Sa’id Al-Kharraz mengatakan, “Salah seorang dari guruku telah mengatakan kepadaku, ‘tetaplah memelihara dan mengawasi hatimu”’. Dia mengatakan, ‘Suatu hari saya berjalan di tengah padang pasir. Tiba-tiba di belakangku terdengar suara desingan. Suara itu sangat menakutkan. Saya hendak menoleh tetapi saya tahan. Setelah itu saya melihat sesuatu menyentuh punggungku lantas ia pergi. Sambil saya menjaga hati saya menoleh, ternyata saya berhadapan dengan hewan yang sangat besar”’.
Al-Wasithi berkata, “Seutama-utama ta’at adalah menjaga waktu. Dia tidak meniti-niti hambanya diluar batasnya, demikian pula tidak meniti selain kepada Tuhannya, dan tidak bersahabat selain dengan waktunya”.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008