Kamis, 31 Desember 2009

Iradah

Sesungguhnya iradah adalah kepedihan hati karena jeratan cinta kepada الله




الله SWT berfirman :
ولا تطرد الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya (Al-An’am 52).

Dari Anas bin Malik diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, :
اذا اراد الله بعبد خيرا استعمله, قيل له كيف يستعمله يا رسول الله ؟ قال : يوفقه لعمل صالح قبل الموت
Jika الله menghendaki kebaikan seorang hamba maka dia dipekerjakan (dengan kebaikan itu). Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana ia dipekerjakan-Nya Ya رسول الله ?” Nabi menajwab, ‘Diberi pemahaman untuk beramal kebajikan sebelum mati.”

Iradah (kehendak) adalah awal perjalanan para salik yang sebenarnya merupakan nama bagi tahapan / maqam pertama pendakian para salik untuk menuju ke hadirat الله. Sifat ini dinamakan iradah karena iradah merupakan awal segala urusan. Barang siapa tidak memiliki kehendak terhadap sesuatu maka tidaklah mungkin ia melakukannya.

Segala persoalan yang berkenaan dengan langkah awal perjalanan para salik dalam meniti jalan menuju الله dinamakan iradah. Kedudukannya sama dengan mukadimah dalam segala urusan yang berkaitan dengan tujuan. Murid harus memiliki iradah sebagai belahan kesatuan langkah-langkahnya sebagaimana seorang alim diharuskan memiliki ilmu sebagai belahan kealimannya. Murid dalam pengertian ahli sufi bukanlah perwujudan kehendak milik murid sendiri karena orang yang belum bisa memurnikan dirnya sendiri dari eksistensi kehendak dirinya maka belumlah dinamakan murid.
Banyak orang yang memberikan arti iradah, masing-masing mengungkapkannya sebatas apa yang tersirat di dalam hatinya. Sementara para sufi mengatakan bahwa iradah adalah meninggalkan apa yang telah menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan manusia pada umumnya adalah terpaku kepada hukum penapakan pada tempat-tempat yang membuat dirinya lupa, percaya pada ajakan syahwat dan cenderung mengikuti apa yang dibisikkan oleh harapan atau angan-angan. Sedangkan seorang murid harus terlepas dari identitas ini. Semuanya tidak boleh melekat pada dirinya. Kemampuan salik keluar dari kenyataan-kenyataan (semu) iradahnya, menjadi bukti atas kebenaran iradah-Nya. Keadaan semacam inilah yang dinamakan iradah yaitu keluarnya salik dari hukum kebiasaan. Dengan demikian keberhasilan meninggalkan kebiasaan merupakan tanda-tanda iradah, adapun hakikatnya adalah manifestasi kebangkitan hati dalam pencarian Al-Haq. Karena itu dikatakan, “Sesungguhnya iradah adalah kepedihan hati karena jeratan cinta kepada الله yang mampu menghinakan setiap keharuan”.
Diceritakan dari seorang guru sufi, “Suatu hari saya sendirian berada di sebuah pedusunan yang sunyi. Tiba-tiba dada saya terasa sempit yang mendorong lidah saya mengucapkan,’Wahai manusia, bicaralah kepada saya, wahai jin bicaralah kepada saya’. Tiba-tiba sebuah suara tanpa bentuk menyahut, ‘Apa yang kamu kehendaki ?’ Saya menjawab, ‘الله’ yang saya kehendaki’. Dai kembali bertanya, ‘Kapan kamu menghendaki الله ?’
Kisah ini mengandung pelajaran tentang makna iradah. Orang tersebut mengatakan, ‘Bicaralah kepada saya’. Menunjukkan sebagai orang yang berkehendak (murid) pada الله. Orang yang berkehendak (murid) selalu tidak tenang dan lemas sepanjang malam dan siang. Dia dalam lahiriyahnya dihiasi dengan berbagai mujahadah dan di dalam bathiniyahnya disifati dengan penahanan berbagai bentuk beban kesulitan. Dia senantiasa menjauhkan diri dari tempat tidur, selalu siaga, siap memikul berbagai kesulitan dan menanggung berbagai kepayahan, mengobati akhlak, membiasakan diri dengan hal-hal yang berat, merangkul obyek-obyek yang menakutkan dan memisahkan diri dengan berbagai bentuk eksistensi atau simbol-simbol keperanan. Sebagaimana tersebut di dalam sebuah syair :

Kemudian malam saya putus
Dalam berbagai kenikmatannya
Tidak ada singa yang saya takuti
Tidak pun serigala
Rinduku mengalahkan saya
Lalu saya melipat rahasia saya
Dan orang yang punya kerinduan
Memang selalu dikalahkan

Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq pernah mengatakan, bahwa yang dimaksud iradah adalah pedihnya kerinduan di dalam hati, sengatan yang menimpa hati, cinta yang menyala-nyala dan membakar nurani, kecemasan yang menggedor dinding-dinding bathin, api cahaya yang membakar kubah hati. Beliau juga mengatakan, “Saya di dalam permulaan kerinduan, dalam keadaan terbakar di tungku perapian iradah. Kemudian saya membisikkan ke dalam hati saya, “Duhai perasaan hati, alangkah pedihnya ! Apa arti iradah itu ?”

Yusuf bin Husin mengatakan, “Antara Abu Sulaiman Ad-Daraani dan Ahmad bin Abi Al-Hiwari terikat tali perjanjian. Ahmad tidak bisa membantah setiap perintah yang diberikan Abu Sulaiman. Suatu hari ia mendatangi Abu Sulaiman yang sedang memberi fatwa di majlisnya, kemudian melapor, “Sesungguhnya bunga api telah berpijar, menyala dan membakar, maka apa yang engkau perintahkan ?”
Abu Sulaiman diam dan tidak menjawab. Ahmad mengulanginya hingga dua kali atau tiga kali dan akhirnya mengatakan, ‘Abu Sulaiman pergi lalu duduk di dalamnya’. (seakan-akannya sempit dan Abu Sulaiman lupa tentang Ahmad, kemudian ingat lagi dan mengatakan, “Lihatlah Ahmad, sesungguhnya dia berada di dalam jilatan cahaya. Dia mampu menguasai dirinya dengan tidak hendak menentang perintah saya’. Kemudian mereka melihatnya, dan tiba-tiba Ahmad dalam pembakaran cahaya yang tidak selembar rambutpun terbakar.

Dikatakan bahwa diantara sifat-sifat murid adalah cinta amalan-amalan sunah, ikhlas dalam memberikan nasihat asih, sopan, dan senang dengan kesenidrian, sabar di dalam memikul segala kekerasan hukum, mengutamakan perintah, malu terhadap suatu pandangan, pelimpahan tenaga dan anugerah pada apa yang diperjuangkannya dengan penuh kecintaan, menyongsong segala sebab yang bisa mengantarkannya kepada-Nya, puas terhadap segala bentuk kelemahan, dan ketiadaan pengakuan hati akan ketersampaian diri kepada Tuhan.

Abu Bakar Muhammad Al-Waraq berkata, “Penyakit murid ada tiga macam, kawin, catatan wicara, dan lembaran-lembaran”.
“bagaimana mungkin tuan meninggalkan catatan wicara”. Tanya seseorang.
Ia menjawaab, “sebab akan menjadi penghalangku dari perolehan iradah.

Hatim Al-Asham mengatakan, “”Jika saya melihat seorang murid yang menghendaki selain yang dia (Hatim) kehendaki, maka ketahuilah bahwa ia telah menampakkan kerendahan”.

Diantara hukum bagi murid ada tia hal : tidurnya karena bersangatan mengantuk, makannya karena sangat butuh, dan ucapannya karena sangat terpaksa. Demikian nasihat Muhammad Al-Kattani

Jika الله menghendaki murid kebaikan, maka Dia akan memposisikannya dalam sikap sufi dan mencegahnya dari pergaulan para qari. Demikian fatwa Al-Junaid.

Pada suatu hari Abu Ali Ad-Daqaq memberikan wejangan kepada para santri dan mengatakan “Akhir iradah akan mengarahkan isyarat pada الله sehingga menjumpai-Nya bersama isyarat”.
“Apa yang dimuat dalam iradah ?”
Beliau menjawab, “Engkau menjumpai الله dengan tanpa isyarat”.

Pada kesempatan lain Syaikh Abu Ali mengatakan, “Seorang murid tidak akan menjadi murid hingga orang disebelah kirinya (malaikat pencatat kejahatan) tidak menulisnya selama 20 tahun.”

Karena itu Abu Utsman Al-Hirri menasihatkan, bahwa jika seorang murid mendengarkan sesuatu dari ilmu-ilmu suatu kelompok masyarakat (ahli hikmah/syaikh), lalu mengamalkannya, maka yang demikian itu dalam hatinya akan menjadi suatu hikmah sampai akhir usianya, dan selama itu dia bisa mengambil manfaatnya. Seandainya ia berbicara dengan ilmu tersebut maka orang yang medengarkannya pasti juga akan memperoleh manfaat. Dan barang siapa mendengarkan ilmu dari mereka lalu tidak mengamalkanya, maka hikayat yang diperoleh dan dijaganya akan masih tetap terjaga tetapi kemudian hilang terlupakan. Barang siapa iradahnya tidak sehat, maka perjalanan hari tidak akan menambahnya selain kemunduran.

Awal maqam murid adalah munculnya iradah Al-Haq dengan menggugurkan iradahnya sendiri. Demikian kata AL-Wasithi.

“Hal yang memperberatkan murid adalah mempergauli musuh dengan baik”. Kata Yahya bin Mu’adz.

“Jika saya melihat murid sibuk dengan hal-hal yang ringan, dispensasi dan usaha mencari nafkah, maka tidak ada sesuatu yang mendatanginya”. Demikain kata Yusuf bin Husain.

Dalam suatu kesempatan Imam Al-Junaid ditanya tentang masalah iradah dan murid. “Apa yang dapat dimiliki para murid dengan perjalaan hikayat / manakib (orang – orang saleh) ?”
Beliau menjawab, “hikayat / manakib adalah tentara-tentara الله yang dengannya dapat memperkuat hati seorang mukmin”.

“Apa dalam hal ini Tuhan punya saksi ?”
“Ya, yaitu firman الله yang berbunyi :

وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك
Dan semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu (Hud 120)

Lebih jauh Al-Junaid mengatakan, Murid yang benar adalah yang tidak butuh ilmu para ulama. Seorang murid pada hakikatnya adalah orang yang dikehendaki الله karena jika tidak dikehendaki الله (sehingga ia memiliki iradah), maka ia bukan menjadi seorang murid / salik. Sedangkan murad adalah murid karena jika الله menghendaki seseorang untuk menjadi murid dengan kekhususan, maka Dia akan memberi pemahaman akan makna iradah. Akan tetapi para sufi membedakan antara murid dan murad. Murid bagi mereka adalah seorang pemula sedangkan murad adalah pamungkas. Murid ditegakkan dengan mata kepayahan dan dilemparkan dalam kawah kesulitan-kesulitan sedangkan murad dicukupkan dengan perintah yang tidak memiliki kesulitan. Murid adalah orang yang aktif dan muncul sebagai subyek sedangkan murad adalah orang yang diisi oleh الله, diberi faedah, dan dengannya dia disenangkan. sunatuLlah akan bersama para perambah jalan menuju الله memiliki bentuk yang berbeda-beda. Masing-masing memiiiki tingkatan hukum yang tidak sama. Kebanyakan mereka memiliki anugerah dengan disertai syarat mujahadah, kemudian mencapai maqam kedekatan dengan الله setelah mengalami berbagai kesulitan dari tahun ke tahun dalam kurun waktu yang tidak pendek. Sedangkan sebagian yang lain disingkapkan (terbuka) bathinnya sejak permulaan usia dengan keagungan makna-Nya kemudian mencapai maqam kewalian yang tidak dapat dicapai oleh kelompok ahli riyadhah atau mujahadah. Golongan ahli riyadhah pada umumnya dalam pencapaian maqam kewalian akan dilemparkan oleh الله kedalam penggemblengan mujahadah. Penggemblengan ini terjadi setelah mereka memperoleh kesadaran hakikat. Tujuannya supaya mereka memperoleh apa-apa yang terkandung dalam hukum riyadhah.

Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq juga berkata, murid adalah orang yang menanggung sedang murad adalah orang yang ditanggung.” Beliau juga pernah mejelaskan bahwa nabi Musa AS adalah seorang nabi yang menduduki jabatan seorang murid. Karena itu di dalam doanya dia mengatakan, “
رب اشرح لي صدري
Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku (Thaha 25)

Sedangkan nabi kita Muhammad SAW adalah seorang murad sehingga firman yang diwahyukan الله berbunyi demikian :
الم نشرح لك صدرك, ووضعنا عنك وزرك, الذي أنقض ظهرك,
ورفعنا لك ذكرك
Tidakkah telah Kami lapangkan dadamu, dan Kami hilangkan bebanmu yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan penyebutanmu (Alam Nasyrah 1-4)

Demikian pula ketika Musa mengatakan,
رب أرنى أنظر اليك قال : لن ترانى
Tuhan , tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku sehingga aku dapat melihat-Mu. Tuhan menjawab, “Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku”

Juga ketika الله SWT berfirman kepada Nabi Muhammad SAW,
الم ترى الى ربك كيف مد الظل
Tidakkah kamu melihat Tuhanmu bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang (Al-Furqan 45)

Kedua konteks di atas menunjukkan bahwa Nabi Musa AS berada pada maqam murid sedang nabi kita Muhammad SAW di maqam murad. Menurut syaikh Abu Ali Ad-Daqaq maksud ayat “Apakah kamu tidak melihat Tuhanmu dan potongan berikutnya Bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang adalah merupakan penutupan kisah dan pembagusan keadaan.

Imam Al-Junaid pernah ditanya tentang makna murid lalu dijawab, “murid adalah orang yang dikuasai oleh siasat ilmu, sedangkan murad adalah yang dikuasai oleh pemeliharaan dari Al-Haq secara langsung. Murid berjalan sedangkan murad terbang. Maka kapan para pejalan dapat menyusul mereka yang terbang.”

Dikisahkan bahwa Dzunun pernah mengirimkan seorang utusan untuk menjumpai Abu Yazid Al Bustami. Dia berpesan, “Katakan kepadanya, sampai kapan tidur dan istirahat , sementara kafilah telah berlalu”.

Setelah utusan tersebut sampai dan telah mengatakan pesan dari Dzunun, maka Syaikh Abu Yazid berkata, “Katakan kepada saudaraku Dzunun, orang alaki-laki adalah orang yang tidur sepanjang malam dan memasuki waktu subuh telah sampai di tempat sebelum kafilah sampai.”
“Betapa Indahnya, ini adalah ucapan yang keadaan kami belum bisa mencapainya”. Sambut Dzunun

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008