Jumat, 25 Desember 2009

Syaikh Ali bin Wahab Ar-Rabi’i



Beliau adalah salah seorang wali besar Iraq,
qutb zamannya dan merupakan salah seorang yang dianugerahi kemampuan menyembuhkan kebutaan, lumpuh, lepra dan menghidupkan orang yang telah mati dengan izin Allah.

Beliau memiliki dua buah benda yang dipakaikan oleh Abu Bakar As-Shidiq kepada Abu Bakar Al-Huwara berupa baju dan thaqiyah. Dari Abu Bakar Al-Huwara keduanya diserahkan kepada Syaikh As-Syanbaki kemudian diturunkan kepada Syaikh Abu Wafa’ kemudian diturunkan kepada Syaikh Ali bin Al-Hitti kemudian diturunkan kepada Syaikh Ali bin Idris kemudian menghilang.

Beliaulah orang yang mendapatkan bisikan, “Hai raja-Ku, perintahlah kerajaan-Ku”. Selama 80 tahun beliau tidak pernah mengisolasi diri (berkontemplasi/khalwat), bahkan beliau tidur bersama para sufi sepanjang masa tersebut. Beliau juga salah seorang yang ditampakkan oleh Allah kepada orang banyak dan menjadikan mereka menerima dengan penuh penghotmatan, menggetarkan kalbu mereka dengan karismanya, Allah beberkan kegaiban kepada beliau dan berbagai kejadian supra natural serta menjadikan beliau sebagai pemimpin dan teladan.

Syaikh Abdul Qadir sangat sering membicarakan dirinya, memuji, menyayangi dan menyanjungnya. Berkenaan dengan Syaikh Ali bin Al-Hitti, beliau berkata, “Setiap wali baik yang berasal dari dunia nyata maupun dari dunia ghaib adalah tamu kita. dan kita adalah tamu Syaikh Ali bin Al-Hitti.

Syaikh Ali AL-Khabaz berkata, “Dari para Syaikh yang hidup sezaman dengan Syaikh Abdul Qadir, tidak ada yang khidmahnya lebih besar kepada Syaikh Abdul Qafir daripada Syaikh Ali bin Al-Hitti”.

Diriwayatkan jika hendak pergi menziarahi Syaikh Abdul Qadir, Syaikh Ali bin Al-Hitti dan para sahabatnya mandi terlebih dahulu di sungai Dajlah. Kamudian beliau berkata kepada para sahabatnya, “Kuatkan kalbu kalian, jaga hati kalian karena kita akan menghadap Sultan”. Apabila telah sampai di madrasahnya Syaikh Abdul Qadir, beliau menunduk dan berdiri diam di depan pintu sampai Syaikh Abdul Qadir memanggilnya, ‘Saudaraku kemarilah’. Beliaupun masuk dan berjalan dengan merangkak untuk duduk disampingnya. Syaikh Abdul Qadir berkata, apa yang engkau takutkan, engkau adalah Syaikh Iraq ’. Syaikh Ali bin Al-Hitti menjawab, ‘Tuanku, engkau adalah Sultan, redakan rasa takutku dengan mengatakan “aku redakan rasa takutmu”. Maka Syaikh Abdul Qadir menjawab, “’Tidak ada rasa takut untuk dirimu’”.

Beliau adalah kepala para wali dan diberikan otoritas untuk mendidik para murid maqam as-shidiq dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang mereka alami. Dari kebersamaan dengan beliau, lahirlah para wali terkenal seperti Abu Muhammad Ali bin Idris Al-Ya’qubi dan lainnya. Banyak para sufi yang berguru kepadanya dan banyak orang yang bersandar kepadanya. Dan sudah merupakan kesepakatan para ulama untuk memuliakan dan menghormati beliau.

Guru beliau adalah syaikh Abdul Qadir Al-Jilli, sang Taajul ‘arifiin, sangat menyanjung beliau dan mengistimewakan dirinya dibanding yang lain. Baliau memiliki perkataan tak ternilai yang direkam oleh para ahli hakikah. Diantara pernyataannya adalah :

“Syari’ah merupakan hasil taklif sedangkan hakikah merupakan hasil ta'riif (pengetahuan). Dengan demikian syari’ah didukung dengan hakikah, dan hakikah ditunjang dengan syari’ah. Syari’ah adalah implementasi segala perbuatan hanya untuk Allah, sedangkan hakikah adalah menyaksikan segala kondisi spiritual dengan Allah”.

Diriwayatkan suatu hari seorang pemuda datang menemui beliau yang pada saat itu beliau sedang menerima tamu seorang pejabat negara. Syaikh Ali bin Al-Hitti segera bangkit dan merapikan pakaiannya. “Ada apa ini wahai tanku ?”. Beliau berkata, “Jika datang kepadamu suatu perintah dari khlifah, apa yang akan kamu lakukan “. Pemuda itu menjawab, “Aku akan melakukan persis seperti apa yang anda lakukan dan akan terus dalam kondisi tersebut selama melayani sang khalifah”. “Begitu pula aku”. Jawab beliau. Kemudian beliau berkata lagi, “Khidir AS datang kepadaku membawa perintah Syaikh Abdul Qadir kepadaku. Beliau meminta dua ekor sapi dariku untuk para sahabatnya. Saat ini beliau adalah khalifah para wali dan syaikh, sultan semua yang ada di sini”.

Diriwayatkan pada suatu ketika Syaikh Ali bin Al-Hitti mengunjungi Syaikh Abdul Qadir. Setelah tiba, beliau mendapati sang Syaikh sedang tidur dan beliau merasa tidak tega untuk membangunkannya. Saat itu beliau berkata sebanyak tiga kali, “Tidak ada golongan hawariyyin yang seperti dirimu”. Ketika Syaikh Abdul Qadir bangun, beliau berkata kepada Syaikh Ali bin Al-Hitti, “Aku ini Muhammadiy (Golongan Muhammad SAW), sedangkan hawariyyin adalah golongan Isa AS.

Dalam suatu riwayat, Syaikh Ali bin Al-Hitti berkata, “Apabila Allah tidak memberikan informasi tanpa perantara dan tidak memperlihatkan kepadaku segerombolan semut sedang merangkak dalam kegelapan malam di tengah gurun pasir gunung Qaf, maka hal tersebut adalah aib yang meremukkan hatiku”.

Syaikh Abu Hasan Al-Hawrani dan Abu Hafs Umar bin Mazahim meriwaytkan :

Pada suatu ketika Syaikh Ali bin Al-Hitti pergi ke pergi ke altaqa, suatu daerah dalam kawasan Nahr Mulk. Beliau singgah di rumah salah seorang kerabatnya. Si tuan rumah sangat bergembira dengan kedatangan sang syaikh ke rumahnya.

Dalam kesempatan itu Syaikh Ali bin Al-Hitti memerintahkan tuan rumah untuk menyembelih ayam. Si tuan rumah melakukan hal tersebut dan mendapatkan emas berada di perut ayam tersebut. Tuan rumah menjadi sangat ta’jub. Seabab menurut penuturannya ia memiliki seorang saudari perempuan yang menjatuhkan tanpa sengaja botol parfum dair emas dan dipatok oleh ayam tersebut. Namun mereka memiliki prasangka buruk terhadap saudari perempuan tersebut sampai terbetik dalam hati mereka untuk membunuhnya malam itu.

Setelah mendengar cerita tersebut Syaikh Ali bin Al-Hitti berkata, “Allah Ta’ala telah menampakkan kepadaku tentang ketidakbersalahan saudara perempuanmu, apa yang ada di dalam diri kalian dan apa yang ada di perut ayam ini. Aku emmohon izin kepada Allah untuk membeberkan semua ini dan menyelamatkan kalian semua dari kehancuran dan Dia mengizinkannya.”

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa pada suatu ketika Syaikh Ali bin Al-Hitti menghadiri acara sema’an yang diselenggarakan di desa Raziiran. Setelah semua syaikh ayng hadir mengambil bagian dalam sima’ para fuqaha dan para qura’ (ahli membaca alqur’an) yang hadir mengingkari hal tersebut. Syaikh Ali bin Al-Hitti bangkit dan mengelilingi mereka. Setiap kali beliau berhadapan dengan mereka, orang itu akan kehilangan semua pengetahuan agama dan Al-Qur’an yang ada di dalam dadanya, dan hal tersebut berlangsung selama satu bulan sampai akhirnya mereka mendatangi Syaikh Ali bin Al-Hitti, menciumi kakinya dan memohon maaf serta ampunan dari Allah.

Beliau memerintahkan untuk menghidangkan makanan dan beliau makan bersama mereka. Setelah beliau menyuapi semua yang menghadapnya, mereka mendapati semua yang hilang telah kembali ke dalam dada mereka.

Diriwayat lain diceritakan saat sang syaikh melewati dua desa di daerah Nahr Mulk, beliau mendapati pedang-pedang terhunus dari kedua penduduk desa, siap memerangi satu sama lain. Pertikaian tersebut disebabkan saling tuduh atas sebuah pembunuhan. Syaikh Ali kemudian mendatangi jenazah korban kemudian memegangi jidatnya dan berkata, “Wahai hamba Allah siapakah yang membunuhmu”. Mayat tersebut duduk dan berkata, “Yang membunuhku adalah si fulan bin fulan.. lalu kembali orang itu tak bernyawa.

Syaikh Abu Hasan Al-Jausaqi berkata :

Suatu hari aku melihat Syaikh Ali bin Al-Hitti sedang duduk di bawah sebatang pohon kurma di qurah. Saat itu aku melihat batang-batang kurma tersebut telah berisi buah kurma dan pohon tersebut merunduk sampai beliau dapat memetik dan memakannya. Padahal pada saat itu tidak ada satu butir kurmapun ada di Iraq. Kemudian aku mengikuti jejaknya dan aku mendapatkan sebutir kurma yang beliau makan. Aku memakannya dan mendapati rasanya seperti misik.

Syaikh Abu Muhammad Mas’ud al Haritsi berkata :

Syaikh kami Syaikh Ali bin Al-Hitti memiliki seorang pelayan perempuan bernama Rihanah yang biasa dipanggil Siti Baha’. Di penghujung umurnya ia menderita sakit parah. “Tuanku, aku ingin kurma”. Pintanya kepada Syaikh Ali bin Al-Hitti. Padahal di desa Raziran waktu itu tidak ada kurma, tetapi yang ada di desa Quthfan terdapat pohon kurma yang dimiliki oleh seorang pria shaleh bernama AbduSsalam.

Syaikh Ali bin Al-Hitti kemudian memalingkan wajahnya ke arah desa Quthfan dan berkata, “Yaa AbduSsalam bawakan Rihanah kurma dari pohon kurmamu”. Maka Allah menyampaikan suara sang syaikh kepada AbduSsalam dan AbduSsalam pun datang kepada sang Syaikh dengan membawakan kurma.

Tapi ketika Rihanah memakan kurma tersebut AbduSalam menyindirnya, “Sayyidati, bukankah di depanmu ada yang lebih baik daripada kurma”. Rihanah berkata, “Ya AbduSsalam, apakah karena aku menjadi pelayan Syaikh Ali bin Al-Hitti aku tidak boleh menginginkan apapun di dunia dan di akhirat. Pergi dan semoga engkau menjadi Nasrani”. kemudian menghembuskan nafas terakkhir.

Di perjalanan ke Baghdad, AbduSsalam berjumpa dengan seorang wanita nasrani yang sangat menarik hatinya. Diapun emminang perempuan tersebut untuk menjadi isterinya, namun perempuan tersebut menolak kecuali jika ia menjadi nasrani. abduSalam menerima syarat tersebut, dia masuk kristen dan tinggal di negeri isterinya dan mendapatkan beberapa orang anak namun kemudian ia menderita sakit keras.

Ketika kabar tersebut disampaikan kepada Syaikh Ali bin Al-Hitti, beliau berkata, “Yaa Rab, marahku kepadanya karena marahnya Rihanah kepadanya. Sekarang aku sudah ridha kepadanya dan aku memohon kepada-Mu untuk mengembalikannya kepadaku karena aku tidak suka kalah dengan kaum nasrani la’anahumuLlah.” Kemudian beliau berkata kepada Syaikh Umar Al-Bazaar, “Yaa Umar, pergilah ke desa anu... dan temui AbduSsalam, siramkan air ke tubuhnya dan bawa ia kepadaku”.

Syaikh Umar pergi ke desa yang dimaksud dan menemui AbduSsalam yang sedang menderita sakit parah. Beliau kemudian menyiramkan air ke seluruh tubuhnya dan seketika itu pula AbduSsalam bangkit. Dia kemudian kembali ke Islam diikuti isteri dan anak-anaknya menghadap Syaikh Ali bin Al-Hitti dan AbduSsalam mendapatkan semua hartanya kembali berkat Syaikh Ali bin Al-Hitti.

Beliau adalah orang yang gagah, ramah dan selalu memakai pakaian orang-orang hitam. Kepadanya dinisbathkan segala akhlak dan sifat yang baik serta perilaku yang mengagumkan.

Beliau termasuk salah satu orang yang dimuliakan pada waktunya juga paling cerdas dan paling berpengaruh. Para sahabatnya selalu mengikuti jejak dan metodenya.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008