الله berfirman :
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللّهَ يَرََى
Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya الله melihat segala perbuatannya (Al-‘Alaq 14)
رَسُْولُ اللّه SAWW bersabda :
اَلْحَيَاءُ مِنَ الاِيْمَان
“Malu itu sebagian dari iman”.
Suatu hari رَسُْولُ اللّه SAWW memberi pelajaran kepada para sahabat :
اِسْتَحْيُوْامِنَ اللّهِ تَعَالََى قَالُوْا اِنَّا نَسْتَحْيِيْ يَا نَبِيَّ اللّهِ وَالْحَمْدُ لِلّهِ قَالَ لَيْسَ ذلِكَ وَلَكِنْ مَنِ اسْتتَحْيَا مِنَ اللّهِ حقَّ الْحَيَّا ءِ فَالْيَحْفَطْ الّرأسَ وَمَا وَعَى وَلِيَحْفَظْ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلِيَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبَلَى وَمَنْ اَرادَ الآخِرَةَ تَرَكََ زِيْنَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللّهِ حَقَّ الْحَيَاء
Malulah kalian pada الله dengan sebenar-benar malu”.
Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya kami telah merasa malu wahai Nabi Alloh. Kami bersyukur dapat berbuat demikian”.
Beliau bersabda, “Bukan demikian ! akan tetapi orang yang malu pada الله yang sebenarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa yang terekam di dalamnya, menjaga perut dan apa yang dihimpunnya, dan ingatlah kalian pada kematian dan bahayanya. Barang siapa menghendaki kampung akhirat maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Barang siapa mampu mengerjakan demikian, maka sungguh dia telah malu kepada الله dengan sebenar-benar malu”.
Sebagian orang bijak mengatakan, “Malulah kalian dengan rasa malu yang sesungguhnya di majlis orang-orang yang memiliki rasa malu”.
Ibnu Atha’ mengatakan, “Ilmu terbesar adalah rasa segan dan malu. Jika segan dan malu telah hilang, maka tida ada kebaikan yang tersisa di dalamnya”.
Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Rasa malu adalah adanya rasa segan di dalam hati bersamaan dengan keterlepasan segala sesuatu yang telah lewat dari dirimu menuju ke hadirat Tuhanmu”.
Dikatakan, “Cinta adalah berbicara, rasa malu adalah diam membisu, dan rasa takut adalah kegelisahan”.
Abu Utsman mengatakan, “Orang yang berbicara dengan suasana hati yang diliputi rasa malu, tetapi apa yang dibicarakannya tidak di dalam suasana rasa malu karena الله maka dia adalah orang yang menipu”.
Hasan Al-Hadad bertamu ke rumah AbduLlah bin Manazil.
“Dari mana kamu, “ Tanya tuan rumah.
“Dari majlis Abul Qasim Al-Mudzakir”.
“Tentang apa dia berbicara ?”.
“Tentang malu”.
“Sungguh mengherankan orang yang tidak punya rasa malu kepada الله bagaimana dia bisa berbicara masalah malu ?”
As-Sirri As-Saqathi bekata, “Sesunggunya rasa malu dan jinak memasuki hati. Jika di dalamnya keduanya menemukan zuhud dan wara’ maka keduanya akan turun. Jika tidak, maka keduanya akan pergi”.
Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Sebagian manusia pada kurun pertama bekerja sama dengan agama dalam hal-hal di antara mereka hingga agama menjadi tipis. Kemudian pada kurun kedua bekerja sama dengan pemenuhan janji hingga pemenuhan itu sendiri itu hilang. Kemudian pada kurun ketiga bekerjasama dengan keperwiraan hingga keperwiraan itu sendiri hilang. Kemudian pada kurun keempat bekerja sama dengan rasa malu hingga rasa malu itu hilang. Dan akhirnya jadilah api yang bekerja sama dengan kesenangan dan ketakutan. Dikatakan dalam firman-Nya :
وَلَقَدْْ أَهَمَّ بِهِ وَهَمَّ بِِهَا لَوْلآ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِِّهِ
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya” (Yusuf 20)
Sesungguhnya burhan atau tanda kebesaran Tuhan (bukti) melemparkan pakaian pada wajah berhala di sisi rumah. Yusuf AS berkata, “Apa yang sedang kamu kerjakan ?”
Burhan tadi menjawab, “Saya malu pada الله”.
Yusuf AS pun menimpalinya, “Saya lebih utama daripada kamu untuk malu kepada الله”.
Di dalam firman-Nya disebutkan, “
فَجَاءتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِى عَلَى اسْتِحْيَاءِ
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan kemalu-maluan (Al-Qashas 25)
Ayat ini ditafsiri dengan mengartikan sesungguhnya wanita itu malu kepada Musa AS karena berani memintanya untuk datang bertamu ke rumahnya. Dia malu pada kemungkinan tidak bersedianya Musa AS atas undanganya. Sifat pengundang yang malu ini merupakan cermin dari sifat malu yang mulia.
Abu Sulaiman Ad-Darani menuturkan bahwa الله berfirman, “Hai Hamba-Ku sesungguhnya engkau tidak malu kepada-Ku padahal Aku telah menjadikan manusia lupa pada aib-aibmu, menjadikan bumi lupa pada dosa-dosamu, menghapus keteledoranmu dari kitab catatan induk dan tidak akan mendebat hasil hitungan (catatan amalmu) pada hari kiyamat”.
Diceritakan ada seorang lelaki mengerjakan shalat di luar masjid, lalu ditanyakan kepadanya, “Mengapa kamu tidak masuk saja dan mengerjakan shalat di dalamnya ?” Dia menjawab, “Saya malu kepada الله untuk masuk ke dalam rumah-Nya sementara saya sering bermaksiyat kepada-Nya”.
Dikatakan diantara tanda-tanda orang yang punya rasa malu adalah tidak melihat “tempat” yang dipandang memalukan.
Sekelompok ulama sufi bercerita, Kami di waktu malam pernah melakukan perjalanan jauh dan melewati berbagai tempat yang menjadi sarang harimau. Tiba-tiba di tempat itu kami menemukan seorang laki-laki yang sedang tidur sementara kudanya dibiarkan merumput di samping kepalanya. Kami mencoba menggerakkan tubuhnya dan iapun terbangun.
“Tidakkah kamu takut tidur di tempat yang menakutkan. Ini adalah tempat sarang harimau”. Kata kami mencoba mengingatkannya.
Namun lelaki itu tidak menampakkan ketakutan sama sekali di raut wajahnya. Dia mengangkat kepalanya lalu mengatakan, “Saya malu kepada الله untuk takut pada selain-Nya”. Dia kembali meletakkan kepalanya dan tertidur.
الله memberi wahyu kepada Nabi Isa AS, “Nasihatilah dirimu, jika telah menasehati dirimu maka nasihatilah manusia. Jika tidak malulah kamu kepada-Ku untuk memberi nasihat kepada manusia”.
Dikatakan, malu memiliki beberapa bentuk. Malu karena satu pelanggaran sebagaimana Adam AS ketika ditanyakan kepadanya “Apakah kamu akan lari dari Kami ?” lalu dijawab, “Tidak bahkan malu kepada-Mu”.
Malu karena kekurangan sebagaimana yang dikatakan para malaikat, “Maha Suci Engkau tidaklah kami dapat menyembah-Mu sebenar-benar penyembahan”.
Malu karena pengagungan sebagaimana malaikat Israfil AS ketika mengenakan sayapnyan karena malu kapada الله.
Malu karena kemuliaan sebagaimana رَسُْولُ اللّه SAWW yang malu pada umatnya yang hendak meminta mereka keluar (dari acara undangan perjamuan akan tetapi beliau malu mengatakan, maka الله berfirman :
ولآ مُسْتَأ نِسِيْنَ لِحَدِيْثً
Dan janganlah kalian terlalu asyik memperpanjang percakapan (Al-Ahzab 53).
Malu karena hubungan kerabat sebagaimana Imam Ali RA ketika ditanya Miqdad bin Aswad tentang masalah madzi sampai dia menanyakannya kepada رَسُْولُ اللّه SAWW, dia malu karena mengingat kedudukan Fatimah RA sebagai puteri رَسُْولُ اللّه SAWW yang menjadi isterinya.
Malu karena perendahan sebagaimana Nabi Musa AS yang mengatakan, “Sesungguhnya saya butuh sedikit dunia yang membuat saya malu untuk meminta kepada-Mu wahai Tuhan”. الله pun menimpalinya, “Mintalah kepada-Ku hingga adonanmu tergarami dan kambingmu diberi makan”.
Malu karena penganugerahan. Malu semacam ini merupakan sifat malu milik Tuhan yang terjadi ketika Dia menyodorkan buku catatan kepada hamba setelah dia selesai melewati shiratal mustaqim menuju surga. Tuhan memberikan buku catatan itu dalam keadaan tertutup rapat seraya mengatakan, “Enkau telah melakukan ….engkau telah melakukan…. Saya sungguh malu untuk menampakkan catatan itu kepadamu. Pergi, dan saya benar-benar telah mengampunimu”.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bahwa Yahya bin Muadz mengatakan, “Maha Suci Dzat yang hamba-Nya berbuat dosa namun Dia malu kepadanya”.
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Ada lima tanda kesengsaraan yaitu hati yang keras, mata yang beku, sedikit malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan”. Dalam sebagian kitab disebutkan, “tidak ada seorang hambapun yang mencapai separuh hak-Ku. Dia berdoa kepada-Ku dan Saya malu menolaknya. Di bermaksiyat kepada-Ku tetapi tidak malu kepada-Ku”.
Yahya bin Muadz mengatakan, “Barang siapa malu kepada الله dalam keadaan ta’at, maka الله akan malu kepadanya ketika dia melakukan dosa”. Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya malu mengharuskan pencarian”.. dikatakan pula, malu adalah pengerutan hati untuk pengagungan Tuhan. Dikatakan, jika seseorang duduk untuk memberikan peringatan kepada manusia, maka dua malaikat memangggilnya seraya berkata, “Nasihatilah dirimu dengan apa-apa yang kamu nasihatkan kepada kawanmu. Jiak tidak, maka malulah kepada Tuhanmu Yang selalu melihatmu.
Al-Junaid ditanya tentang malu, lalu dijawab,” Memandang buruk dan kurang terhadap perbuatan baikmu. Diantara dua perbuatan itu akan lahir suatu kondisi yang dinamakan malu”
Muhammad Al Washiti berkata, “Tidak akan merasakan kelezatan malu seseorang yang merobek ketentuan hukum atau melanggar janji”.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Malu adalah meninggalkan pengakuan di hadapan الله”. Abu Bakar Al-Warraq berkata, “Terkadang saya shalat dua reka’at karena الله lalu berpaling dari keduanya. Kondisi saya dalam posisi sebagai orang yang berpaling dari pencurian semacam ini merupakan bentuk rasa malu”.
0 komentar:
Posting Komentar