بسم الله الرحمن الحيم
الله SWT berfirman :
واعبد ربك حتى يأتيك اليقين
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang keyakinan padamu (mati)-Al-Hijr 99
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dari Abu Hurairah RA bahwa رسول الله SAW bersabda :
سبعة يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل وشاب نسأ بعبدة الله تعالى
ورجل قلبه معلق بالمسجد ادْا خرج منه حتى يعود اليه ورجلان تحاب فى الله اجتمع على دْالك
وتفرقا عليه ورجل دْكر الله تعالى خاليا ففاضة عيناه ورجل دعته امرأة دْات حسن و جمل فقال انى اخاف الله
رب العالمين ورجل تصدق بصدقة فاخفاهاحتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
Yang artinya : Tujuh orang yang akan diberi naungan oleh الله SWT pada hari tiada naungan melainkan naungan-Nya.
1. Imam yang adil.
2. Pemuda yang gemar melakukan ibadah kepada الله SWT.
3. Seorang yang hatinya selalu bergantung (berhubungan) dengan masjid apabila keluar sampai dia kembali.
4. dua orang yang saling mencintai karena الله SWT, mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya.
5. Seorang yang berzikir kepada الله sendirian maka kedua matanya berlinang air mata.
6. Seorang lelaki yang diajak seorang wanita yang cantik jelita dan ia menjawab, “Sesungguhnya aku takut kepada الله Tuhan semesta alam”.
7. Seseorang yang bersedekah dengan suatu pemberian secara tersembunyi, hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.
Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi mengatakan, saya telah mendengar ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, Ubudiyah lebih sempurna daripada ibadah. Tingkatan dasarnya adalah ibadah kemudian ubudiyah, dan yang tertinggi adalah ‘ubudah. Ibadah dimiliki oleh orang awam (umum). Ubudiyah dimiliki oleh orang khawas. ‘Ubudah dimiliki oleh orang khwas al-khawas.” Beliau juga mengatakan, “Ibadah dimiliki oleh orang yang memiliki ilmu yakin. Ubudiyah dimiliki oleh orang yang mempunyai ainul yakin. Dan ubudah dimiliki oleh orang yang mempunyai haqul yakin”. Beliau juga mengatakan, ibadah dimiliki oleh orang yang mujahadah (bersungguh-sungguh). Ubudiyah dimiliki oleh orang yang Mukabadah (Yang terbebani dengan beratnya cobaan), Ubudah dimiliki oleh orang yang musyahadah (menyaksikan Tuhan).” Barang siapa yang tidak merendahkan dirinya maka dia adalah pemilik ibadah. Barang siapa yang tidak kikir pada hatinya maka dia adalah pemilik ubudiyah. Sedangkan barang siapa yang tidak kikir pada ruhnya maka ia adalah pemilik ubudah.
Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud ubudiyah adalah menegakkan ketaatan secara bersungguh-sungguh dengan pengagungan, memandang apa yang datang dari dirimu dengan pandangan merendahkan, dan menyaksikan sesuatu yang dihasilkan dari perjalanan hidupmu sebagai ketetapan الله. Menurut pendapat yang lain yang dimaksud ubudiyah adalah meninggalkan ikhtiyar terhadap sesuatu yang riil sebagai suatu ketetapan. Sebagian ulama berpendapat yang dimaksud ubudiyah adalah menolak daya upaya dan kekuatan dan mengakui sesuatu yang telah diberikan dan diatur oleh الله SWT berupa umur yang panjang dan anugerah. Menurut sebagian yang lain yang dimaksud ubudiyah adalah melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang.
Abu AbduLlah Muhammad bin Khafif pernah ditanya “Kapan ubudiyah dianggap sah.” Dia menajwab, “Apabila dia telah melimpahkan semua urusan kepada Tuhannya dan bersabar atas cobaan-Nya”.
Menurut Sahal. Ibadah seseorang tidak dianggap sah sampai ia tidak mengeluh dalam empat hal : Lapar, telanjang (tidak memiliki sandang), fakir dan hina. Menurut satu pendapat yang dimaksud ubudiyah adalah menyerahkan segala urusan kepada الله SWT dan menanggung semua urusannya. Menurut satu pendapat lagi, tanda-tanda ubudiyah adalah menghindarkan pengaturan dan menyaksikan ketetapan.
Dzunun Al-Mishri mengatakan, “Yang dimaksud ubudiyah adalah menjadi hamba yang selalu berada di dalam segala hal sebagaimana Tuhan yang selalu berada dalam segala hal. “. Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Penghamba kenikmatan sangat banyak jumlahnya dan penghamba Dzat Pemberi ni’mat sangat kuat eksistensinya”.
Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata, “Saya telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, ‘ Engkaiu adalah budak yang engkau sendiri berada di dalam perbudakannya dan tawanannya. Apabila engkau berada di dalam tawanan dirimu , meka engkau adalah budak duniamu’”.
رسول الله SAW bersabda :
تعس عبد الدرهم تعس عبد الديار تعس عبد الخميصة
Alangkah celaka budak dirham, celaka budak rumah, celaka budak pakaian.
Ismail bin Najid mengatakan, “Jangan mencintai seseorang yang mengerjakan Ubudiyah sehingga ia dapat menyaksikan perbuatannya memperoleh karunia dan menyaksikan keadaannnya memperoleh tuntutan.” AbduLlah bin Manazil mengatakan.”Hamba adalah orang yang tidak menuntut pelayanan atas dirinya karena jika demikian maka dia telah menjatuhkan batasan Ubudiyah dan meninggalkan tatakrama.”
Sahal bin AbduLlah mengatakan Tidak layak bagi hamba beribadah hingga tidak dapat melihat pengaruh kemiskinan dalam ketiadaan, dan melihat pengaruh kekayaan dalam keberadaan”. Menurut satu ungkapan, Ubudiyah adalah menyaksikan Tuhan.
Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata saya telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Saya telah mendengar Ibrahim An-Nash Abadzi berkata,’Nilai orang yang menyembah tergantung dari yang disembah, sebagai mana kemuliaaan orang yang makrifat tergantung yang dimakrifati”.
Menurut Abu Hafs, Ubudiyah adalah hiasan hamba. Barang siapa yang meninggalkannya maka ia tidak akan mendapatkan hiasan. Menurut An-Nabaji, dasar ibadah memiliki tiga bentuk :
1. tidak menolak hukum hukum الله SWT.
2. Tidak merendahkan sesauatu.
3. tidak meminta kepada orang lain karena kebutuhan.
Menurut Ibnu Atha’ Ubudiyah memiliki empat bentuk,
1. memenuhi janji
2. menjaga batasan-batasan hukum
3. ridha terhadap sesuatu yang ada
4. sabar terhadap sesuatu yang tidak ada
‘Amru bin Utsman Al Makki menuturkan kisahnya, “Saya tidak pernah melihat seorang penyembah di kebanyakan tempat yang saya temuai di Makkah Al-Mukarramah, tidak juga seorang pun yang datang kepada kami pada musim-musim haji atau yang lain, yang sungguh-sungguh beribadah. Tidak pula dijumpai perilaku ibadah yang berketetapan dan terus menerus menjalankan ibadah dengan keberanian menanggung hal-hal yang sulit. Saya juga tida melihat seorangpun yang benar-benar mengagungkan perintah الله SWT, tidak pula hamba yang berani mempersempit dirinya dan memperluas orang lain.”
Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata, “Guru saya Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada Ubudiyah dan tidak ada nama yang lebih sempurna bagi orang mukmin selain nama yang diakitkan dengan fungsi ubudiyah / penghambaan. Oleh karena itu الله SWT mensifati Nabi terkasihnya Muhammad SAW pada malam mi’raj dengan panggilan :
سبحن الدْى اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الاقصى
Maha Suci Dzat yang telah memperjalankan hamba-Nya dari Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsha.
Dan firma الله yang lain :
فأوحى الى عبده ما أوحى
Maka diwahyukan kepada hamba-Nya apa apa yang diwahyukan
Sehingga seandainya ada gelar yang lebih mulia daripada sifat kehambaan tentulah Dia telah memberikannya untuk beliau. Dalam konteks inilah disya’irkan :
Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku demi Zahra-ku
Penglihatan dan pendengaran tahu semua ini
Jangan panggil diriku kecuali dengan “Wahai hamba Zahra”
Sesungguhnya nama termulia panggilan itu bagiku
Sebagian ahli sufi mengatakan, “Hanya ada dua yang penting, senang dengan sesuatu yang lekat pada dirinya dan percaya pada kemampuan gerak. Jika dua perkara ini terlepas dari anda maka anda benar-benar telah membuktikan fungsi ubudiyah.”
Waspadalah kalian pada lezatnya pemberian sesungguhnya kelezatan ini menjadi tutup bagi orang-orang yang berhati jernih”. Demikian kata Muhammad Al-Wasithi.
Abu Ali al-Jurjani mengatakan, “Ridha adalah ruang ubudiyah. Sabar adalah pintunya, sedagnkan sikap pasrah adalah rumahnya. Karena itu suara ubudiyah berada di pintu, kekosongan diri berada di dalam ruangan, dan istirahat terletak di dalam rumah”.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Sebagaimana Rububiyah (sifat ketuhanan) merupakan sifat Al-Haq yang tidak pernah berubah, maka ubudiyah sebagai sifat hamba tidak boleh terpisah selamanya”.
Sya’ir :
Jika kalian meminta kepada-Ku
Katakan “inilah saya hamba-Nya”
Sekalipun mereka yang meminta
Mengatakan “inilah Engkau Tuhanku”.
Ibrahim An-Nashr Abadzi mengatakan, “Ibadah menuntut kelapangan, sedangkan permohonan maaf yang disebabkan kekurangannya adalah lebih dekat pada permintaan ganti dan balasan. Ubudiyah menggugurkan penglihatan hamba atas ketersingkapan intuisi pada yang Disembah.
Menurut al-Junaid, Ubudiyah adalah sikap meninggalkan kesibukan,dan penyibukan diri dengan hal yang merupakan pangkal dari kekosongan (fana’).
0 komentar:
Posting Komentar