“Orang-orang yang beriman kepada (kitab) yang diturunkan kepada Engkau (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang diturunkan sebelmum Engkau, sedang mereka yakin akan adanya hari akhir”. (QS Al-Baqarah 4).
Dari AbduLlah bin Mas’ud diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Engkau tentu tidak akan rela kepada seseorang sebab kemurkaan Allah kepada mereka. Dan tiadalah engkau memuji seseorang atas keutamaan Allah Ta’ala yang diberikan kepada mereka. Dan engkau tidak akan mencela seseorang atas apa yang tidak diberikan Allah kepadamu. Karena sesungguhnya rizki Allah Ta’ala, kelobaan orang yang loba tidak akan dapat menghalanginya darimu, dan kebencian orang yang benci tidak akan mampu menolaknya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala dengan sifat ‘adil-Nya menjadikan kebahagiaan dan kesenangan dalam kerelaan dan keyakinan, dan menjadikan kesusahan dan dukacita dalam keraguan dan kemurkaan”.
Ahmad bin Ashim Al-Anthaki mengatakan, “Sesungguhnya sesedikit apapun yakin apabila sudah sampai ke lubuk hati maka hati akan penuh dengan cahaya, keragu-raguan akan hilang, hati akan penuh dengan syukur, dan bertambah takut kepada Allah”.
Diriwayatkan dari Abu Ja’far Al-Hadad yang mengatakan bahwa Abu Thurab An-Nakhsyaby pernah melihatku ketika aku sedang duduk di tengah padang pasir dekat kolam ikan, sedangkan saya selama 16 hari belum makan dan minum.
“Bagaimana posisimu saat ini ?“ Tanya Abu Thurab kepadaku.
“Saya sedang diantara ilmu dan yakin. Saya sedang menungu sesuatu yang dapat mengalahkan sehingga saya dapat bersamanya, yakni apabila ilmu yang menang maka saya akan minum, dan apabila yakin yang menang maka saya akan pergi”.
“Keadaanmu akan tetap seperti itu”. Katanya.
Menurut Abu Utsman Al-Hirri, yang dimaksud yakin adalah sedikitnya cita-cita bagi masa yang akan datang. Menurut Sahal bin AbduLlah, yakin merupakan tambahan iman dan realitas kebenaran. Dia juga berpendapat, yakin merupakan cabang dari ima, bukan pembenaran. Sedangkan menurut sebagian ulama, yakin adalah ilmu yang tersimpan di dalam hati. Ungkapan ini memberikan petunjuk kepada hal-hal yang tidak perlu diusahakan. Sahal bin AbduLlah mengatakan, permulaan yakin adalah terbukanya tabir rahasia. Oleh karena itu sebagian ulama salaf mengatakan, “apabila tabir penutup telah terbuka, maka keyakinan akan bertambah, pertolongan Allah akan didapatkan, musyahadah akan dapat dioptimalkan”.
Menurut Abu AbdiLlah bin Khafif yang dimaksud yakin adalah nampaknya berbagai rahasia melalui penerapan hukum-hukum yang implisit. Menurut Abu Bakar bin Thahir, ilmu selalu bertentangan dengan keragu-raguan sedangkan yakin tidak mendatangkan keragu raguan. Dia memberikan sinyalemen tentang hal itu pada ilmu kasbi (yang diusahakan) dan hal-hal yang berlaku untuk sesuatu yang badhi’i (riil). Oleh karena itu ilmu yang dimiliki oleh orang dalam permulaan merupakan urusan ilmu kasbi (yang diusahakan) sedangkan yang akhir merupakan urusan badhi’i.
Muhammad bin Husain mengatakan, “Sebagian ulama menyebutkan permulaan tempat (maqam) adalah ma’rifat, kemudian yakin, pembenaran, ikhlas, persaksian, kemudian ta’at”. Iman adalah nama yang mencakup keseluruhan. Ini dapat dijadikan indikasi bahwa permulaan wajib adalah ma’rifat kepada Allah SWT. Ma’rifat tidak aakn terealisir kecuali mendahulukan syarat-syaratnya. Ini dapat disebut pandangan yang benar. Apabila argumrntasi dapat teraplikasi dan keterangan dapat terealisir, maka pandangan yang benar akan menjadi optimal sejalan dengan aplikasi cahaya dan realisasi analisa seperti orang yang tidak membutuhkan analisa argumentasi. Inilah yang disebut keadaan yakin. Membenarkan Allah SWT terhadap apa – apa yang telah diinformasikan adalah mendengarkannya untuk memenuhi ajakan terhadap apa yang telah disampaikan melalui perbuatan di masa yang akan datang, karena pembenaran akan terwujud dalam bentuk-bentuk yang bersifat informatif. Ikhlas selalu terkait dengan hal-hal yang diikuti pelaksanaan perintah. Memenuhi ajakan dapat direalisasikan dengan persaksian yang baik. Pelaksanaan taat dapat dioptimalkan dengan tauhid (menyatu) dengan apa-apa yang diperintah dan menghindari apa-apa yang dilarang. Pengertian ini dapat dijadikan indikasi oleh Imam Abu Bakar Furak sebagaimana ungkapannya, “dzikir lisan merupakan kelebihan yang akan memenuhi hati”.
Menurut Sahal bin AbduLlah, diharamkan bagi hati mencela semerbak baunya hati karena ketenangan di dalam hati tidak tidak akan tertuju kepada Allah SWT. Menurut Dzunun Al-Mishri, yakin akan mendorong pendeknya angan-angan dan cita-cita, cita-cita yang pendek akan mendorong zuhud, zuhud akan memberikan hikmah, dan hikmah akan memberikan pandangan kritis yang membawa akibat yang baik. Dia juga berpendapat ada tuga bentuk dari tanda-tanda yakin. Pertama, sedikit pergaulan dalam bermasyarakat. Kedua, meninggalkan pujian dalam pemberian. Ketiga, tidak mencela orang lain apabila mendapatkan rintangan. Juga terdapat tiga bentuk dari tanda yakinnya yakin. Pertama, memandang Allah SWT dalam segala sesuatu. Kedua, kembali kepada Allah SWT dalam segala urusan. Ketiga, meminta pertolongan kepada Allah SWT dalam segala hal.
Menurut Al-Junaid RA yang dimaksud yakin adalah ilmu yang stabil dan tidak berbolak-balik, tidak berpindah-pindah dan tidak nerunah-ubah di dalam hati. Sedangkan menurut Ibnu atha’, atas kadar kedekatan mereka kepada taqwa, maka mereka akan menemukan yakin sebagaimana yang telah mereka temukan. Pondasi takwa adalah meninggalkan larangan, berarti meninggalkan hawa nafsumaka mereka akan sampai kepada yakin. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud yakin adalah mikasyafah (rahasia terbukanya tabir). Mukasyafah terbagi menjadi tiga. Pertama mukasyafah terhadap hal-hal yang baik. Kedua, mukasyafah dengan menampakkan kemampuan. Ketiga, mukasyafah hati dengan esensi keimanan.
Perku diketahui bahwa mukasyafah dalam pembahasan ulamamerupakan pelajaran yang dapat merealisasikan sesuatu dalam hati dengan mengatur ingatan tanpa menimbulkan keragu-raguan. Terkadang mereka hendak bermukasyafah dengan hal-hal yang dekat yang dapat terlihat diantara keadaan jaga dan tidur. Akan tetapi kebanyakan diantara mereka meredaksionalkan hal itu dengan tidur.
Syaikh Imam Al-Qusyairi mendengar dari Al-Imam Abu Bakar bin Furak yang mengatakan, bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Utsman Al-Maghribi, “Apa yang ingin engkau katakan”.
“Saya telah melihat pribadi-pribadi orang demikian....demikian...”. jawab Abu Utsman.
“Apakah engkau melihat dengan mu’ayyanah (penglihatan mata secara alngsung) atau mukasyafah (penglihatan mata hati) ?”.
“Dengan mukasyafah”. jawabnya
Menurut Amir bin Qais, seandainya tertutupnya rahasia telah terbuka, maka keyakinan akan menjadi bertambah. Menurut satu pendapat, yang dimaksud yakin adalah melihat benada yang nyata dengan kekuatan iman. Sedangkan pendapat lain menyebutkan, ayng dimaksud yakin adalah hilangnya segala hal yang bertentangan di dalam hati. Menurut Al-Junaid yang dimaksud yakin adalah hilangnya keragu-raguan di hadapan Allah SWT.
Saya (syaikh Al-Qusyairi) telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq mnegungkapkan sabda Nabi Muhammad SAW tentang Nabi Isa bin Maryam AS, “Apabila Nabi Isa bertambah yakin, niscaya ia akan mampu berjalan di udara”. Beliau memberi petunjuk tentang hal itu terhadap keadaan Nabi Muhammad SAW sendiri yang telah mampu berjalan di malam mi’raj . di dalam kitab lathifal-Mi’raj dijelaskan, “Saya melihat Buraq sedang menunggu lantas saya berangkat”.
Syaikh Sary As-Saqathi perbah ditanya tentang yakin, beliau menjawab, “yang dimaksud yakin adalah ketenangan dirimu ketika mengelilingi jalur-jalur yang ada di dalam dadamu untuk meyakinkan bahwa gerakanmu di dalam dada tidak akan memberikan pertolongan dan tidak akan pula dapat menolak apa yang telah ditetapkan”.
Menurut Sahal bin AbduLlah, hati yang hadlir di hadapan Allah SWT lebih utama daripada yakin karena hadir ibarat tempat perlindungan sedangkan yakin ibarat pemikiran. Seakan-akan yakin dijadikan sarana untuk memulai hadlir , sedangkan hadlir merupakan kontinuitas yang abadi. Demikian juga seakan-akan hasil dari yakin diperbolehkan lepas dari hadlir dan dapat mentransfer kebolehan hadlir tanpa yakin. Oleh karena itu Imam Nawawi mengatakan, “yakin adalah musyahadah, yakni di dalam musyahadah terdapat yakin yang tidak menimbulkan keragu-raguan, kareana ia akakn disaksikan oleh orang yang tidak mempercayai tempat perlindungannya. Sedangkan menurut Abu Bakar Al-Waraq, yakin diibaratkan raja yang ada di dalam hati. Dengan yakin iman akan menjadi sempurna, dan Allah SWT akan diketahui, dan dengan akal Allah SWT akan dimengerti. Menurut Al-Junaid, para pemimpin berjalan di atas air dengan yakin, sedangkan orang yang meninggal dunia karena kehausan lebih utama keyakinannya daripada mereka.
Ibrahim Al-Khawas bercerita, “Saya bertemu seseorang pemuda di padang Tih, seakan-akan ia tampak seperti sebatang perak.
“Engkau hendak ke mana wahai pemuda ?” tanyaku.
“Hendak ke Makkah”.
“Apakah engkau berjalan tanpa membawa bekal, kendaraan dan nafkah ?”.
Dia menjawab, “Wahai orang yang lemah keyakinan, Dzat Yang mampu menjaga langit dan bumi, apakah Dia tidak akan mampu mengantarkan diriku ke Makkah tanpa ketergantungan ?”.
Ketika saya memasuki Makkah tiba-tiba saya berada di tempat tawaf, dan pemuda itu bersyair :
Wahai mataku yang terkelupas selamanya.
Wahai jiwa kematianku yang berdukacita
Jangan kau mencintai seseorang.
Kecuali Dzat Yang Maha Agung dan Mulia.
Ketiak dia melihat diriku, dia mengatakan kepadaku, “apakah engkau selalu lemah keyakinan ?”
Menurut Ishaq an-Nahr Jauri, apabila seorang hamba telah menyempurnakan hakikat yakin, maka cobaan akan menjadi kenikmatan dan kemudahan akan menjadi musibah. Menurut Abu Bakar Muhammad Al-Waraq, yakin terbagi menjadi tiga, Pertama yakin kepada kabar (yaitu ilmu yang dihasilkan dari khabar para Nabi SAW tentang sesuatu yang ghaib dari kesaksiannya berupa surga, neraka dan berbagai keadaan di hari kiyamat). Kedua yakin kepada petunjuk atau bukti (yaitu ilmu atau keyakinan yang dihasilkan dengan pemikiran yang berdasarkan dalil tentang kejadian alam, dan semuanya itu menunjukkan kebaruannya, kesempurnaan-Nya, kesempurnaan sifat-sifat-Nya, ketiga yakin kepada persaksian (ilmu).
Abu Thurab An-Nakhsyabi mengataakn, “Saya pernah emlihat seorang pemuda di padang pasir yang berjalan tanpa membawa bekal. Saya bergumam, ‘apabila pemuda itu tidak mempunyai keyakinan, maka ia akan meninggal dunia’”. Lantas saya bertanya, “Wahai pemuda, apakah di tempat seperti ini engkau tidak membawa bekal ?”.
Dia menjawab,” Wahai orang tua, angkatlah kepalamu apakah engkau emlihat selain Allah SWT ?”
Saya mengatakan, “pergilah sekehendakmu”.
Abu Said Ahmad Al-Kharaz mengatakan, yang dimaksud ilmu adalah sesuatu yang dapat memberikan pekerjaan kepadamu, sedangkan yang dimaksud yakin adalah sesuatu yang dapat mengantarkan dirimu (pada apa yang engkau harapkan).
Ibrahim AL-Khawas mengatakan, “Saya mencari penghidupan untuk mendapatkan makanan yang halal. Lantas saya berburu ikan. Suatu hari saya terjatuh ke dalam jala yang di dalamnya terdapat ikan. Ikan itu saya keluarkan dan jalanya saya lemparkan ke dalam air. Setelah itu saya terjatuh lagi ke dalam jala yang di dalamnya terdapat ikan yang lain. Ikan itu lantas saya lemparkan. Kejadian itu berulang-ulang sehingga ada suara ghaib mengatkan kepadaku, “Engkau tidak akan menemukan penghidupan kecuali engkau datang kepada orang yang ingat kepada kami lantas engkau bunuh mereka”. Setelah itu saya pecahkan kayu (alat untuk berburu) dan aku tinggalkan binatang buruan
0 komentar:
Posting Komentar