بسم الله الرحمن الرحيم
Takutlah pada manisnya ta’at karena ia akan dapat menjadi racun yang membunuh
Ridha ( الرض )
Allah SWT berfirman :
رضي الله ورضوا عنه دٍْْلك الفوز الظيم الماءدة 119
Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada-Nya. Itulah kemenangan yang besar.
Dari Jabir diceritakan bahwa RasuluLlah SAW bersabda, “Pada suatu hari ahli surga berada di suatu tempat. Tiba-tiba ada cahaya memancar di atas pintu surga. Mereka mengangkat kepala. Allah SWT telah memuliakan mereka seraya berfirman : Wahai ahli surga memohonlah kepada-Ku. Mereka mengatakan, ‘Kami memohon keridhaan-Mu’. Allah SWT berfirman, : Keridhaan-Ku adalah Aku menghalalkan tempat tinggal untuk kalian dan kemuliaan-Ku selalu bersama kalian. Pada saat ini memohonlah kepada-Ku. Mereka mengatakan, ‘ kami memohon tambahan’. Kemudian mereka diberi hewan kendaraan yang terdiri dari yaqut berwarna merah. Tali pengikatnya terbuat dari zamrud berwarna hijau dan merah. Mereka mendatangi hewan kendaraan itu yang sedang meletakkan telapak kakinya . Demikian pula Allah SWT memberikan pohon-pohon yang berbuah yang berdampingan dengan para bidadari. Mereka mengatakan ‘ Kami perempuan-perempuan yang nikmat dan yang tidak menyengsarakan. Kami wanita yang kekal yang tidak akan mati, dan kami sebagai isteri-isteri orang beriman dan sangat mulia’. Setelah itu Allah SWT memberikan bukit pasir yang terdiri dari minyak misik putih yang semerbak baunya sampai ke surga Adn. Para Malaikat mengatakan, “Yaa Tuhan ,orang-orang telah datang’. Allah SWT berfirman : Selamat datang wahai orang-orang baik dan ta’at.’ Kemudian hijab (tirai) terbuka. Mereka memandang Allah SWT. Mereka bersenang – senang dengan cahaya Tuhannya, sehingga sebagian mereka tidak dapat melihat sebagian yang lain. Allah SWT berfirman : kembalikanlah mereka wahai malaikat ke gedung-gedung tempat tinggal mereka dengan membawa hadiah. Merekapun lantas kembali dan sebagian mereka dapat lagi melihat sebagian yang lain. Itulah yang dimaksud firman Allah SWT :
نزلا من غفور الرحيم
Sebagian Rezeki datang dari Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih
Ulama Irak dan Khurasan berbeda pendapat tentang ridha, apakah ridha itu termasuk keadaan ( الاحوال ) atau tempat / maqam (Kedudukan). Menurut Ulama Khurasan, ridha termasuk bagian dari maqam yaitu puncak dari tawakal. Artinya ridha dapat ditafsiri sebagai sesuatu yang dapat menghantarkan hamba kepada Allah SWT karena usaha-usahanya. Sedangkan menurut ulama Irak, ridha termasuk bagian dari sesuatu yang turun dan bersemayam di hati sebagaimana keadaan yang lain. Menyatukan dua pendapat tadi sangatlah baik dan mungkin yaitu bahwa permulaan ridha dapat diusahakan oleh hamba dan ini merupakan bagian dari tempat ( المقام ), sedangkan puncaknya yang merupakan bagian dari keadaan (الاحوال), maka itu tidak dapat diusahakan.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq menyatakan, “Tidak dapat disebut ridha jika seseorang belum pernah mendapatkan cobaan. Namun dapat disebut ridha jika dia tidak menentang hukum dan keputusan Allah SWT.”
Perlu diketahui bahwa kewajiban hamba adalah ridha terhadap keputusan yang telah diperintahkan untuk ridha kepadanya. Karena segala sesuatu tanpa keputusan akan menjadi boleh. Kewajiban hamba adalah ridha terhadap keputusan seperti ridha terhadap kemaksiyatan dan fitnah ujian orang-orang Islam.
Menurut guru sufi, ridha ibarat pintu Allah SWT yang besar. Orang yang memuliakan ridha maka dia akan dipertemukan dengan kecintaan yang penuh dan dimuliakan dengan pendekatan yang paling tinggi. Menurut Abdul Wahid bin Zaid, ridha diibaratkan pintu Allah SWT yang besar dan merupakan surga dunia. Seorang hamba hampir tidak meridhai Allah SWT kecuali Dia meridhaknnya.
Allah SWT berfirman :
رضي الله عنهم ورضوا عنه
Allah ridha kepada mereka dan merakapun ridha kepada-Nya.
Syaikh Abul Qasim Alqusyairi meriwayatkan bahwa Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq bercerita tentang seorang murid yang bertaya kepada gurunya, “Apakah seorang hamba dapat mengetahui bahwa Allah SWT ridha kepadanya ?”
“Tidak. Bagaimana dia akan mengetahui hal itu sedangkan ridha itu merupakan hal yang ghaib”.
“Dia mengetahui hal itu”. Bantah si murid.
“Bagaimana mungkin ?”
“Jika hatiku ridha kepada Allah SWT maka berarti saya tahu bahwa Dia ridha kepadaku”.
“Engkau benar wahai anakku”.
Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nabi Musa AS pernah mengatakan, “Yaa Tuhanku tunjukkanlah kepadaku perbuatan yang apabila saya kerjakan Engkau ridha kepadaku”. Allah SWT berfirman : ‘Engkau tidak akan mampu mengerjakan hal itu.’ Nabi Musa AS kemudian merebahkan diri dan bersujud serta berdoa. Setelah itu Allah SWT menurunkan wahyu :Wahai Putera Imran, Aku akan ridha apabila engkau ridha terhadap keputusan-Ku.
Menurut AbduRrahman Ad-daraani, apabila hamba meninggalkan syahwat maka dia adalah orang yang ridha. Menurut Ibrahim An-Nash Abadzi ‘Barang siapa yang ingin sampai ke tempat ridha maka kerjakanlah apa-apa yang telah dijadikan oleh Allah SWT ridha. Menurut AbduLlah bin Khafif ridha terbagi menjadi dua yaitu ridha dengan-Nya dan ridha kepada-Nya. Yang dimaksud ridha dengan-Nya adalah memikirkan dan merenungkan-Nya. Sedangkan ridha kepada-Nya adalah melaksanakan apa-apa yang telah diputuskan.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Jalan orang menuju Allah SWT lebih panjang yakni jalan latihan, sedangkan jalan orang yang waspada lebih dekat akan tetapi lebih sulit yakni mengerjakan dengan ridha dan ridha dengan keputusan.”
Menurut Ruwaim, yang dimaksud ridha adalah jika seandainya Allah SWT menjadikan neraka jahanam di sebelah kanannya maka dia tidak akan memohon agar neraka jahanam dipindah ke sebelah kirinya. Menurut Abu Bakan bin Thahir yang dimaksud ridha adalah menghilangkan kebencian di dalam hati, sehingga tidak sedikitpun yang tertinggal di dalam hatinya kecuali kebahagiaan dan kesenangan. Menurut Muhammad Al-Wasithi “Ridha harus dikerjakan berdasarkan kemampuan. Ridha tidak dapat dipaksakan untuk dikerjakan karena akan menjadi penghalang dengan tidak mendapatkan kenikmatan dan tidak dapat melihat hakikat sesuatu yang dipandang.
Perlu diketahui bahwa pernyataan Al-Washiti adalah sesuatu yang besar yang di dalamnya terkandung pernyataan untuk memutuskan orang-orang secara samar. Oleh karena itu tenang dalam menghadapi berbagai keadaan di hadapan mereka merupakan penghalang dari berbagai perubahan keadaan yang lain. Barang siapa yang menikmati ridha dan menemukan bau harumnya maka ia akan terhalang dengan keadaannya sendiri yang mengakibatkan jauh dari Allah SWT. Al Washithi juga menegaskan, “Takutlah pada manisnya ta’at karena ia akan dapat menjadi racun yang membunuh”.
Menurut Abu AbdiLlah bin Khafif yang dimaksud ridha adalah tenangnya hati menerima hukum-hukum Allah SWT dan ia bersepakat dengan segala sesuatu yang Allah SWT ridha dan memilihnya sebagai pegangan.
Rabi’ah Al-Adawiyah pernah ditanya, “Kapan seseorang disebut sebagai orang yang ridha ?”. Dia menjawab, ‘Apabila dia senang ketika mendapatkan musibah sebagaimana dia senang ketika mendapatkan kenikmatan’.
Menurut suatu cerita, As-Syibli pernah berkata kepada Al-Junaid “Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah SWT yang Maha Tinggi dan Maha Agung”. Kemudian Al-Junaid mengatakan, ‘Ucapanmu itu adalah ucapan orang yang sempit hati. Orang yang sempit hatinya akan meninggalkan ridha karena ada keputusan”. Stelah itu Asy-Syibli diam.
Abu Sulaiman berpendapat bahwa yang dimaksud ridha adalah jangan memohon kepada Allah SWT untuk mendapatkan surga dan jangan pula memohon perlindungan-Nya agar terhindar dari neraka.
Menurut Dzun-Nun tanda-tanda ridha ada tiga, 1. meninggalkan ikhtiyar sebelum keputusan, 2. menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, 3. cinta apabila mendapatkan cobaan.
Pernah ditanyakan kepada Husain bin Ali RA bahwa Abu Dzar mengatakan , “Fakir lebih aku cintai daripada sehat”. Husain mengatakan, ‘Mudah-Mudahan Allah SWT memberikan rahmat kepada Abu Dzar. Adapun saya maka aku tegaskan barang siapa bersungguh-sungguh di atas kebaikan dengan memilih Allah SWT maka dia tidak akan menerima sesuatu selain apa yang telah diputuskan-Nya.” Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan kepada Bisyir, “ Ridha lebih utama daripada zuhud di dunia karena orang yang ridha tidak mengharapkan sesuatu atas kedudukannya”.
Abu Utsman pernah ditanya tentang sabda Nabi Muhammad SAW, “Saya memohon kepada-Mu keridhaan setelah keputusan”. Dia menjawab, “ridha sebelum keputusan adalah ridha yang sebenarnya.’
Abu sulaiman mengatakan, “Saya berharap mampu mengetahui ujung dari ridha. Seandainya Allah SWT memasukkan diriku ke dalam neraka, maka saya akan tetap ridha”.
Menurut Abu Umar Ad-Dimsyaqi yang dimaksud ridha adalah menghilangkan keluh kesah dimana saja hukum berlaku. Menurut Al-Junaid yang dimaksud ridha adalah menghilangkan ikhtiyar (usaha/pilihan). Menurut Ibnu Atha’ yang dimaksud ridha adalah melihatnya hati kepada lamanya pilihan Allah SWT bagi hamba dengan meninggalkan kemarahan. Sedangkan menurut Ruwaim, yang dimaksud ridha adalah menerima hukum dengan senang hati.
Menurut Harits Al-Muhasibi, yang dimaksud ridha adalah tenangnya hati di bawah tempat-tempat berlakunya hukum. Menurut An-Nuuri yang dimaksud ridha adalah senangnya hati karena menerima pahitnya keputusan.
Al-Jauzi mengatakan, “Barang siapa ridha tanpa batas maka Allah SWT akan mengangkat derajatnya di luar batas”. Sedangkan Abu Turab An-Nakhsyabi mengatakan, “Siapapun tidak akan pernah mendapatkan ridha jika di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari dunia”.
Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Munthalib, bahwa RasuluLlah SAW bersabda, “
دْاق طعم الايمان من رضي باالله ربا
Akan merasakan lezatnya iman orang yang ridha terhadap Allah SWT sebagai Tuhannya.
Diceritakan bahwa Umar bin Al-Khatab menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ary, ....”bahwa kebaikan terletak pada keridhaan. Maka jikalau engkau mampu jadilah orang-orang yang ridha, jika tidak mampu jadilah orang yang sabar”.
Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa Uthbah bin Ghulam biasa menghabiskan malam-malamnya hingga pagi dengan berucap, “jika Engkau menghukumku maka aku akan tetap mencintai-Mu dan jika Engkau mengasihiku maka akupun tetap mencintai-Mu”.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Mabusia ibarat tembikar ia tidak memiliki pikiran menentang hukum Allah SWT. Beliau juga berkata, “seorang lelaki marah kepada budaknya. Budak itu meminta tolong kepada orang lain agar tuannya memberi maaf. Budak itu menangis sampai penolong itu bertanya ‘Kenapa engkau menangis padahal tuanmu telah memaafkanmu ?’ Maka tuannya menjawab, “Dia hanya meminta keridhaanku bukan yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar