Jumat, 18 Desember 2009

Lebih Utama Khauf atau Raja'


Penjelasan bahwa yang lebih utama itu adalah bersangatannya harap atau bersangatannya takut atau sedang dari keduanya.


Ketahuilah sesungguhnya hadits yang menerangkan keutamaan khauf (takut) dan raja (Harap) sangatlah banyak. Dan terkadang seseorang yang memperhatikan akan melihat keduanya lalu terliputi oleh keraguan manakah yang lebih utama dari keduanya. Ada yang mengatakan bahwa khauf itu lebih utama atau raja (yang lebih utama). Itu adalah pertanyaan yang tidak benar, seperti mereka yang mengatakan bahwa roti itu lebih utama daripada air minum. Adapun jawaban yang benar adalah bahwa roti itu lebih utama bagi orang yang lapar, sedangkan air itu lebih utama bagi orang yang kehausan. Apabila keduanya bersama-sama, maka dilihat mana yang lebih bersangatan. Apabila lapar yang dominan, maka roti lebih utama dan apabila haus yang lebih kuat, maka air minumlah yang lebih utama. Dan apabila keduanya seimbang, maka seimbang pula. Dan ini karena setiap apa yang dimaksudkan bagi sesuatu, maka jelaslah kelebihannya tidak pada dirinya sendiri. Adapun khauf dan raja adalah obat yang dengan keduanya hati akan diobati, dan keutamaan keduanya tergantung penyakit yang ada. Apabila bersangatan di dalam hati penyakit merasa aman dari siksa Allah Ta’ala dan tertipunya diri dengan hal ini, maka khauf atau takut lebih utama. Dan apabila yang menguasahi hati itu perasaan putus asa dari rahmat Allah, maka raja’ atau harap lebih utama. Maka demikian pula apabila yang bersangatan pada hamba adalah perbuatan maksiyat, maka khauf lebih utama. Dan boleh juga dikatakan secara mutlak bahwa takutlah yang lebih utama atas penta’wilan yang dikatakan bahwa roti itu lebih utama dari sakanjabiin karena dengan roti akan dapat dihilangkan rasa lapar sedangkan dengan sakanjabiin dihilangkan dengannya penyakit kuning. Dan kelaparan lebih urgen dan lebih banyak terjadi daripada penyakit kuning maka kebutuhan akan roti itu lebih banyak, jadi dialah yang lebih utama. Oleh karena itu dengan i’tibar ini dapat dikatakan bahwa khauf lebih utama karena maksiyat dan ketertipuan diri lebih banyak terjadi pada makhluk dan lebih menguasai. Dan jikalau dilihat dari tempat munculnya takut dan harap, maka haraplah yang lebih utama karena raja / harap itu mendapat curahan dari lautan rahmat sedang siraman takut itu berasal dari lautan amarah. Dan barang siapa yang memperhatikan sifat-sifat Allah Ta’ala yang menghendaki kasih sayang dan rahmat niscaya kasih sayang atas dirinya adalah lebih mengerasi. Dan tiadalah di balik kasih sayang itu tingkat (maqam).

Adapun takut maka tempat sandarannya adalah menoleh pada sifat-sifat yang menghendaki kekerasan maka tidaklah dicampuri kasih sayang sebagaimana turut campurnya bagi harap. Kesimpulannya, apa yang dikehendaki bagi yang lainnya seyogyanya dipakaikan kepadanya dengan istilah yang lebih patut, bukan dengan istilah lebih utama.

Maka kami katakan, bahwa bagi kebanyakan makhluk maka sifat khauf /takut adalah lebih patut bagi mereka daripada raja’. Yang demikian ini karena banyaknya maksiyat. Adapun orang-orang yang taqwa yang meninggalkan perbuatan dosa baik lahir maupun bathinnya, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, maka yang lebih patut bagi mereka adalah seimbang antara khauf dan raja’. Dan karena inilah “Apabila ditimbang khauf orang mukmin dan raja’ –nya maka samalah ia. Diriwayatkan bahwa ‘Ali KarramaLlahu Wajhah berakta kepada sebagian putera beliau, “Wahai anakku, takutlah kepada Allah dengan takut apabila engkau datang kepada Allah dengan membawa kebaikan seluru penduduk bumi niscaya tidak akan diterima-Nya semua itu darimu. Dan berharaplah kepada Allah dengan melihat jika engkau datang kepada Allah dengan membawa kejahatan seluruh penduduk bumi maka Allah akan mengampunimua.

Dan karena inilah telah berkata Umar RA., “Jika seluruh manusia diseru untuk masuk neraka kecuali satu orang, maka aku berharap bahwa akulah satu orang itu, dan apabila diseru kepada seluruh manusia untuk memasuki surga kecuali satu orang, maka takutlah aku jika akulah seorang itu”. Dan inilah ibarat dari bersangatannya takut dan harap dan sedangnya serta kebanyakan dan kekerasan akan tetapi di atas jalan berlawanan dan bersamaan. Maka seperti Umar RA seyogyalah bahwa bersamaan rasa takut dan harapnya.

Adapun orang yang bermaksiyat yang berperasangka bahwa ia adalah laki-laki yang dikecualikan dari orang-orang yang diperintahkan masuk neraka, maka yang demikian ini menunjukkan akan ketertipuannya.

Jika engkau mengatakan “seperti Umar, tidak seyogyanya khaufnya dan raja’nya seimbang / sama, akan tetapi seyogyanya lebih kuat raja’ (harap) nya seperti yang telah diterangkan dahulu pada awal kitab raja’. Dan kekuatannya seyogyalah menurut kekuatan sebab-sebabnya sebagaimana dicontohkan pada tanam-tanaman dan bibit.

Dan telah dima’lumi bahwa orang yang menebarkan bibit yang sehat pada bumi yang bersih dan ia bersungguh – sungguh mengusahakannya dan ia memenuhi apa yang dibutuhkan pada syarat-syarat bercocok tanam, niscaya kuatlah pada hatinya harapan untuk mendapatkan hasilnya dan tidaklah sama antara takut dan harapanya. Maka kondisi seperti inilah seharusnya yang ada pada orang-orang yang bertaqwa”.....

Maka ketahuilah bahwa orang yang mengambil ilmu berdasarkan dari lafadz dan contoh-contoh, akan banyaklah tergelincirnya. Yang demikian itu Walaupun kami telah mengemukakan contoh, maka tidaklah itu serupa/sesuai pada setiap segi dengan apa yang sedang kami bicarakan, karena sebab mengerasnya raja’ adalah ilmu yang dihasilkan dari percobaan / pengalaman, karena ia tahu dengan pengalaman itu akan sehatnya bumi dan bersihnya, sehatnya bibit da sehatnya udara, dan sedikitnya halilintar yang merusakkan pada tempat-tempat itu dan lain-lain.

Sesungguhnya contoh permasalahan kita adalah bibit yang belum dicoba jenisnya yang ditaburkan di tempat yang asing/ganjil, belum diketahui oleh penanam dan belum dicobainya, dan tanah itu ada pada negeri yang tiada diketahui adakah banyak halilintar padanya atau tidak. Maka perumpamaan penanaman yang demikian ini walaupun ia habiskan tenaganya, dan didatangkannya setiap kemampuannya, maka tiada akan mengalahkan khaufnya atas harapannya.

Dan yang dimaksud bibit pada masalah kita ini adalah iman. Dan syarat-syarat sahnya iman itu sangat halus. Dan yang dimaksud tanah/buumi adalah hati. Dan yang tersembunyi dari kekejian dan kebersihannya itu adalah dari syirik yang tersembunyi, nifak dan ria’. Dan kesembunyian akhlak padanya itu kabur. Dan bahaya-bahayanya itu adalah nafsu syahwat dan keelokan dunia dan berpalingnya hati padanya di masa mendatang meskipun selamat sekarang, dan yang demikian itu tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diketahui dengan pengalaman, karena terkadang datang dari sebab-sebab akan apa yang tidak disanggupi melawannya dan tidak pernah dicobakan / dialami seperti yang demikian.

Dan halilintar itu adalah huru hara hari kiyamat dan bergoncangnya i’tikad padanya. Dan yang demikian adalah dari apa yang tidak pernah dicobakan. Kemudian mengetam dan mengetahui ketika perpindahan dari kiyamat ke surga, yang demikian ini belum juga dicoba. Maka orang yang mengetahui hakikat dari perkara-perkara ini, jika ia lemah hati, penakut pada dirinya, maka sudah pasti akan lebih kuatlah khaufnya daripada raja’-nya sebagaimana akan dikisahkan tentang keadaan orang-orang yang takut dair para sahabat dan tabi’in. Dan apabia ia kuat hati, tetap hati dan sempurna ma’rifah, niscaya samalah takutnya dan harapnya. Adapun bahwa harapnya mengalahkan takutnya maka tidaklah demikian.

Dan adalah Umar RA bersangatan dalam menyelidiki hatinya, sehingga ia bertanya kepada Hudzaifah RA, adakah HUdzaifah mengetahui bekas-bekas kemunafikan, karena Hudzaifah itu telah dikhususkan oleh RasuluLlah SAW dengan mengetahui orang-orang yang munafik.

Maka siapakah orangnya yang mampu mengatakan sucinya hati seseorang dari kesembunyian nifak dan syirik yang tersembunyi ? Dan jikalau seseorang meyakini kebersihan hatinya pada yang demikian, maka darimana ia dapat merasa aman akan taqdir tidak baik Allah Ta’ala dengan penyerupaan halnya atas demikian dan penyembunyian kekurangannya dari yang demikian ?. dan jikalau ia mempercayai yang demikian, maka dari mana ia dapat mempercayai dengan ketetapannya di atas yang demikian sampai pada kesempurnaan khusnul khaatimah ?

Dan telah bersabda RasuluLlah SAW, “Sesungguhnya seseorang mengerjakan amal ahli surga selama lima puluh tahun sehingga tiada tinggal antara dirinya dan surga melainkan hanya sejengkal – pada riwayat lain – selain sekedar masa berhenti diantara dua kali perahan susu unta (untuk menunggu banyaknya susu) . Maka mendahului pada orang itu suratan amal lalu dicapkan / distempelkan baginya dengan amal perbuatan ahli neraka”.

Dan kadar berhenti diantara dua kali perahan susu unta adalah tidak memungkinkan adanya amal perbuatan dengan anggota badan akan tetapi sekadar gurisan yang masuk di dalam hati ketika mati lalu menghendaki suu’ul khaatimah – maka bagaimana merasa aman dari yang demikian.

Jadi yang paling ujung dari tujuan orang mukmin adalah sedang takutnya dan harapnya. Dan kuatnya harap / raja’ pada kebanyakan manusia itu disebabkan bersandar pada kepentingan diri sendiri dan sedikitnya ma’rifah. Dan oleh karena itulah Allah Ta’ala mengumpulkan keduanya pada sifat-sifat orang yang dipuji-Nya. Maka telah berfirman Allah Ta’ala, “Yad’uuna Rabbahum khaufan wathama’an” yang artinya, “Mereka menyeru Tuhannya dengan penuh ketakutan dan penuh harap”.

Dan Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wayad’uunaNaa Ragaban wa rahaban” yang artinya, “Mereka berdoa kepada Kami dengan perasaan harap dan takut”. (Al-Anbiya 90).

Dan manakah contoh Umar RA itu ? maka manusia yang ada pada zaman ini, lebih baik bagi mereka semua jika lebih kuat perasaan takutnya dengan syarat takut itu tidak mengeluarkan mereka kepada perasaan putus asa dan meninggalkan amal, dan merasa putus dari ampunan Allah Ta’ala sehingga menyebabkan kemalasan bagi mereka untuk mengerjakan amal dan membawa kepada terjerumusnya ke dalam perbuatan maksiyat, maka demikian ini adalah putus asa bukannya takut.

Sesungguhnya takut ialah yang dapat menggerakkan kepada amal, megeruhkan semua nafsu syahwat, dan mengejutkan hati dari kencenderungan kepada dunia dan membawanya kepada berjalan dari negeri ketertipuan. Maka itulah takut yang terpuji, bukan bisikan hati yang tidak membekas pada pengekangan- nafsu syahwat - atau menggerakkan - kepada amal-, dan bukan pula pemutus asaan – dari rahmat Allah Ta’ala- yang menyebabkan putus asa.

Dan telah berkata Yahya bun Mu’adz RA, “Barang siapa yang beribadah kepada Allah Ta’ala atas dasar khauf/takut semata, maka ia akan tenggelam ke lautan fikir. Dan barang siapa yang menyembah-Nya atas dasar raja’/harap semata maka ia akan berjalan dalam padang pasir ketertipuan”. Dan barang siapa yang mneyembah-Nya dengan khauf dan raja’ maka ia berjalan lurus pada tempat beralasannay dzikir”.

Makhul Ad-Dimasyqi berkata, “Siapa yang menyembah Allah Ta’ala dengan khauf maka ia orang merdeka. Siapa yang menyembah Allah Ta’ala dengan raja’ maka ia adalah pengharap. Barang siapa yang menyembah-Nya dengan mahabbah /cinta, maka ia adalah orang zindiq . dan barang siapa yang menyembah-Nya dengan khauf, raja’ dan mahabbah, maka mereka itulah orang-orang muuhidiin –Orang yang bertauhid/mengesakan Allah Ta’ala”.

Jadi tidak boleh tidak daripada mengumpulkan diantara hal-hal tersebut, dan lebih kuatnya khauf itu lebih patut, akan tetapi sebelum mendekati mati. Adapun pada keadaan mendekati kematian, maka yang lebih patut adalah kuatnya harap dan baik sangka Allah Ta’ala, karena takut sesungguhnya berlaku sebagaimana berlakunya cemeti untuk membangitkan amal perbuatan – dan telah terlewatlah waktu untuk beramal (karena akan mati). Dan orang yang emndekati kematian tidaklah mampu melakukan amal, kemudian ia tidak mampu kepada sebab-sebab ketakutan. Maka yang demikian itu memutuskan gantungan hatinya dan membantu kepada kesengsaraan matinya. Adapun semangat harap – ketika mendekati mati- maka itu akan menguatkan hatinya dan harapnya akan mencintakannya kepada Tuhannya yang ia akan kembali kepada-Nya. Dan tidak sepatutnya-lah meninggalkan dunia melainkan dalam keadaan mencintai Allah Ta’ala, agar dapat senang berjumpa dengan Allah Ta’ala. Karena orang yang senang akan perjumpaan dengan Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala-pun senang untuk berjumpa dengannya. Dan harap ­itu berdampingan dengan mahabbah/cinta. Maka siapa yang mengharap kemurahan-Nya niscaya Allah Ta’ala ia cintai.

Dan tujuan ilmu serta amal adalah ma’rifah (mengenal) kepada Allah Ta’ala sehingga ma’rifah akan membuahkan kecintaan, karena sesungguhnya tempat kembali adalah kepada-Nya, dan datang dengan kematian itu kepada-Nya. Dan siapa yang datang kepada yang dicintainya, niscaya besarnya kegembiraan menurut besarnya kecintaan. Dan barang siapa yang berpisah dari kecintaannya, niscaya besarlah cobaan dan azabnya.

Oleh karena itu apabila hati yang mengeras kepadanya, ketika menghadapi mati dengan kecintaan atas keluarga, anak-anak dan harta benda, tempat tinggal, sawah ladang, teman dan sahabat, maka inilah orang yang seluruh kecintaannya adalah kepada dunia. Maka dunialah yang menjadi surganya, karena surga ibarat suatu tempat untuk mengumpulkan semua kekasih. Maka matinya itu merupakan keluar dari surga dan dinding antara dia dan apa yang dirinduinya.

Dan tidak tersembunyi keadaan orang yang terhalang antara dia dengan yang dicintainya selain Allah Ta’ala dan selain dzikir kepada-Nya, dan selain ma’rifah dan fikir kepada-Nya. Sedangkan dunia dan segala sangkut pautnya itu selalu menggangguinya dari yang dicintainya.

Oleh karena itu dunia sesungguhnya adalah penjara karena penjara adalah ibarat tempat yang menghalangi dari bersenang-senang dengan yang dicintai. Dengan demikian kematiannya itu pada hakekatnya adalah mendatangi kepada yang dicintainya dan selamat dari penjara. Dan tidaklah tersembunyi keadaan orang yang terlepas dari penjara, dan dibiarkan ia bersama kekasihnya dengan tidak ada yang melarang dan mengeruhkan. Maka inilah permulaan apa yang dijumpai oleh setiap orang yang meninggalkan dunia, akan mendapat balasan setelah kematiannya itu dengan pahala dan siksa, terlebih lagi apa yang disediakan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-Nya yang shaleh dari apa yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terguris dalam hati manusia. Terlebih lagi apa yang disediakan Allah Ta’ala bagi hamba-hamba yang memilih mencintai dunia dari pada akhirat, dan ridha kepada dunia, dan hatinya tenang dengan kenikmatan dunia daripada belenggu dan rantai-rantai pasung dan berbagaimacam kehinaan dan yang menakutkan. Maka kita bermohon kepada Allah Ta’ala mati dalam keadaan sebagai Muslim dan dipertemukan dengan orang-orang shaleh. Dan tiada harapan kepada terkabulnya do’a ini selain dengan mengusahakan kasih sayang dari Allah Ta’ala. Dan tidak ada jalan kepada hal ini selain mengeluarkan kecintaan kepada selain-Nya dari hati dan memutus segala perhubungan terhadap segala sesuatu selain Allah Ta’ala –dari kedudukan, dan harta benda dan tempat tinggal.

Maka yang lebih utama kia berdoa dengan do’a yang dipanjatkan oleh RasuluLlah SAW, “Allahummar zuqny HubbaKa wahubba man ahabba-Ka, wahubba man yuqarribuny ilaa hubbi-Ka. Waj’al hubba-Ka ahabba ilayya minal maa’il baaridi” yang artinya, “Yaa Allah berilah aku kecintaan kepada-Mu dan mencintai orang yang cinta kepada-Mu, dan mencintai orang yang mendekatkanku kepada-Mu, dan jadikanlah kecintaan kepada-Mu sebagai sesuatu yang lebih aku cintai daripada air yang dingin”.

Dan yang dimaksud adalah kuatnya harap ketika akan mati itu lebih patut karena ia lebih menarik kepada mahabbah / kecintaan. Sedangkan kuatnya takut ketika belum dekat dengan kematian itu lebih patut karena lebih menarik kepada pembakaran nafsu syahwat dan lebih mencegah kecintaan terhadap dunia dari dalam hati. Karena itulah telah bersabda RasuluLlah SAW, “Jangan sekali-kali mati kamu sekalian melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Tuhannya”.

Dan telah bersabda Allah Ta’ala, “Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Maka berperasangkalah kepada-Ku sekehendaknya”.

Ketika Sulaiman At-Taimy mendekati ajal, berkatalah ia kepada puteranya, “Hai anakku, berbicaralah kepadaku akan hal-hal yang mudah/rukhsah dan sebutkanlah kepadaku tentang harap sehingga aku dapat berjumpa dengan Allah Ta’ala dalam keadaan khusnudhan kepada-Nya.

Demikian pula etuka Ats-Tsuuri mendekati wafat dan bersangatan kegundahannya, lalu beluai mengumpulkan para ulama di sekelilingnya untuk memberikan harapan kepadanya.

Dan telah berkata ahmad bin Hambal kepada puteranya ketika wafat, “Sebutkan kepadaku hadits-hadits yang menerangkan harap dan berbaik sangka kepada Allah Ta’ala / husnudhan.

Dan maksud dari semua ini adalah mencintakan dirinya kepada Allah Ta’ala. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman kepada Dawud AS, “perkasihkanlah Aku kepada hamba-hamba Ku”

Nabi Dawud AS bertanya, “Dengan apa ?”

Allah Ta’ala menjawab, “Dengan menyebutkan kebaikan, ni’mat /rahmat-Ku kepada mereka.

Jadi, puncak kebahagiaan adalah jika seseorang mati dalam keadaan cinta kepada Allah Ta’ala, dan itu dapat dihasilkan dengan ma’rifah dan mengeluarkan kecintaan terhadap kenikmatan dunia dari dalam hati sehingga dunia dan seisinya baginya tak ubahnya seperti penjara yang menghalangi dari Yang Dicintai. Karena itulah sebagian orang saleh melihat Abu Sulaiman Ad-Daarani di dalam mimpi bahwa beliau terbang di udara. Lalu yang bermimpi itu bertanya kepada Abu Sulaiman lalu Abu Sulaiman menjawab, “Sekarang aku terlepas”.

Ketika pagi harinya ia (orang yang bermimpi) menanyakan keadaan Abu Sulaiman, maka diberitakan kepadanya bahwa Abu Sulaiman kemarin telah meninggal.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008