Minggu, 22 Agustus 2010

PRAWIRA


PRAWIRA

Alloh SWT berfirman :
انّهم فتية آمنوا برّبهم وزدناهم هوداً
Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk “. (QS : Al-Kahfi 13)
RasuluLloh SAWW bersabda :
لا يزالُ الله تعالى في حاجة العبد مادام العبد في حاجة أخيه المسلم
Alloh Ta’ala senantiasa memenuhi kebutuhan hamba selama hamba tersebut memenuhi kebutuhan saudara muslimnya.
          Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Asal sifat prawira atau pemuda yang satria adalah keberadaannya yang senantiasa dalam urusan saudaranya. Beliau berkata, “Kesempurnaan akhlak semacam ini tidak ada yang memiliknya selain RasuluLlah SAWW. Setiap orang pada hari kiyamat akan  mengatakan “diriku....diriku...” sementara Nabi kita mengucapkan “Umatku...umatku..”
          Imam Al-Junaid mengatakan, “Sifat perwira atau satria adalah memaafkan kesalahan kawan-kawannya.” Dikatakan juga bahwa sifat al-futwah atau perwira adalah ketiadaan diri memandang lebih atas yang lainnya. Abu Bakar Al-Waraq mengatakan “Seorang pemuda satria adalah yang tidak memiliki musuh”. Muhammad bin Ali At-Turmudzi mengatakan,”Sifat perwira adalah menjadikan nafsu sebagai musuh Tuhanmu.” Dikatakan, seorang pemuda satria adalah yang tidak memiliki musuh dengan sapapun.
          Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, saya pernah mendengar Nashr Abadzi mengatakan bahwa para pemuda Ashabul Kahfi dinamakan pemuda satria adalah karena keimanannya pada Alloh dengan tanpa perantara”.
          Dikatakan juga bahwa pemuda satria adalah mereka yang berani menghancurkan berhala, sebagaimana yang digambarkan Alloh SWT dalam  firman-Nya :
  سمعنا فتى يذكر هم يقال له ابراهيم
Kami dengar seorang pemuda yang dipanggil –dengan nama- Ibrahim (yang mencela berhala-berhala ini) QS Al-Anbiya 60)
Pemuda ini menghancurkan berhala-berhala kaum kafir.
 فجعلهم جذذا
Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu terpotong-potong (QS Al-Anbiya 58)
Berhala pada diri manusia adalah hawa nafsunya, maka seseoarang yang mampu menentang hawa nafsunya pada hakikatnya adalah satria.
          Harits Al-Muhasibi mengatakan, “Sifat perwira adalah kemampuan mengambil sifat tengah-tengah dan adil”. Amru bin Utsman Al-Maky mengatakan, “Perwira adalah budi pekerti yang luhur”. Al-Junaid pernah ditanya tentang ini lalu dijawab, “mereka adalah orang yang tidak menjauhi orang miskin dan tidak menentang orang kaya”.
          Abul Qasim Nashr Abadzi mengatakan, “Sifat prawira adalah cabang dari sifat Al-Futuwah (satria) yang keberadaannya menentang rasa eksis dan harga diri”.
          Ahmad bin Hambal ditanya tentang ini lalu   dijawab, “Meninggalkan apa yang kamu inginkan dan kami takutkan”. Sebagian kaum sufi ditanya, “Apakah yang dimaksud al-futuwah ?’  lalu dijawab, “tidak membeda-bedakan antara orang yang makan bersamanya adalah seorang wali atau orang kafir”. Sebagian orang sufi menceritakan kisah seorang majusi yang bertamu ke rumah Nabi Ibrahim AS. Majusi itu meminta jamuan makan kepadanya.
          “Ya dengan syarat kamu harus masuk Islam”. Tawar Nabi Ibrahim AS.
          Orang majusi tersebut tidak mau dan meninggalkan Nabi Ibrahim AS, lalu Alloh menegur Nabi Ibrahim AS, “Hai Ibrahim, semenjak 50 tahun Saya memberinya makan meski dia kafir. Seandainya engkau mampu memberinya sesuap saja dengan tanpa syarat untuk merubah agamanya...?”
          Nabi Ibrahim AS merasa bahwa wahyu tersebut adalah teguran halus dari Alloh SWT. Beliau merasa bersalah atas sikapnya terhadap orang majusi tadi. Maka Nabi Ibrahim AS keluar mencari orang majusi tadi hingga menemukannya. Beliau meminta maaf atas sikapnya yang kurang meyenangkan. Orang majusi heran dan menanyakan sebab-musabanya. Maka Nabi Ibrahim pun menjelaskan sehingga orang majusi tersebut memeluk Islam dengan sendirinya.
          Al-Junaid mengatakan, “sikap perwira adalah kemampuan menahan penderitaan dan mencurahkan kemurahan.” Sedangkan menurut Sahal bin AbduLlah adalah mengikuti sunah. Ada beberapa pendapat yang memberikan definisi al-futuwah. Sebagian mengartikan pemenuhan janji dan pemeliharaan baik. Sebagian lagi mengartikan sebagai perolehan nikmat dan anda tidak memandangnya sebagai kelebihan anda. Ada juga yang mengartikan tidak lari ketika seseorang peminta menghadapnya atau tidak menutup jalan orang yang hendak mendatangi tujuannya atau juga tidak merasa rendah , direndahkan atau mencari-cari alasan.
Terkadang juga diartikan perwira penampakan nikmat  dan merahasiakan penderitaan, atau digambarkan seperti orang yang mengundang sepuluh orang dan tidak merasa keberatan jika yang hadir sebelas orang. Pada prinsipnya, sikap perwira adalah kemampuan untuk meninggalkan sikap membeda-bedakan.
Ahmad bin Hadrawaih mengusulkan kepada isterinya untuk mengundang seseorang. “Saya ingin mengadakan jamuan yang mengundang seorang penyair pengembara yang cerdas. Dia di negerinya dikenal sebagaai seorang tokoh muda yang berjiwa satria,” katanya.
          “Engkau tidak akan mendapatkan petunjuk dengan mengundang dia’” timpal isterinya.
          “Saya harus mendapatkan”.
          “Jika memaksakan, maka engkau harus menyembelih beberapa ekor kambing, sapi dan himar. Kemudian lemparkan binatang sembelihan itu dari pintu seseorang ke pintu rumahmu.”
          Mengenai kambing dan sapi maka saya memahminya, tetapi mengenai himar apa fungsinya ?”
          “Engkau hendak mengundang seorang pemuda satria untuk datang ke rumahmu, maka jangan menjadikannya lebih sedikit dari kebaikan yang dimiliki seekor anjing.”
          Dikisahkan sekelompok ulama mengadakan jamuan makan yang diantaranya terdapat syaikh Syairazi. Ditengah-tengah mereka makan, tiba-tiba rasa kantuk menyerang meraka .
“Apa penyebab kami tertidur ?”
“Tidak tahu. Namun barang kali ada yang bisa mencari alasan dari cerita saya ini. Sebelum mengadakan jamuan ini saya telah berusaha keras untuk bisa mengumpulkan hidangan dengan bahan-bahan yang jelas kecuali seekor anak kambing. Saya belum sempat menanyakan status hukum anak kambing itu”.
          Pagi berikutnya dia dan para undangan ini mendatangi penjual anak kambing. Mereka menanyakan asal mula anak kambing yang dibeli tuan pengundang.
“Saya sebelumnya tidak memiliki apa-apa,” jelas penjual kambing.” Kemudian saya mencucri seekor anak kambing dari seorang petani dan menjualnya.”
          Merekapun ahirnya mendatangi petni dan meminta keridhaannya. Petaniitu bersedia dengan ganti rugi  seribu ekor anak kambing, dan kami memberinya dengan tambahan sebidang tanah, dua anak sapi, seekor himar, dan beberapa alat pertanian.
          Dikisahkan pula tentang seorang pria yang menikahi seorang gadis. Sebelum menikmati malam pertamanya, laki-laki itu melihat penyakit cacar di sebagian tubuh isterinya. Dia terkejut dan spontan mengatakan “subhanaLloh, mataku sakit, saya menjadi buta”.  Isterinya terkejut tetapi tidak berapa lama ia kembali tenang karena suaminya masih bersikap baik dan setia. Dan waktupun berjalan. Sepasang suami isteri itupun hidup bahagia. Mereka menjalani hidup selama 20 tahun, selama itu pula ia tidak pernah mengalami perlakuan buruk dari suaminya sampai ia meninggal. Semenjak ditinggal mati isterinya, lelaki itu kembali membuka matanya.
          “Bagaimana mungkin anda bisa menjadi demikian ?”tanya tetangga yang heran melihat dirinya tidak buta lagi.
          “Saya sebenarnya tidak buta, hanya saja berpura-pura buta supaya isteriku tidak sedih karena  beban mental yang  disebabkan penyakit cacarnya”.
          “Engkau adalah satria sejati”. Timpal seseorang.
          Dzunun al-Mishri mengatakan,”Barang siapa yang menghendaki kepandaian (sikap satria) maka wajib atasnya meghidangkan air di Baghda”.
          “Bagaimana keadaannya ?”
          “Ketika saya dibawa menghadap khalifah karena tuduhan kafir, saya melihat seorang pelayan penghidang minuman yang memakai surban dan sarung tangan model mesir. Pelayan itu membawa beberapa guci keramik lengkap dengan gelasnya. Saya menunjuk ke arahnya seraya mengatakan, “Itu adalah seorang penghidang minuman khusus untuk raja.”
          Orang-orang menyangkalnya. “Bukan, dia adalah penghidang minuman untuk umum’. Melihat pengakuan itu, sayapun langsung mengambil guci dan meminumnya. Saya mengatakan kepada orang-orang di sekitarku, ‘Barang siapa mengikutiku, maka saya memberinya dinar.’ Namun tidak seorangpun yang berani megambilnya.’
          “Engkau hanyalah seorang tawanan. Bukanlah termasuk golongan satria jika kami mengambil sesuatu darimu.” Kata salah seorang pengunjung yang tidak setuju dengan tawaran Dzunun.
          Dikatakan juga bahwa sikap mengambil untung dari seorang kawan termasuk bukan jiwa satria.
          Diceritakan seorang pemuda Naisabur yang dikenal memiliki jiwa satria mengadakan perjalanan menuju kota Nasa. Ditengah istirahatnya disebuah penginapan, seorang pria bersama kawan-kawanya bertamu kepadanya untuk meminta jamuan. Para undangan itupun datang dan mereka makan bersama-sama. Selesai makan, seorang pelayan wanita keluar ke ruangan jamuan sambil membawa minuman. Dia menuangkan minuman ke masing-masing gelas di tangan para undangan. Namun begitu sampai kepada tuan rumah, dia menarik tangnnya dan mengambil wudhu. Para undangan keheranan dan bertanya-tanya. Pemuda itu mendekat seraya berkata, “Bukan termasuk orang yang satria jika membiarkan pelayan wanita menuangkan air ke dalam gelas di genggaman kaum pria”.
          “Saya semenjak beberapa tahun memasuki rumah ini,” Kata seorang pengunjung,’ belum pernah melihat seorang wanitapun yang menuangkan air minuman ke dalam gelas di tangan kaum pria”.
          Manshur Al-Maghribi berkata, “Seseorang bermaksud menguji Nuh Al-Ayyari An-Naisaburi, seorang ulama sufi naisabur. Orang itu kemudian membeli seorang budak wanita yang diberi pakaian laki-laki, dan memang budak itu dirias sehingga tampak seperti seorang pria tampan. Wajahnya sangat elok dan sikapnya menggemaskan. Budak itu dibawa ke rumah Nuh selama beberapa bulan. Selang beberapa waktu, bekas tuannya datang dan bertanya, “Apakah tuanmu (Nuh) telah mengetahui bahwa engkau adalah seorang budak wanita ?”
          “Tidak, dida tidak pernah menyentuhku sama sekali. Dia hanya membayangkan bahwa aku adalah seorang budak laki-laki”.
          Dikisahkan bahwa seorang laki-laki keji dan licik diminta istana untuk menyerahkan seorang budak guna melayani raja. Laki-laki itu menolak, maka raja memaksanya dengan memberi hukuman seribu cambuk, dan laki-laki itu tetap pada pendiriannya. Dia tidak mau menyerahkan budaknya meski dihukum berat. Bersamaan dengan itu, dimalam harinya dia bermimpi sampai mengeluarkan air mani. Dia tidak segera mandi jinabat hingga pagi hari karena udaranya sangat dingin. Seseorang yang meilhatnya bertanya, “engkau telah mempertaruhkan jiwamu.” Lalu dijawab, “saya sebenarnya malu kepada Alloh yang hanya mampu bersabar menerima pukulan seribu cambukan hanya karena makhluk, sementara untuk mandi jinabat dengan air yang dingin saja saya tidak mampu, padahal itu untuk memenuhi syariatnya.”
          Sekelompok pemuda berkunjung ke rumah seorang pemuda yang dikenal memiliki jiwa satria. Pemuda itu menerima mereka dan mengajaknya bepergian. Di tengah perjalanan mereka menghentikan langkah. Masing-masing mempersilahkan berangkat duluan,”Silahkan anda berangkat duluan’. Mereka diam tidak melangkah. Disusul orang kedua dan ketiga yang juga mengatakan hal yang sama, dan mereka tetap juga tidak bergeming dari posisinya. Hal itu berjalan cukup lama sampai tiap-tiap pengunjung saling berpandang-pandangan.
          “Tidaklah satria seseorang yang mempekerjakan orang yang melanggarnya dalam mendahului perjalanan,” kata sebagian mereka.
          “Lantas mengapa anda sendiri memperlambat langah ?” tanya seeorang kepada pemuda yang memiliki jiwa satria tadi.
          “Dia menjawab, “Di tengah jalan saya dihadang seekor semut. Tidaklah termasuk orang yang sopan jika ia saling mendaului, sementara seekor semut dibiarkan tertinggal  di belakang ; juga bukan seorang satria / perwira seseorang yang menyingkirkan semut dari jalan yang sedang dilaluinya. Karena itu saya diam menanti sampai semut itu merayap menghilang”.
          “alangkah baiknya engkau wahai pemuda !” para tamu itu kagum melihat kemuliaan akhlak pemuda itu. “Seperti engkaulah orang yang patut disebut satria”.
          Dikisahkan juga tentang seorang jama’ah haji yang ketiduran di kota Madinah. Dalam setengah sadarnya, ia dikejutkan oleh bayangan yang seakan-akan berhasil mencuri kantong uang dinarnya. Laki-laki tersebut lagsung terjaga dari tidurnya, lalu keluar dan diluar tenda dia melihat Ja’far Ash-Shadiq. Dia mencurigai Ja’far karena dialah orang yang pertama kali dilihatnya.
          “Engkau mencuri kantongku ?” Tuduhnya.
          “Apa isi kantongmu ?”
          Seirbu uang dinar.”
          Ja’far tidak menyangkal. Beliau langsung pulang mengambil sejumlah uang yang dinyatakan hilang dan memberikannya kepada laki-laki tadi. Lelaki itu kemudian membawanya pulang dan di dalam rumahnya ia melihat kantong uang dinarnya yang disangkanya hilang. Dia menyesal karena telah gegabah menuduh seseorang mencurinya, padahal ia tidak mengenal siapa lelaki itu. Dai kemudian mendatangi lelaki itu dan meminta maaf kepadanya, lalu mengembalikan uang dinar yang diterima darinya. Ja’far menolak seraya mengatakan,”Sesuatu yang telah saya keluarkan dari tangan saya tidak mungkin saya minta kembali”.
          Musafir ini merasa tidak enak, dia tidak tahu siapakah lelaki aneh  yang telah dituduhnya mencuri, “Siapakah beliau ?” tanyanya kepada seseorang.
          “Ja’far  Ash-Shadiq” jawabnya.
          Syaqiq Al-Balkhi pernah bertanya kepada Ja’far bin Muhmmad tentang alfutuwah ((jiwa satria)
          “Menurutmu sendiri apa “
          “Jika kami diberi, kami berterimakasih, jika tidak diberi kami bersabar”.
          “Anjing-anjing di kota kami juga berbuat seperti itu,”Timpal Ja’far.
          Wahai cucu RasuluLloh, kalau begitu menurut tuan apa makna alfutuwah ?”
          “Jika diberi kami memuliakannya, jika tidak diberi kami berterimakasih”.
          AbduLlah AL-Murta’isyi bercerita : Bersama Abu Hafsh kami serombongan menjenguk seorang ulama yang sedang menderita sakit keras.
          “Apakah tuan ingin sembuh ?”
          “ya”
          “Pukulah dia”. Perintah Abu Hafsh
          Si orang yang sakit tersebut kemudian berdiri lalu keluar bersama kami. Akhirnya, kami semua menjadi penghuni tempat tidur orang yang sakit dan kami menjadi orang yang dikunjungi.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008