Kamis, 31 Desember 2009

Risalah Al-Qusyairiyah

...

Malu


الله berfirman :

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللّهَ يَرََى

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya الله melihat segala perbuatannya (Al-‘Alaq 14)

رَسُْولُ اللّه SAWW bersabda :

اَلْحَيَاءُ مِنَ الاِيْمَان

“Malu itu sebagian dari iman”.

Suatu hari رَسُْولُ اللّه SAWW memberi pelajaran kepada para sahabat :

اِسْتَحْيُوْامِنَ اللّهِ تَعَالََى  قَالُوْا اِنَّا نَسْتَحْيِيْ يَا نَبِيَّ اللّهِ وَالْحَمْدُ لِلّهِ  قَالَ  لَيْسَ ذلِكَ  وَلَكِنْ مَنِ اسْتتَحْيَا مِنَ اللّهِ حقَّ الْحَيَّا ءِ فَالْيَحْفَطْ الّرأسَ وَمَا وَعَى وَلِيَحْفَظْ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى  وَلِيَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبَلَى  وَمَنْ اَرادَ الآخِرَةَ تَرَكََ زِيْنَةَ الدُّنْيَا  فَمَنْ فَعَلَ ذلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللّهِ حَقَّ الْحَيَاء

Malulah kalian pada الله dengan sebenar-benar malu”.

Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya kami telah merasa malu wahai Nabi Alloh. Kami bersyukur dapat berbuat demikian”.

Beliau bersabda, “Bukan demikian ! akan tetapi orang yang malu pada الله yang sebenarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa yang terekam di dalamnya, menjaga perut dan apa yang dihimpunnya, dan ingatlah kalian pada kematian dan bahayanya. Barang siapa menghendaki kampung akhirat maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Barang siapa mampu mengerjakan demikian, maka sungguh dia telah malu kepada الله dengan sebenar-benar malu”.

Sebagian orang bijak mengatakan, “Malulah kalian dengan rasa malu yang sesungguhnya di majlis orang-orang yang memiliki rasa malu”.

Ibnu Atha’ mengatakan, “Ilmu terbesar adalah rasa segan dan malu. Jika segan dan malu telah hilang, maka tida ada kebaikan yang tersisa di dalamnya”.

Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Rasa malu adalah adanya rasa segan di dalam hati bersamaan dengan keterlepasan segala sesuatu yang telah lewat dari dirimu menuju ke hadirat Tuhanmu”.

Dikatakan, “Cinta adalah berbicara, rasa malu adalah diam membisu, dan rasa takut adalah kegelisahan”.

Abu Utsman mengatakan, “Orang yang berbicara dengan suasana hati yang diliputi rasa malu, tetapi apa yang dibicarakannya tidak di dalam suasana rasa malu karena الله maka dia adalah orang yang menipu”.

Hasan Al-Hadad bertamu ke rumah AbduLlah bin Manazil.

“Dari mana kamu, “ Tanya tuan rumah.

“Dari majlis Abul Qasim Al-Mudzakir”.

“Tentang apa dia berbicara ?”.

“Tentang malu”.

“Sungguh mengherankan orang yang tidak punya rasa malu kepada الله bagaimana dia bisa berbicara masalah malu ?”

As-Sirri As-Saqathi bekata, “Sesunggunya rasa malu dan jinak  memasuki hati. Jika di dalamnya keduanya menemukan zuhud dan wara’ maka keduanya akan turun. Jika tidak, maka keduanya akan pergi”.

Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Sebagian manusia pada kurun pertama bekerja sama dengan agama dalam hal-hal di antara mereka hingga agama menjadi tipis. Kemudian pada kurun kedua bekerja sama dengan pemenuhan janji hingga pemenuhan itu sendiri itu hilang. Kemudian pada kurun ketiga bekerjasama dengan keperwiraan hingga keperwiraan itu sendiri hilang. Kemudian pada kurun keempat bekerja sama dengan rasa malu hingga rasa malu itu hilang. Dan akhirnya jadilah api yang bekerja sama dengan kesenangan dan ketakutan. Dikatakan dalam firman-Nya :

وَلَقَدْْ أَهَمَّ بِهِ وَهَمَّ بِِهَا  لَوْلآ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِِّهِ

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya” (Yusuf 20)

Sesungguhnya burhan atau tanda kebesaran Tuhan (bukti) melemparkan pakaian pada wajah berhala di sisi rumah. Yusuf AS berkata, “Apa yang sedang kamu kerjakan ?”

Burhan tadi menjawab, “Saya malu pada الله”.

Yusuf AS pun menimpalinya, “Saya lebih utama daripada kamu untuk malu kepada الله”.

Di dalam firman-Nya disebutkan, “

فَجَاءتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِى عَلَى اسْتِحْيَاءِ

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan kemalu-maluan (Al-Qashas 25)

Ayat ini ditafsiri dengan mengartikan sesungguhnya wanita itu malu kepada Musa AS karena berani memintanya untuk datang bertamu ke rumahnya. Dia malu pada kemungkinan tidak bersedianya Musa AS atas undanganya. Sifat pengundang yang malu ini merupakan cermin dari sifat malu yang mulia.

Abu Sulaiman Ad-Darani menuturkan bahwa الله berfirman, “Hai Hamba-Ku sesungguhnya engkau tidak malu kepada-Ku padahal Aku telah menjadikan manusia lupa pada aib-aibmu, menjadikan bumi lupa pada dosa-dosamu, menghapus keteledoranmu dari kitab catatan induk dan tidak akan mendebat hasil hitungan (catatan amalmu) pada hari kiyamat”.

Diceritakan ada seorang lelaki mengerjakan shalat di luar masjid, lalu ditanyakan kepadanya, “Mengapa kamu tidak masuk saja dan mengerjakan shalat di dalamnya ?” Dia menjawab, “Saya malu kepada الله untuk masuk ke dalam rumah-Nya sementara saya sering bermaksiyat kepada-Nya”.

Dikatakan diantara tanda-tanda orang yang punya rasa malu adalah tidak melihat “tempat” yang dipandang memalukan.

Sekelompok ulama sufi bercerita,  Kami di waktu malam pernah melakukan perjalanan jauh dan melewati berbagai tempat yang menjadi sarang harimau. Tiba-tiba di tempat itu kami menemukan seorang laki-laki yang sedang tidur sementara kudanya dibiarkan merumput di samping kepalanya. Kami mencoba menggerakkan tubuhnya dan iapun terbangun.

“Tidakkah kamu takut tidur di tempat yang menakutkan. Ini adalah tempat sarang harimau”. Kata kami mencoba mengingatkannya.

Namun lelaki itu tidak menampakkan ketakutan sama sekali di raut wajahnya. Dia mengangkat kepalanya lalu mengatakan, “Saya malu kepada الله untuk takut pada selain-Nya”. Dia kembali meletakkan kepalanya dan tertidur.

الله memberi wahyu kepada Nabi Isa AS, “Nasihatilah dirimu, jika telah menasehati dirimu maka nasihatilah manusia. Jika tidak malulah kamu kepada-Ku untuk memberi nasihat kepada manusia”.

Dikatakan, malu memiliki beberapa bentuk. Malu karena satu pelanggaran sebagaimana Adam AS ketika ditanyakan kepadanya “Apakah kamu akan lari dari Kami ?” lalu dijawab, “Tidak bahkan malu kepada-Mu”.

Malu karena kekurangan sebagaimana yang dikatakan para malaikat, “Maha Suci Engkau tidaklah kami dapat menyembah-Mu sebenar-benar penyembahan”.

Malu karena pengagungan sebagaimana malaikat Israfil AS ketika mengenakan sayapnyan karena malu kapada الله.

Malu karena kemuliaan sebagaimana رَسُْولُ اللّه SAWW yang malu pada umatnya yang hendak meminta mereka keluar (dari acara undangan perjamuan akan tetapi beliau malu mengatakan, maka الله berfirman :

ولآ مُسْتَأ نِسِيْنَ لِحَدِيْثً

Dan janganlah kalian terlalu asyik memperpanjang percakapan (Al-Ahzab 53).

Malu karena hubungan kerabat sebagaimana Imam Ali RA ketika ditanya Miqdad bin Aswad tentang masalah madzi sampai dia menanyakannya kepada رَسُْولُ اللّه SAWW, dia malu karena mengingat kedudukan Fatimah RA sebagai puteri رَسُْولُ اللّه SAWW yang menjadi isterinya.

Malu karena perendahan sebagaimana Nabi Musa AS yang mengatakan, “Sesungguhnya saya butuh sedikit dunia yang membuat saya malu untuk meminta kepada-Mu wahai Tuhan”. الله pun menimpalinya, “Mintalah kepada-Ku hingga adonanmu tergarami dan kambingmu diberi makan”.

Malu karena penganugerahan. Malu semacam ini merupakan sifat malu milik Tuhan yang terjadi ketika Dia menyodorkan buku catatan kepada hamba setelah dia selesai melewati shiratal mustaqim menuju surga. Tuhan memberikan buku catatan itu dalam keadaan tertutup rapat seraya mengatakan, “Enkau telah melakukan ….engkau telah melakukan…. Saya sungguh malu untuk menampakkan catatan itu kepadamu. Pergi, dan saya benar-benar telah mengampunimu”.

Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bahwa Yahya bin Muadz mengatakan, “Maha Suci Dzat yang hamba-Nya berbuat dosa namun Dia malu kepadanya”.

Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Ada lima tanda kesengsaraan yaitu hati yang keras, mata yang beku, sedikit malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan”. Dalam sebagian kitab disebutkan, “tidak ada seorang hambapun yang mencapai separuh hak-Ku. Dia berdoa kepada-Ku dan Saya malu menolaknya. Di bermaksiyat kepada-Ku tetapi tidak malu kepada-Ku”.

Yahya bin Muadz mengatakan, “Barang siapa malu kepada الله dalam keadaan ta’at, maka الله akan malu kepadanya ketika dia melakukan dosa”. Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya malu mengharuskan pencarian”.. dikatakan pula, malu adalah pengerutan hati untuk pengagungan Tuhan. Dikatakan, jika seseorang duduk untuk memberikan peringatan kepada manusia, maka dua malaikat memangggilnya seraya berkata, “Nasihatilah dirimu dengan apa-apa yang kamu nasihatkan kepada kawanmu. Jiak tidak, maka malulah kepada Tuhanmu Yang selalu melihatmu.

Al-Junaid ditanya tentang malu, lalu dijawab,” Memandang buruk dan kurang  terhadap perbuatan baikmu. Diantara dua perbuatan itu akan lahir suatu kondisi yang dinamakan malu”

Muhammad Al Washiti berkata, “Tidak akan merasakan kelezatan malu seseorang yang merobek ketentuan hukum atau melanggar janji”.

Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Malu adalah meninggalkan pengakuan di hadapan الله”. Abu Bakar Al-Warraq berkata, “Terkadang saya shalat dua reka’at karena الله lalu berpaling dari keduanya. Kondisi saya dalam posisi sebagai orang yang berpaling dari pencurian semacam ini merupakan bentuk rasa malu”.

...

Ikhlas




الله SWT berfirman :
ألالله الدين الخالص
Iungatlah bagi Allah agama yang murni (Az-Zumar 3)

Dari sahabat Anas bin Malik bahwa RasuluLlah bersabda :
ثلاث لا يغل عليهم قلب مسلم : اخلاص العمل لله تعالى, ومناصحة ولاة الامور, ولزوم جماعة المسلمين

Tiga perkara yang tidak bisa dikhianati hati seorang muslim, yaitu keikhlasan amal karena Allah SWT, saling menasihati dalam penguasaan masalah, dan tetapnya jama’ah umat Islam.

Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Ikhlash adalah penunggalan Al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri kepada Allah SWT”. Bisa juga dikatakan bahwa ikhlas merupakan penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.
RasuluLlah SAW pernah ditanya tentang makna ikhlas lalu dijawab :

سألت جبريل عليه السلام عن الاخلاص ماهو ؟ قال : سألت رب العزة عن الاخلاص ماهو ؟ قال سر من سرى استودعته قلب من احببته من عبادى

Saya bertanya kepada Jibril AS tentang ihklas, apakah itu ? kemudian dia berkata, ‘Saya bertanya Tuhan tentang ikhlas apakkah itu ?, dan Tuhanpun menjawab, ‘Ikhlas adalah Rahsia dari beberapa rahasia-Ku yang Aku titipkan pada hati orang yang Aku cintai diantara hamba-hamba-Ku.”

Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “ikhlas adalah keterpeliharaan diri dari keikut campuran semua makhluk. Shidiq (kebenaran) adalah kebersihan diri dari penampakan-penampakan diri. Orang yang ikhlas tidak memiliki riya dan orang yang sidiq tidak akan kagum pada dirinya sendiri”.

Dzunun Al-Mishri berkata, “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan sabar dan kebenaran di dalam ikhlas. Shidiq tidak akan sempurna kecuali dengan ikhlas dan terus menerus di dalam ikhlas”. Abu Ya’qub As-Susi berkata, “Kapan saja seseorang masih memandang ikhlas dalam keikhlasannya, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan”.

Dzunun Al-Mishri berkata, “Ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu keitadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang perbuatannya di dalam amal perbuatannya sendiri, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya di kampung akhirat”.

Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, “ikhlas adalah ketiadaan bagian atas suatu hal bagi dirinya. Ini adalah ikhlas orang kebanyakan. Adapun ikhlas orang khusus adalah apa yang terjatuh atau terlimpah pada mereka, bukan bersama mereka. Karena itu dari mereka muncul ketaatan dan diri mereka terpisah dari ketaatan itu sendiri. Mererka tidak memandang dan menghitung ketaatan yang terlimpahkan keada diri mereka. Demikian ini merupakan kelompok orang khusus”.

Abu Bakar Ad Daqaq berkata, “Kekurangan setiap orang yang ikhlas dalam keikhlasannya adalah kebiasaan melihat keikhlasannya. Jika Allah menghendaki memurnikan keikhlasan seseorang, maka Dia menggugurkan penglihatan keikhlasannya pada keikhlasannya, sehingga dia menjaid orang yang diikhlaskan atau dimurnikan, bukan orang yang ikhlas atau berusaha mensucikan diri.

Sahal bin AbduLlah mengatakan, “Tidak ada yang mengetahui orang yang riya’ selain orang yang ikhlas”. Abu Said mengatakan, “Riya’ orang-orang yang ahli ma’rifat lebih utama daripada ikhlas para murid”. Dzunun Al Mishri mengatakah, “Ikhlas adalah apa yang terpelihara daripada permusuhan yang merusak”. Abu Utsman Al-Hirri mengatakan, “Ikhlas adalah pelupaan penglihatan makhluk dengan keabadian memandang Sang Maha Pencipta”. Khudzaifah Al-Mar’isi berkata, “Ikhlas adalah penyamaan perbuatan-perbuatan hamba pada segi lahir maupun bathin”. Dikatakan juga bahwasanya ikhlas adalah apa yang dikehendaki Al-Haqq dan yang dimaksudkan tujuan shiddiq (kebenaran).

Terkadang juga ikhlas diartikan sebagai kepura-puraan tidak tahu daripada melihat berbagai amal perbuatan.

As-Sirry As-Saqaty mengatakan,”Barang siapa menghiasi dirinya untuk manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada manusia, maka dia gugur dari pandangan Allah”. Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan,”Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan berbuat amal kenbajikan karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah pembebasan Allah pada anda dan keduanya”. Al-Junaid mengatakan, “Ikhas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada malaikat yang mengetahui dan mencatatnya. Tidak ada syetan yang mengetahui dan merusaknya, dan tidak ada hawanafsu yang mengetahui lalu mencondongkannya”.

Ruwaim mengatakan, “Keikhlasan suatu perbuatan adalah ketiadaan kehendak bagi pemiliknya untuk mendapatkan ganti / pahala dari dua alam (dunia dan akhirat) dan ketiadaaan permintaan bagian dari dua malaikat (penjaga neraka dan surga).”

Ditanyakan kepada Sahal bin AbduLlah, “Hal apa yang paling berat bagi manusia ?”
“Ikhlas. Karena di dalamnya tidak ada tuntutan bagian bagi pelakunya”. Jawabnya. Sebagian ahli sufi juga ditanya tentang hal yang sama lalu dijawab, “”Hendaknya engkau tidak mempersaksikan amalmu selain kepada selain Allah SWT.”

Seorang sufi bercerita : Saya pernah masuk ke urmah Sahal bin AbduLlah pada hari jum’at sebelum salat dilaksanakan. Saya lihat di rumahnya ada seekor ular yang menmbuat saya mengedepankan seseorang dan mengakhirkan yang lain. Tiba-tiba Sahal berkata,”Masuklah, seseorang tidak takan mencapai hakikat iman sementara di permukaan bumi masih ada yang ditakutkan”.

“Apakah kamu hendak salat Jumn’at ?” Tanya dia kemudian.
Saya lantas berkata bahwa diantara kami dan masjid terdapat jarak sejauh perjalanan kaki sehari semalam. Saya menempuh jarak perjalanan itu dan tidak ada jarak lagi selain tinggal sedikit sehingga saya melihat masjid lalu saya masuk dan salat jum’at di dalamnya. Kemudian saya keluar dari masjid tiba-tiba Sahal berkata, “Orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha IllaLlah sangat banyak, akan tetapi yang ikhlas sangat sedikit”.

Makhul berkata, “Tidaklah seorang hamba selama 40 hari mampu berbuat ikhlas melainkan sumber-sumber hikmah akan keluar dari hatinya melalui lidahnya”. Yusuf bin Husain berkata, “Paling mulia sesuatu di dunia adalah ikhlas. Betapa berat asaya berjuang menggugurkan riya dari hati saya tetapi seakan-akan riya masih tumbuh dengan warna yang lain”. Abu Sulaiman Ad-daraani berkata, “Jika seorang hamba ikhlas, maka rasa waswas dan riya akan terputus darnya”.

...

Istiqamah

بسم الله الرحمن الرحيم

الله SWT berfirman: الله SWT berfirman :

ان الدين قالواربنا الله ثم استقامو تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا ان الدين قالواربنا الله ثم استقامو تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا

وأبشروابالجنة التي كنتم توعدون (فصلت 30) وأبشروابالجنة التي كنتم توعدون (فصلت 30)

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami adalah الله Kemudian mereka meneguhkan (pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata)," Janganlah kamu Merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan (mendapatkan) surga yang الله telah dijanjikan kepada kamu. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah الله kemudian mereka meneguhkan (pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan (mendapatkan) surga yang telah dijanjikan الله kepada kamu. (QS: Fushilat 30). (QS : Fushilat 30).

Dari Tsauban dari Nabi SAW diceritakan Bahwa beliau bersabda: Dari Tsauban dari Nabi SAW diceritakan bahwa beliau bersabda :

استقيمواولن تحصوا, واعلموا ان خير دينكم الصلاة, ولن يحافظ على الوضوء الا المؤمن استقيمواولن تحصوا, واعلموا ان خير دينكم الصلاة , ولن يحافظ على الوضوء الا المؤمن

"Istiqamahlah kamu dan janganlah sekali-kali menghitung-hitung (amal) mu. “ Istiqamahlah kamu dan janganlah sekali-kali menghitung-hitung (amal)mu. Ketahuilah Bahwa Amalan Sebaik-baik agamamu adalah shalat. Ketahuilah bahwa sebaik-baik amalan agamamu adalah shalat. Dan tidak ada yang mampu menjaga wudhu selain orang mukmin " Dan tidak ada yang mampu menjaga wudhu selain orang mukmin”

Suatu Istiqamah adalah derajat yang dengannya akan terwujud kesempurnaan dan kelengkapan perkara Kebajikan. Istiqamah adalah suatu derajat yang dengannya akan terwujud kesempurnaan dan kelengkapan perkara kebajikan. Istiqamah dengan berbagai kebaikan dan koordinasi Sistematika kebaikan menjadi ada. Dengan istiqamah berbagai kebaikan dan koordinasi sistematika kebaikan menjadi ada. Orang yang tidak bisa Menjalankan Istiqamah di dalam ibadahnya, maka usahanya menjadi sirna dan perjuangannya dihitung gagal. الله berfirman: Orang yang tidak bisa menjalankan istiqamah di dalam ibadahnya, maka usahanya menjadi sirna dan perjuangannya dihitung gagal. الله berfirman :

ولا تكونوا كا التي نقضت غزلهامن بعض قوة أنكاثا ولا تكونوا كا التي نقضت غزلهامن بعض قوة أنكاثا

"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benang-benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi tercerai berai".Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benang-benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi tercerai berai”.

Barang siapa tidak Istiqamah dalam menetapi sifat baiknya, maka ia tidak bisa memperbaiki dan meningkat dari satu Maqam ke Maqam berikutnya serta tidak bisa mempertegas kepastian perilakunya mengarah kepada kebaikan. Barang siapa tidak istiqamah dalam menetapi sifat baiknya, maka ia tidak bisa memperbaiki dan meningkat dari satu maqam ke maqam berikutnya serta tidak bisa mempertegas perilakunya mengarah kepada kepastian kebaikan. Istiqamah Merupakan syarat utama bagi pemula dalam menjalani perjalanan sufi. Istiqamah merupakan syarat utama bagi pemula dalam menjalani perjalanan sufi. Sebagaimana keharusan orang yang makrifatuLlah untuk tetap beristiqamah dalam etika pengetrapan berbagai tahapan tahapan akhir pengarungan sufi. Sebagaimana keharusan orang yang makrifatuLlah untuk tetap beristiqamah dalam pengetrapan berbagai etika pengarungan tahapan tahapan akhir sufi. Maka diantara tanda-tanda bagi sufi pemula Istiqamah adalah ketiadaan perubahan pelaksanaan ibadahnya, meski hanya sekejap. Maka diantara tanda-tanda istiqamah bagi sufi pemula adalah ketiadaan perubahan pelaksanaan ibadahnya, meski hanya sekejap. Sedangkan tanda-tanda dari Istiqamah sufi yang berada di tengah-tengah perjalanan sufinya adalah keharusan dia untuk tidak menyelai tahapan-tahapan dari satu perjalanan sufinya Maqam ke Maqam berikutnya atau pemberhentian dengan istirahat. Sedangkan tanda-tanda istiqamah dari sufi yang berada di tengah-tengah perjalanan sufinya adalah keharusan dia untuk tidak menyelai tahapan-tahapan perjalanan sufinya dari satu maqam ke maqam berikutnya dengan pemberhentian atau istirahat. Adapun bagi sufi pamungkas, diantara tanda-tandanya adalah ketiadaan intervensi ketertutupan (hijab atau tabir yang menghalangi pemunculan kepada kemakrifatannya الله) dalam keberlangsungan ma'rifatuLlah. Adapun bagi sufi pamungkas, diantara tanda-tandanya adalah ketiadaan intervensi ketertutupan (hijab atau pemunculan tabir yang menghalangi kemakrifatannya kepada الله ) dalam keberlangsungan ma'rifatuLlah.

Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, "Istiqamah Putaran memiliki tiga Tingkatan. Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Istiqamah memiliki tiga putaran tingkatan. Pertama adalah Penegakan, kemudian berdiri, dan akhirnya Istiqamah (kontinyu). Taqwim / Penegakan Merupakan proses latihan nafsu. Iqamah / berdiri Merupakan pendidikan hati. Pertama adalah penegakan, kemudian berdiri, dan akhirnya istiqamah (kontinyu). Taqwim / penegakan merupakan proses latihan nafsu. Iqamah / berdiri merupakan pendidikan hati. Dan Pendekatan Istiqamah adalah rahasia-rahasia. Dan istiqamah adalah pendekatan rahasia-rahasia.

Dalam hal ini kaitannya dengan ayat, "Kemudian mereka ber Istiqamah" Abu Bakar As-shidiq mengartikan, "mereka tidak syirik". Dalam hal ini kaitannya dengan ayat, “ kemudian mereka ber istiqamah” Abu Bakar As-Shidiq mengartikan, “mereka tidak syirik”. Sementara Umar RA menafsiri Sebagai orang yang pergi ke sana ke mari seperti serigala yang Berjalan berputar-putar dalam keadaan miring. Pernyataan Abu Bakar RA mengandung makna Memperhatikan kejelian dalam dasar-dasar tauhid, Sedangkan Umar RA Pernyataan menyiratkan makna pelepasan tuntutan Penafsiran dan konsistensi dalam menetapi syarat perjanjian. Sementara Umar RA menafsiri sebagai orang yang pergi ke sana ke mari seperti serigala yang berjalan berputar-putar dalam keadaan miring. Pernyataan Abu Bakar RA mengandung makna kejelian dalam memperhatikan dasar-dasar tauhid, sedangkan pernyataan Umar RA menyiratkan makna pelepasan tuntutan penafsiran dan konsistensi dalam menetapi syarat perjanjian.

Ibnu Atha 'mengatakan, "Istiqamahlah kalian penyatuan dalam kesendirian hati dengan الله." Ibnu Atha' mengatakan, “ Istiqamahlah kalian dalam penyatuan kesendirian hati dengan الله .”

Abu Ali Al-Jauzajani RA berkata, "jadilah Pelaku Istiqamah dan jangan Menuntut Karamah. Abu Ali Al-Jauzajani RA berkata, “jadilah pelaku istiqamah dan jangan menuntut karamah. Dirimu selalu bergerak dalam pencarian Karamah, Sedangkan Tuhanmu menuntutmu untuk tetap dalam Istiqamah ". Dirimu selalu bergerak dalam pencarian karamah, sedangkan Tuhanmu menuntutmu untuk tetap dalam istiqamah”.

"Suatu hara Saya Lihat Nabi SAW dalam mimpi", cerita Ali As-Syabawi, "lalu saya bertanya kepada beliau," Bahwa Tuan Diceritakan dari Tuan pernah berkata, " 'Surah Hud menjadikan rambutku beruban. “Suatu hara saya melihat Nabi SAW dalam mimpi”, cerita Ali As-Syabawi, “lalu saya bertanya kepada beliau, “Diceritakan dari Tuan bahwa Tuan pernah berkata, “'Surah Hud menjadikan rambutku beruban. Apa yang membuat Tuan rambut beruban? Apa yang membuat rambut Tuan beruban ? apakah kisah-kisah para Nabi atau kerusakan umat? ". apakah kisah-kisah para Nabi atau kerusakan umat ?”. Kemudian Beliau menjawab, "Bukan itu akan tetapi firman-Nya yang berbunyi: kemudian Beliau menjawab, “Bukan itu akan tetapi firman-Nya yang berbunyi :

فا ستقم كما أمرت فا ستقم كما أمرت

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar Sebagaimana diperintahkan kepadamu. Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu . (QS Hud 112) (QS Hud 112)

Bahwa dikatakan tidak ada yang kuat menjalani Istiqamah kecuali orang-orang yang Berjiwa Besar Menuntut Istiqamah karena pengeluaran diri dari apa-apa yang dijanjikan dan pemisahan dari legitimasi (Pengakuan atau stempel) dan adat. Dikatakan bahwa tidak ada yang kuat menjalani istiqamah kecuali orang-orang yang berjiwa besar karena istiqamah menuntut pengeluaran diri dari apa-apa yang dijanjikan dan pemisahan dari legitimasi (pengakuan atau stempel) dan adat. Berdiri tegak di hadapan الله memang harus didasarkan pada hakikat kebenaran. Berdiri tegak di hadapan الله memang harus didasarkan pada hakikat kebenaran . karena itu Nabi SAWW bersabda: karena itu Nabi SAWW bersabda :

استقيموا ولن تحصوا استقيموا ولن تحصوا

"Istiqamahlah kalian dan jangan sekali-kali menghitung-hitung (amal bagusmu)Istiqamahlah kalian dan jangan sekali-kali menghitung-hitung (amal bagusmu)

Istiqamah adalah sifat akhlak sempurna, tanpa Istiqamah akhlak akan menjadi buruk ". Istiqamah adalah sifat akhlak sempurna, tanpa istiqamah akhlak akan menjadi buruk”. Kata Muhammad Al Wasithi. Kata Muhammad Al Wasithi.

"Istiqamah adalah pada waktu anda penyaksian Bersamaan dengan pelaksanaannya". “Istiqamah adalah penyaksian anda pada waktu bersamaan dengan pelaksanaannya”. Nasihat Dalf As-Syibli. Nasihat Dalf As-Syibli.

Bahwa dikatakan Istiqamah dalam kata-kata adalah dengan Meninggalkan ghaibah (Berbisik membicarakan kejelekan orang lain). Dikatakan bahwa istiqamah dalam kata-kata adalah dengan meninggalkan ghaibah (berbisik membicarakan kejelekan orang lain). Meninggalkan dengan perbuatan dalam bid'ah, intensivikasi dalam perilaku peniadaan dengan penangguhan, dan dalam peniadaan Ahwal dengan jilbab. Dalam perbuatan dengan meninggalkan bid'ah, dalam intensivikasi perilaku dengan peniadaan penangguhan, dan dalam ahwal dengan peniadaan hijab.

Imam Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Furak mengatakan, "Istiqamah adalah dosa dosa dalam penuntutan. Imam Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Furak mengatakan, “ sin dalam istiqamah adalah sin penuntutan. Artinya para sufi Pelaku pelurusan Meminta sikap pada Al-Haq dengan didasarkan pada nilai-nilai tauhid, kemudian mereka mempunyai kekuasaan atau kekuatan menjaga janjinya dan Batasan-Batasan hukumnya ". Artinya para pelaku sufi meminta pelurusan sikap pada Al-Haq dengan didasarkan pada nilai-nilai tauhid, kemudian mereka menepati janjinya dan menjaga batasan-batasan hukumnya”.

Ketahuilah Bahwa keabadian Istiqamah mengharuskan Karamah. الله SWT berfirman: Ketahuilah bahwa istiqamah mengharuskan keabadian karamah. الله SWT berfirman :

وأن لواستقامواعلى الطريقة لآسقيناهم مأء غدقا وأن لواستقامواعلى الطريقة لآسقيناهم مأء غدقا

"Dan Jika mereka tetap Berjalan mulus (Istiqamah) di atas jalan itu (agama Islam), tentu Kami akan benar-benar memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang banyak). (Al Jin 16) “Dan jika mereka tetap berjalan mulus (istiqamah) di atas jalan itu (agama Islam), tentu Kami akan benar-benar memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang banyak). ( Al Jin 16)

الله tidak mengatakan "saqaiNaahum" yang bermakna Kami memberi minum kepada mereka, akan tetapi mengatakan, "Asqainaahum" yang bermakna Kami benar-benar memberi minum kepada mereka. الله tidak mengatakan “ saqaiNaahum” yang bermakna Kami memberi minum kepada mereka, akan tetapi mengatakan ,” Asqainaahum” yang bermakna Kami benar-benar memberi minum kepada mereka. Arti ini mengandung makna keabadian. Arti ini mengandung makna keabadian.

Al-Junaid bercerita: Saya pernah Bertemu seorang pemuda di bawah pohon besar di daerah pedalaman. Al-Junaid bercerita : Saya pernah bertemu seorang pemuda di bawah pohon besar di daerah pedalaman. Pemuda Ini merupakan salah seorang sufi murid yang sedang menjalani laku bathin. Pemuda ini merupakan salah seorang murid sufi yang sedang menjalani laku bathin. Dia sedang duduk di bawah pohon Suatu besar. Dia sedang duduk di bawah suatu pohon besar.

"Apa yang membuatmu duduk di sini?" Tanya saya. “Apa yang membuatmu duduk di sini ?” tanya saya.

"Mencari hal yang hilang". “Mencari hal yang hilang”. jawabnya jawabnya

Sayapun berlalu meninggalkannya. Sayapun berlalu meninggalkannya. Ketika pulang dari haji, saya mendapatkan pemuda tadi berpindah tempat duduk di dekat pohon besar. Ketika pulang dari haji, saya mendapatkan pemuda tadi berpindah tempat duduk di dekat pohon besar.

"Apa yang membuatmu pindah dan duduk di sini?" “Apa yang membuatmu pindah dan duduk di sini ?”

"Saya Menemukan apa yang saya cari ternyata ada di tempat ini. “Saya menemukan apa yang saya cari ternyata ada di tempat ini. Karena itu saya pindah dan menetapinya ". Karena itu saya pindah dan menetapinya”.

Al-Junayd heran dan bergumam, "Saya tidak tahu, mana yang lebih mulia. Al-Junaid heran dan bergumam, “Saya tidak tahu, mana yang lebih mulia. Apakah tetapnya (Istiqamah) karena pencarian sesuatu hal yang hilang atau tetapnya pada Suatu tempat yang di dalamnya diperoleh apa yang dikehendakinya ". Apakah tetapnya (istiqamah) karena pencarian sesuatu hal yang hilang atau tetapnya pada suatu tempat yang di dalamnya diperoleh apa yang dikehendakinya”.

...

Iradah

Sesungguhnya iradah adalah kepedihan hati karena jeratan cinta kepada الله




الله SWT berfirman :
ولا تطرد الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya (Al-An’am 52).

Dari Anas bin Malik diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, :
اذا اراد الله بعبد خيرا استعمله, قيل له كيف يستعمله يا رسول الله ؟ قال : يوفقه لعمل صالح قبل الموت
Jika الله menghendaki kebaikan seorang hamba maka dia dipekerjakan (dengan kebaikan itu). Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana ia dipekerjakan-Nya Ya رسول الله ?” Nabi menajwab, ‘Diberi pemahaman untuk beramal kebajikan sebelum mati.”

Iradah (kehendak) adalah awal perjalanan para salik yang sebenarnya merupakan nama bagi tahapan / maqam pertama pendakian para salik untuk menuju ke hadirat الله. Sifat ini dinamakan iradah karena iradah merupakan awal segala urusan. Barang siapa tidak memiliki kehendak terhadap sesuatu maka tidaklah mungkin ia melakukannya.

Segala persoalan yang berkenaan dengan langkah awal perjalanan para salik dalam meniti jalan menuju الله dinamakan iradah. Kedudukannya sama dengan mukadimah dalam segala urusan yang berkaitan dengan tujuan. Murid harus memiliki iradah sebagai belahan kesatuan langkah-langkahnya sebagaimana seorang alim diharuskan memiliki ilmu sebagai belahan kealimannya. Murid dalam pengertian ahli sufi bukanlah perwujudan kehendak milik murid sendiri karena orang yang belum bisa memurnikan dirnya sendiri dari eksistensi kehendak dirinya maka belumlah dinamakan murid.
Banyak orang yang memberikan arti iradah, masing-masing mengungkapkannya sebatas apa yang tersirat di dalam hatinya. Sementara para sufi mengatakan bahwa iradah adalah meninggalkan apa yang telah menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan manusia pada umumnya adalah terpaku kepada hukum penapakan pada tempat-tempat yang membuat dirinya lupa, percaya pada ajakan syahwat dan cenderung mengikuti apa yang dibisikkan oleh harapan atau angan-angan. Sedangkan seorang murid harus terlepas dari identitas ini. Semuanya tidak boleh melekat pada dirinya. Kemampuan salik keluar dari kenyataan-kenyataan (semu) iradahnya, menjadi bukti atas kebenaran iradah-Nya. Keadaan semacam inilah yang dinamakan iradah yaitu keluarnya salik dari hukum kebiasaan. Dengan demikian keberhasilan meninggalkan kebiasaan merupakan tanda-tanda iradah, adapun hakikatnya adalah manifestasi kebangkitan hati dalam pencarian Al-Haq. Karena itu dikatakan, “Sesungguhnya iradah adalah kepedihan hati karena jeratan cinta kepada الله yang mampu menghinakan setiap keharuan”.
Diceritakan dari seorang guru sufi, “Suatu hari saya sendirian berada di sebuah pedusunan yang sunyi. Tiba-tiba dada saya terasa sempit yang mendorong lidah saya mengucapkan,’Wahai manusia, bicaralah kepada saya, wahai jin bicaralah kepada saya’. Tiba-tiba sebuah suara tanpa bentuk menyahut, ‘Apa yang kamu kehendaki ?’ Saya menjawab, ‘الله’ yang saya kehendaki’. Dai kembali bertanya, ‘Kapan kamu menghendaki الله ?’
Kisah ini mengandung pelajaran tentang makna iradah. Orang tersebut mengatakan, ‘Bicaralah kepada saya’. Menunjukkan sebagai orang yang berkehendak (murid) pada الله. Orang yang berkehendak (murid) selalu tidak tenang dan lemas sepanjang malam dan siang. Dia dalam lahiriyahnya dihiasi dengan berbagai mujahadah dan di dalam bathiniyahnya disifati dengan penahanan berbagai bentuk beban kesulitan. Dia senantiasa menjauhkan diri dari tempat tidur, selalu siaga, siap memikul berbagai kesulitan dan menanggung berbagai kepayahan, mengobati akhlak, membiasakan diri dengan hal-hal yang berat, merangkul obyek-obyek yang menakutkan dan memisahkan diri dengan berbagai bentuk eksistensi atau simbol-simbol keperanan. Sebagaimana tersebut di dalam sebuah syair :

Kemudian malam saya putus
Dalam berbagai kenikmatannya
Tidak ada singa yang saya takuti
Tidak pun serigala
Rinduku mengalahkan saya
Lalu saya melipat rahasia saya
Dan orang yang punya kerinduan
Memang selalu dikalahkan

Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq pernah mengatakan, bahwa yang dimaksud iradah adalah pedihnya kerinduan di dalam hati, sengatan yang menimpa hati, cinta yang menyala-nyala dan membakar nurani, kecemasan yang menggedor dinding-dinding bathin, api cahaya yang membakar kubah hati. Beliau juga mengatakan, “Saya di dalam permulaan kerinduan, dalam keadaan terbakar di tungku perapian iradah. Kemudian saya membisikkan ke dalam hati saya, “Duhai perasaan hati, alangkah pedihnya ! Apa arti iradah itu ?”

Yusuf bin Husin mengatakan, “Antara Abu Sulaiman Ad-Daraani dan Ahmad bin Abi Al-Hiwari terikat tali perjanjian. Ahmad tidak bisa membantah setiap perintah yang diberikan Abu Sulaiman. Suatu hari ia mendatangi Abu Sulaiman yang sedang memberi fatwa di majlisnya, kemudian melapor, “Sesungguhnya bunga api telah berpijar, menyala dan membakar, maka apa yang engkau perintahkan ?”
Abu Sulaiman diam dan tidak menjawab. Ahmad mengulanginya hingga dua kali atau tiga kali dan akhirnya mengatakan, ‘Abu Sulaiman pergi lalu duduk di dalamnya’. (seakan-akannya sempit dan Abu Sulaiman lupa tentang Ahmad, kemudian ingat lagi dan mengatakan, “Lihatlah Ahmad, sesungguhnya dia berada di dalam jilatan cahaya. Dia mampu menguasai dirinya dengan tidak hendak menentang perintah saya’. Kemudian mereka melihatnya, dan tiba-tiba Ahmad dalam pembakaran cahaya yang tidak selembar rambutpun terbakar.

Dikatakan bahwa diantara sifat-sifat murid adalah cinta amalan-amalan sunah, ikhlas dalam memberikan nasihat asih, sopan, dan senang dengan kesenidrian, sabar di dalam memikul segala kekerasan hukum, mengutamakan perintah, malu terhadap suatu pandangan, pelimpahan tenaga dan anugerah pada apa yang diperjuangkannya dengan penuh kecintaan, menyongsong segala sebab yang bisa mengantarkannya kepada-Nya, puas terhadap segala bentuk kelemahan, dan ketiadaan pengakuan hati akan ketersampaian diri kepada Tuhan.

Abu Bakar Muhammad Al-Waraq berkata, “Penyakit murid ada tiga macam, kawin, catatan wicara, dan lembaran-lembaran”.
“bagaimana mungkin tuan meninggalkan catatan wicara”. Tanya seseorang.
Ia menjawaab, “sebab akan menjadi penghalangku dari perolehan iradah.

Hatim Al-Asham mengatakan, “”Jika saya melihat seorang murid yang menghendaki selain yang dia (Hatim) kehendaki, maka ketahuilah bahwa ia telah menampakkan kerendahan”.

Diantara hukum bagi murid ada tia hal : tidurnya karena bersangatan mengantuk, makannya karena sangat butuh, dan ucapannya karena sangat terpaksa. Demikian nasihat Muhammad Al-Kattani

Jika الله menghendaki murid kebaikan, maka Dia akan memposisikannya dalam sikap sufi dan mencegahnya dari pergaulan para qari. Demikian fatwa Al-Junaid.

Pada suatu hari Abu Ali Ad-Daqaq memberikan wejangan kepada para santri dan mengatakan “Akhir iradah akan mengarahkan isyarat pada الله sehingga menjumpai-Nya bersama isyarat”.
“Apa yang dimuat dalam iradah ?”
Beliau menjawab, “Engkau menjumpai الله dengan tanpa isyarat”.

Pada kesempatan lain Syaikh Abu Ali mengatakan, “Seorang murid tidak akan menjadi murid hingga orang disebelah kirinya (malaikat pencatat kejahatan) tidak menulisnya selama 20 tahun.”

Karena itu Abu Utsman Al-Hirri menasihatkan, bahwa jika seorang murid mendengarkan sesuatu dari ilmu-ilmu suatu kelompok masyarakat (ahli hikmah/syaikh), lalu mengamalkannya, maka yang demikian itu dalam hatinya akan menjadi suatu hikmah sampai akhir usianya, dan selama itu dia bisa mengambil manfaatnya. Seandainya ia berbicara dengan ilmu tersebut maka orang yang medengarkannya pasti juga akan memperoleh manfaat. Dan barang siapa mendengarkan ilmu dari mereka lalu tidak mengamalkanya, maka hikayat yang diperoleh dan dijaganya akan masih tetap terjaga tetapi kemudian hilang terlupakan. Barang siapa iradahnya tidak sehat, maka perjalanan hari tidak akan menambahnya selain kemunduran.

Awal maqam murid adalah munculnya iradah Al-Haq dengan menggugurkan iradahnya sendiri. Demikian kata AL-Wasithi.

“Hal yang memperberatkan murid adalah mempergauli musuh dengan baik”. Kata Yahya bin Mu’adz.

“Jika saya melihat murid sibuk dengan hal-hal yang ringan, dispensasi dan usaha mencari nafkah, maka tidak ada sesuatu yang mendatanginya”. Demikain kata Yusuf bin Husain.

Dalam suatu kesempatan Imam Al-Junaid ditanya tentang masalah iradah dan murid. “Apa yang dapat dimiliki para murid dengan perjalaan hikayat / manakib (orang – orang saleh) ?”
Beliau menjawab, “hikayat / manakib adalah tentara-tentara الله yang dengannya dapat memperkuat hati seorang mukmin”.

“Apa dalam hal ini Tuhan punya saksi ?”
“Ya, yaitu firman الله yang berbunyi :

وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك
Dan semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu (Hud 120)

Lebih jauh Al-Junaid mengatakan, Murid yang benar adalah yang tidak butuh ilmu para ulama. Seorang murid pada hakikatnya adalah orang yang dikehendaki الله karena jika tidak dikehendaki الله (sehingga ia memiliki iradah), maka ia bukan menjadi seorang murid / salik. Sedangkan murad adalah murid karena jika الله menghendaki seseorang untuk menjadi murid dengan kekhususan, maka Dia akan memberi pemahaman akan makna iradah. Akan tetapi para sufi membedakan antara murid dan murad. Murid bagi mereka adalah seorang pemula sedangkan murad adalah pamungkas. Murid ditegakkan dengan mata kepayahan dan dilemparkan dalam kawah kesulitan-kesulitan sedangkan murad dicukupkan dengan perintah yang tidak memiliki kesulitan. Murid adalah orang yang aktif dan muncul sebagai subyek sedangkan murad adalah orang yang diisi oleh الله, diberi faedah, dan dengannya dia disenangkan. sunatuLlah akan bersama para perambah jalan menuju الله memiliki bentuk yang berbeda-beda. Masing-masing memiiiki tingkatan hukum yang tidak sama. Kebanyakan mereka memiliki anugerah dengan disertai syarat mujahadah, kemudian mencapai maqam kedekatan dengan الله setelah mengalami berbagai kesulitan dari tahun ke tahun dalam kurun waktu yang tidak pendek. Sedangkan sebagian yang lain disingkapkan (terbuka) bathinnya sejak permulaan usia dengan keagungan makna-Nya kemudian mencapai maqam kewalian yang tidak dapat dicapai oleh kelompok ahli riyadhah atau mujahadah. Golongan ahli riyadhah pada umumnya dalam pencapaian maqam kewalian akan dilemparkan oleh الله kedalam penggemblengan mujahadah. Penggemblengan ini terjadi setelah mereka memperoleh kesadaran hakikat. Tujuannya supaya mereka memperoleh apa-apa yang terkandung dalam hukum riyadhah.

Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq juga berkata, murid adalah orang yang menanggung sedang murad adalah orang yang ditanggung.” Beliau juga pernah mejelaskan bahwa nabi Musa AS adalah seorang nabi yang menduduki jabatan seorang murid. Karena itu di dalam doanya dia mengatakan, “
رب اشرح لي صدري
Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku (Thaha 25)

Sedangkan nabi kita Muhammad SAW adalah seorang murad sehingga firman yang diwahyukan الله berbunyi demikian :
الم نشرح لك صدرك, ووضعنا عنك وزرك, الذي أنقض ظهرك,
ورفعنا لك ذكرك
Tidakkah telah Kami lapangkan dadamu, dan Kami hilangkan bebanmu yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan penyebutanmu (Alam Nasyrah 1-4)

Demikian pula ketika Musa mengatakan,
رب أرنى أنظر اليك قال : لن ترانى
Tuhan , tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku sehingga aku dapat melihat-Mu. Tuhan menjawab, “Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku”

Juga ketika الله SWT berfirman kepada Nabi Muhammad SAW,
الم ترى الى ربك كيف مد الظل
Tidakkah kamu melihat Tuhanmu bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang (Al-Furqan 45)

Kedua konteks di atas menunjukkan bahwa Nabi Musa AS berada pada maqam murid sedang nabi kita Muhammad SAW di maqam murad. Menurut syaikh Abu Ali Ad-Daqaq maksud ayat “Apakah kamu tidak melihat Tuhanmu dan potongan berikutnya Bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang adalah merupakan penutupan kisah dan pembagusan keadaan.

Imam Al-Junaid pernah ditanya tentang makna murid lalu dijawab, “murid adalah orang yang dikuasai oleh siasat ilmu, sedangkan murad adalah yang dikuasai oleh pemeliharaan dari Al-Haq secara langsung. Murid berjalan sedangkan murad terbang. Maka kapan para pejalan dapat menyusul mereka yang terbang.”

Dikisahkan bahwa Dzunun pernah mengirimkan seorang utusan untuk menjumpai Abu Yazid Al Bustami. Dia berpesan, “Katakan kepadanya, sampai kapan tidur dan istirahat , sementara kafilah telah berlalu”.

Setelah utusan tersebut sampai dan telah mengatakan pesan dari Dzunun, maka Syaikh Abu Yazid berkata, “Katakan kepada saudaraku Dzunun, orang alaki-laki adalah orang yang tidur sepanjang malam dan memasuki waktu subuh telah sampai di tempat sebelum kafilah sampai.”
“Betapa Indahnya, ini adalah ucapan yang keadaan kami belum bisa mencapainya”. Sambut Dzunun ...

Ubudiyah

بسم الله الرحمن الحيم

الله SWT berfirman :
واعبد ربك حتى يأتيك اليقين
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang keyakinan padamu (mati)-Al-Hijr 99

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dari Abu Hurairah RA bahwa رسول الله SAW bersabda :

سبعة يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل وشاب نسأ بعبدة الله تعالى
ورجل قلبه معلق بالمسجد ادْا خرج منه حتى يعود اليه ورجلان تحاب فى الله اجتمع على دْالك
وتفرقا عليه ورجل دْكر الله تعالى خاليا ففاضة عيناه ورجل دعته امرأة دْات حسن و جمل فقال انى اخاف الله
رب العالمين ورجل تصدق بصدقة فاخفاهاحتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
Yang artinya : Tujuh orang yang akan diberi naungan oleh الله SWT pada hari tiada naungan melainkan naungan-Nya.
1. Imam yang adil.
2. Pemuda yang gemar melakukan ibadah kepada الله SWT.
3. Seorang yang hatinya selalu bergantung (berhubungan) dengan masjid apabila keluar sampai dia kembali.
4. dua orang yang saling mencintai karena الله SWT, mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya.
5. Seorang yang berzikir kepada الله sendirian maka kedua matanya berlinang air mata.
6. Seorang lelaki yang diajak seorang wanita yang cantik jelita dan ia menjawab, “Sesungguhnya aku takut kepada الله Tuhan semesta alam”.
7. Seseorang yang bersedekah dengan suatu pemberian secara tersembunyi, hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.

Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi mengatakan, saya telah mendengar ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, Ubudiyah lebih sempurna daripada ibadah. Tingkatan dasarnya adalah ibadah kemudian ubudiyah, dan yang tertinggi adalah ‘ubudah. Ibadah dimiliki oleh orang awam (umum). Ubudiyah dimiliki oleh orang khawas. ‘Ubudah dimiliki oleh orang khwas al-khawas.” Beliau juga mengatakan, “Ibadah dimiliki oleh orang yang memiliki ilmu yakin. Ubudiyah dimiliki oleh orang yang mempunyai ainul yakin. Dan ubudah dimiliki oleh orang yang mempunyai haqul yakin”. Beliau juga mengatakan, ibadah dimiliki oleh orang yang mujahadah (bersungguh-sungguh). Ubudiyah dimiliki oleh orang yang Mukabadah (Yang terbebani dengan beratnya cobaan), Ubudah dimiliki oleh orang yang musyahadah (menyaksikan Tuhan).” Barang siapa yang tidak merendahkan dirinya maka dia adalah pemilik ibadah. Barang siapa yang tidak kikir pada hatinya maka dia adalah pemilik ubudiyah. Sedangkan barang siapa yang tidak kikir pada ruhnya maka ia adalah pemilik ubudah.
Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud ubudiyah adalah menegakkan ketaatan secara bersungguh-sungguh dengan pengagungan, memandang apa yang datang dari dirimu dengan pandangan merendahkan, dan menyaksikan sesuatu yang dihasilkan dari perjalanan hidupmu sebagai ketetapan الله. Menurut pendapat yang lain yang dimaksud ubudiyah adalah meninggalkan ikhtiyar terhadap sesuatu yang riil sebagai suatu ketetapan. Sebagian ulama berpendapat yang dimaksud ubudiyah adalah menolak daya upaya dan kekuatan dan mengakui sesuatu yang telah diberikan dan diatur oleh الله SWT berupa umur yang panjang dan anugerah. Menurut sebagian yang lain yang dimaksud ubudiyah adalah melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang.
Abu AbduLlah Muhammad bin Khafif pernah ditanya “Kapan ubudiyah dianggap sah.” Dia menajwab, “Apabila dia telah melimpahkan semua urusan kepada Tuhannya dan bersabar atas cobaan-Nya”.
Menurut Sahal. Ibadah seseorang tidak dianggap sah sampai ia tidak mengeluh dalam empat hal : Lapar, telanjang (tidak memiliki sandang), fakir dan hina. Menurut satu pendapat yang dimaksud ubudiyah adalah menyerahkan segala urusan kepada الله SWT dan menanggung semua urusannya. Menurut satu pendapat lagi, tanda-tanda ubudiyah adalah menghindarkan pengaturan dan menyaksikan ketetapan.
Dzunun Al-Mishri mengatakan, “Yang dimaksud ubudiyah adalah menjadi hamba yang selalu berada di dalam segala hal sebagaimana Tuhan yang selalu berada dalam segala hal. “. Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Penghamba kenikmatan sangat banyak jumlahnya dan penghamba Dzat Pemberi ni’mat sangat kuat eksistensinya”.
Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata, “Saya telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, ‘ Engkaiu adalah budak yang engkau sendiri berada di dalam perbudakannya dan tawanannya. Apabila engkau berada di dalam tawanan dirimu , meka engkau adalah budak duniamu’”.
رسول الله SAW bersabda :

تعس عبد الدرهم تعس عبد الديار تعس عبد الخميصة
Alangkah celaka budak dirham, celaka budak rumah, celaka budak pakaian.

Ismail bin Najid mengatakan, “Jangan mencintai seseorang yang mengerjakan Ubudiyah sehingga ia dapat menyaksikan perbuatannya memperoleh karunia dan menyaksikan keadaannnya memperoleh tuntutan.” AbduLlah bin Manazil mengatakan.”Hamba adalah orang yang tidak menuntut pelayanan atas dirinya karena jika demikian maka dia telah menjatuhkan batasan Ubudiyah dan meninggalkan tatakrama.”
Sahal bin AbduLlah mengatakan Tidak layak bagi hamba beribadah hingga tidak dapat melihat pengaruh kemiskinan dalam ketiadaan, dan melihat pengaruh kekayaan dalam keberadaan”. Menurut satu ungkapan, Ubudiyah adalah menyaksikan Tuhan.
Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata saya telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Saya telah mendengar Ibrahim An-Nash Abadzi berkata,’Nilai orang yang menyembah tergantung dari yang disembah, sebagai mana kemuliaaan orang yang makrifat tergantung yang dimakrifati”.
Menurut Abu Hafs, Ubudiyah adalah hiasan hamba. Barang siapa yang meninggalkannya maka ia tidak akan mendapatkan hiasan. Menurut An-Nabaji, dasar ibadah memiliki tiga bentuk :
1. tidak menolak hukum hukum الله SWT.
2. Tidak merendahkan sesauatu.
3. tidak meminta kepada orang lain karena kebutuhan.

Menurut Ibnu Atha’ Ubudiyah memiliki empat bentuk,
1. memenuhi janji
2. menjaga batasan-batasan hukum
3. ridha terhadap sesuatu yang ada
4. sabar terhadap sesuatu yang tidak ada

‘Amru bin Utsman Al Makki menuturkan kisahnya, “Saya tidak pernah melihat seorang penyembah di kebanyakan tempat yang saya temuai di Makkah Al-Mukarramah, tidak juga seorang pun yang datang kepada kami pada musim-musim haji atau yang lain, yang sungguh-sungguh beribadah. Tidak pula dijumpai perilaku ibadah yang berketetapan dan terus menerus menjalankan ibadah dengan keberanian menanggung hal-hal yang sulit. Saya juga tida melihat seorangpun yang benar-benar mengagungkan perintah الله SWT, tidak pula hamba yang berani mempersempit dirinya dan memperluas orang lain.”

Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata, “Guru saya Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada Ubudiyah dan tidak ada nama yang lebih sempurna bagi orang mukmin selain nama yang diakitkan dengan fungsi ubudiyah / penghambaan. Oleh karena itu الله SWT mensifati Nabi terkasihnya Muhammad SAW pada malam mi’raj dengan panggilan :
سبحن الدْى اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الاقصى
Maha Suci Dzat yang telah memperjalankan hamba-Nya dari Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsha.

Dan firma الله yang lain :
فأوحى الى عبده ما أوحى
Maka diwahyukan kepada hamba-Nya apa apa yang diwahyukan

Sehingga seandainya ada gelar yang lebih mulia daripada sifat kehambaan tentulah Dia telah memberikannya untuk beliau. Dalam konteks inilah disya’irkan :

Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku demi Zahra-ku
Penglihatan dan pendengaran tahu semua ini
Jangan panggil diriku kecuali dengan “Wahai hamba Zahra”
Sesungguhnya nama termulia panggilan itu bagiku

Sebagian ahli sufi mengatakan, “Hanya ada dua yang penting, senang dengan sesuatu yang lekat pada dirinya dan percaya pada kemampuan gerak. Jika dua perkara ini terlepas dari anda maka anda benar-benar telah membuktikan fungsi ubudiyah.”
Waspadalah kalian pada lezatnya pemberian sesungguhnya kelezatan ini menjadi tutup bagi orang-orang yang berhati jernih”. Demikian kata Muhammad Al-Wasithi.

Abu Ali al-Jurjani mengatakan, “Ridha adalah ruang ubudiyah. Sabar adalah pintunya, sedagnkan sikap pasrah adalah rumahnya. Karena itu suara ubudiyah berada di pintu, kekosongan diri berada di dalam ruangan, dan istirahat terletak di dalam rumah”.

Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Sebagaimana Rububiyah (sifat ketuhanan) merupakan sifat Al-Haq yang tidak pernah berubah, maka ubudiyah sebagai sifat hamba tidak boleh terpisah selamanya”.

Sya’ir :
Jika kalian meminta kepada-Ku
Katakan “inilah saya hamba-Nya”
Sekalipun mereka yang meminta
Mengatakan “inilah Engkau Tuhanku”.

Ibrahim An-Nashr Abadzi mengatakan, “Ibadah menuntut kelapangan, sedangkan permohonan maaf yang disebabkan kekurangannya adalah lebih dekat pada permintaan ganti dan balasan. Ubudiyah menggugurkan penglihatan hamba atas ketersingkapan intuisi pada yang Disembah.
Menurut al-Junaid, Ubudiyah adalah sikap meninggalkan kesibukan,dan penyibukan diri dengan hal yang merupakan pangkal dari kekosongan (fana’).
...

Template by - Abdul Munir - 2008